Sastra  

Kriminalisasi Kritik Politik Sastra

Bagikan/Suka/Tweet:

Ahmad Yulden Erwin

“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil.” (Al-quran Bacaan Mulia)

Fatin Hamama (FH) mengadukan Saut Situmorang ke polisi karena diduga telah mencemarkan nama baik FH di media sosial berdasarkan UU ITE. Delik aduan FH sebagai konten adalah subyektif dan bersifat personal. Tetapi, Pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE terkait pencemaran nama baik mesti juga mensyaratkan terbuktinya “konteks” (objektif) mengapa hal itu bisa terjadi. Oleh karena itu, FH berusaha dari awal secara “tidak jujur” menyangkal keterlibatan dirinya di dalam proyek buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, dan menempatkan kasus ini hanya dalam konteks pertikaian pribadi antara dirinya dan Saut Situmorang. Namun, bukti SMS dari Khrisna Pabichara Marewa tentang FH yang mengajak untuk mengulas buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, ditambah bukti-bukti lainnya yang menunjukan keterlibatan FH dalam proyek buku yang disponsori Denny JA tersebut, sudah dapat menggagalkan tuduhan FH bahwa Saut Situmorang telah mencemarkan nama baik FH dalam konteks pribadi.

Saya secara pribadi belum pernah bertemu Saut Situmorang. Saya hanya kenal dan berteman dengannya di Facebook. Itu pun tidak intensif. Beberapa kali kami pernah berdebat dengan keras dalam konteks sastra dan saling mengejek. Dan saya menganggap hal itu sekadar dinamika dalam sastra. Tapi, dalam konteks pemidanaan Saut Situmorang ini, setelah saya mempelajari kasusnya dengan kepala dingin, saya menduga adanya ketidakadilan dan “rekayasa hukum” terhadap diri Saut Situmorang.

“Rekayasa Hukum” terhadap Saut Situmorang adalah dengan melakukan “advokasi hitam”. Saut Situmorang di-“framing” melalui media sosial dan media masa dengan mengaburkan atau menghilangkan konteks kritik “politik sastranya” tentang buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” yang disponsori oleh Denny JA, menjadi masalah penghinaan personal terhadap seorang perempuan yang bernama Fatin Hamama (FH). Secara logika saja selama ini Saut Situmorang tidak punya masalah pribadi dengan Fatin Hamama, jadi tak ada alasan Saut Situmorang untuk menghina pribadi FH. Makian Saut Situmorang mesti diletakkan dalam “konteks” kritik “politik sastranya”.

Jika kita tidak sependapat dengan kritik “politik sastra” yang dilontarkan secara keras oleh Saut Situmorang, maka itu bukan berarti kita berhak melakukan “rekayasa hukum” dan “advokasi hitam” terhadap pribadi Saut Situmorang. Pribadi Saut Situmorang dan kritik politik sastranya adalah dua hal yang berbeda. Saut Situmorang tidak bisa dipenjara hanya karena melontarkan kritik politik sastra yang keras.

Semestinya, kritik politik sastra dari Saut dijawab dengan kritik politik sastra juga. Betapa pun kerasnya perdebatan yang akan terjadi, itu akan jauh lebih sehat dan bermartabat bagi kemajuan sastra Indonesia daripada melakukan “rekayasa hukum” dan “advokasi hitam” terhadap pribadi Saut Situmorang. Saya sudah 17 tahun terjun di gerakan antikorupsi sehingga saya tahu bagaimana modus “rekayasa hukum” dan “advokasi hitam” yang dimainkan oleh para pelaku mafia peradilan. Saya berharap persidangan Saut Situmorang kelak mesti dipantau oleh publik agar tidak terjadi mafia peradilan.

Dunia sastra dan kritik sastra di Indonesia harus dibersihkan dari “politik uang” dan “kriminalisasi kritik” bila ingin bermartabat di mata anak bangsa dan dunia.