Opini  

Krisis Peraturan dalam Pembangunan Daerah

Ilham Malik. Foto: Istimewa
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik, IPM
Akademisi Prodi PWK ITERA / Direktur Eksekutif CURS (Center for Urban & Regional Studies)

Saya senang dan mengapresiasi salah satu anggota DPR RI dari Lampung menyampaikan pendapatnya di hadapan Kemenhub saat rapat kerja dan menyinggung tentang angkutan batubara yang melintasi Lampung. Sayang, dalam rapat itu, anggota DPR RI tersebut tidak dibekali dengan informasi dan data, sehingga apa yang disampaikannya tidak powerfull.

Bagi negeri kita, hal yang paling penting adalah adanya aturan. Jika ada aturan tertentu masih belum terlaksana, artinya aturan tersebut masih ada kelemahan. Karenanya, perlu ada revisi atas klausul di dalam aturan tersebut yang membuat dirinya lemah dengan sendirinya. Untuk itu, revisi aturan dengan tujuan menguatkan aturan itu sendiri menjadi sangat penting untuk dilakukan oleh dewan yang memiliki concern pada hal tersebut.

Di daerah Lampung ada begitu banyak masalah yang membutuhkan penyelesaian. Kalau direnung-renung, penyebabnya adalah adanya keterbatasan aturan. Jika ada aturan, aturan tersebut sangatlah lemah. Jika ada yang namanya peraturan (daerah, kepala daerah, dsb), ketika dicek ternyata dia bukan aturan. Karena tidak tegas dan tidak powerfull. Bahkan di antaranya tidak ada aturannya, karena tidak ada kata harus atau kata wajib. Karena itulah, selalu saja ada usulan penanganan atas masalah yang ada secara berulang dari berbagai pihak, tapi tidak ada eksekusinya. Sebab “tidak ada” aturannya.

Mungkin sebagian ada yang bilang, bukannya tidak ada aturan. Aturannya itu sudah ada, katanya. Dan bahkan, ada yang menambahkan, aturan ditempat kita ini sudah banyak. Sudah kebanyakan aturan. Sehingga menjadi bingung dan tidak bisa diterapkan. Begitu alasan yang muncul. Akibat adanya anggapan ini, maka akhirnya masalah di daerah kita tetap selalu ada. Selalu muncul. Padahal, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, aturan itu yang tidak ada, atau aturannya ada tapi melemahkan dirinya sendiri. Para anggota dewan yang baru, saya kira sangat perlu menelaah soal ini.

Sebut saja soal persoalan drainase, misalnya di perkotaan. Drainase kota selalu saja menimbulkan masalah banjir, dan sebagainya. Sebagaimana kita tahu dan rasakan saat ini. Penyebabnya sederhana, di kota ini tidak ada Perda Drainase Perkotaan, yang di dalamnya mengatur tentang hal teknis soal drainase, kewajiban tidak boleh ada banjir lagi, soal penguatan organisasi pelaksana dan pengontrol, tentang pelarangan perusakan drainase dimana misalnya ada yang merusak dengan menimbun dengan material bangunan, menutup atau membuka drainase sendiri maka akan diberi sanksi, dan seterusnya. Termasuk kapan drainase kota terbangun dengan kesisteman dan equal dengan demand. Semua ini tidak ada. Jadi, bagaimana mau menjamin bahwa drainase kota akan membaik jika per “aturan” tentangnya tidak ada.

Ini salahsatu contoh yang taktikal dan teknikal soal drainase. Sekarang kita kembali lagi ke isu batubara. Tentu, bagaimana mungkin masalah angkutan batubara ini akan terselesaikan jika anggota dewan, perguruan tinggi (ingat, jangan hanya melibatkan ahli hukum, tapi juga semua ahli), NGO, dan masyarakat, didukung oleh pemda setempat, tidak membuat aturan soal angkutan batu bara. Daerah yang ingin selesaikan masalah daerahnya maka soal penyelesaiannya harus berupa peraturan daerah.

Sebelumnya juga harus ada naskah akademik. Lagi-lagi ada salah paham soal naskah akademik (NA). Soal ini saya banyak menemukan NA berisi aturan nasional yang inline sehingga perda bisa dibuat. Bukan itu saja, seharusnya, tetapi juga mencakup kajian akademik tentang fenomena, tentang contoh penanganan, dan tentang rekomendasi penanganan. Rekomendasi ini yang dicantumkan dalam peraturan daerah. Sehingga dijalankan dan dilaksanakan. Jadi libatkan multi expert yang memang sesuai dengan bidangnya.

Contohnya soal angkutan batubara yang melintas di Lampung. Maka ini bukan hanya melibatkan ahli hukum dan ahli kebijakan publik untuk membuat aturan publiknya. Tapi juga libatkan ahli material, ahli lingkungan hidup, ahli transportasi, ahli tata ruang, ahli sosial, dan ahli ekonomi. Sehingga “aturan” dalam peraturan daerah menjadi komprehensif. Bahkan juga libatkan ahli manajemen organisasi agar dia bisa membantu membuatkan pasal yang mengatur soal penguatan pelaksanaan aturan di lapangan dengan organisasi yang kuat. Dan mereka dibekali dengan dokumen kajian yang kuat, dan NA yang juga powerfull. Sehingga draf aturan yang kemudian menjadi aturan sesungguhnya, memiliki kekuatan.