Kudeta Faksi Militer di Turki Jadi Trending Topik di Medsos

Warga Turki menunjukkan kemarahannya terhadap anggota tentara yang diduga terlibat upaya kudeta. (Foto: Getty)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Kudeta yang dilakukan faksi militer di Turki, Kamis (15/7/2016), menjadi trending topik di media sosial di Indonesia. Banyak netizen bersyukur kudeta atas pemerintah sipil itu gagal.

Menurut sebagian netizen, negara-negara di dunia pantas belajar dari kasus kudeta militer terhadap pemerintah sipil yang akhirnya gagal itu. Kegagalan disebabkan, antara lain, kuatnya dukungan rakyat terhadap pemerintah.

Zaki Yamani, jurnalis di Bandung, di dinding Facebook-nya menulis bahwa negara yang pernah lama diinjak junta sewajarnya menolak kudeta militer.

“Contoh terkininya Turki. Orang Indonesia banyak yang menganggap kegagalan kudeta militer Turki itu sebagai berkah ilahi, bukan melihatnya sebagai reaksi rakyat yang menolak kembalinya junta. Pertanyaannya, kalau kudeta militer terjadi lagi di Indonesia berapa banyak rakyat yang akan turun ke jalan menolaknya? Seberani apa kita berhadapan dengan tank dan moncong senjata? Jangan-jangan malah mendukungnya seperti 1965,” tulis redaktur harian Pikiran Rakyat itu.

Foto-foto dan video yang tersebar di dunia maya memang menunjukkan kekuatan rakyat sipil memberikan dukungan penuh kepada Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Beberapa kantor berita asing seperti AP, AFP, Reuters, dan Kantor Berita Foto Getty Images melansir banyak foto yang menggambarkan rakyat marah kepada tentara pendukung kudeta. Mereka juga berusaha mengusir tank-tank yang digerakaan oleh tentara dari faksi militer yang hendak menggulingkan Presiden Erdogan.

Ada juga netizen yang membeberkan rumor di balik kudeta tersebut, ada juga rumor tak sedap yang menyebutkan bahwa kudeta itu hanyalah rekayasa Erdogan. Beredar rumor apa yang dialami Erdogan saat ini mirip dengan Presiden Peru, Alberto Fujimori, yang pernah “mengkudeta dirinya sendiri” lewat rekayasa kudeta.

“Ada isu bahwa Erdogan sengaja merancang kudeta buat dirinya itu. Bisakah ini dipahami? Dalam sejarah, ada kasus seperti ini, yakni di Peru, salah satu negara di kawasan Amerika Latin. Pada tahun 1992, tepatnya 5 April, presiden Peru kala itu, Alberto Fujimori mengkudeta dirinya sendiri (self-coup/auto-golpe) dan setelah terbukti kudeta tersebut gagal maka Fujimori segera memperkuat kekuasaannya,” tulis Coen Husein Pontoh, redaktur Indoprogress.com.

Tentang kabar miring itu, Buni Yani berkomentar di dinding Facebook-nya: “Kok ada yang curiga kudeta gagal di Turki dibuat oleh Erdogan sendiri untuk menunjukkan pemerintahannya kuat tak terkalahkan. Memang ada buktinya? Kok ilmu dan taktik militer/politiknya rendah sekali dong kalau mirip pedagang obat penipu yang menyuruh kawan2nya sendiri berkerumun membeli dagangannya untuk mempengaruhi orang yang lewat di tengah pasar. Kalau belum ada bukti, spekulasi ya tetap jadi spekulasi.”

Masih belum jelas soal kebenaran rumor tersebut. Yang pasti, umumnya netizen di Indonesia — terutama di Facebook — turut gembira kudeta di Turki bisa diatasi pemerintah sipil di bawah kendali Presiden Erdogan.

Menanggapi Pontoh, Ismail Ing, menulis: “Dari status (kawan) yang paham soal Turki, banyak pihak di Barat mendorong militer Turki untuk melakukan kudeta, bahkan kita bisa baca di Newsweek 4 bulan lalu, atau di jurnal Foreign Policy dan lain-lain Barat merasa Erdogan terlalu independen dalam kebijakan dalam negeri dan luar negerinya. Bahkan meski baru kudeta, belum jelas hasilnya, sudah ada berita Jerman menolak memberikan suaka pada Erdogan. Namun, Erdogan tidak complicated. Dia selalu berdasarkan the will of the people, dan dia bertanya pada rakyat, apa layak kudeta merampas kedaulatan rakyat? Erdogan berkali-kali bilang, kalau ingin mengenghentikan dia, minta saja pada rakyat dalam pemilu. Jika AKP kalah, dia tak akan menunda untuk berkemas. So, pemerintahan itu terserah rakyat, bukan opini pakar, pressure group atau apalagi negara asing,” tulisnya.

Recep Tayyip Erdoğan yang berasal dari Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) atau  Partai Keadilan dan Pembangunan merupakan presiden ke-12 di Turki setelah negara itu berubah dari menjadi republik pada tahun 1923.

Selama ini Erdogan dan dan Partai AKP bersikap sangat kritis terhadap Barat dan Amerika Serikat, utamanya terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap milisi Kurdi untuk memerangi ISIS di negara tetangga Suriah.

Menurut Bruce Riedel, mantan analis CIA, kekritisan Erdogan itu membuat negara-negara Eropa dan AS makin sulit menerapkan strategi menggunakan Kurdi untuk melawan ISIS.

“Karena AKP sepertinya juga punya sentimen anti-Kurdi,” kata Bruce Riedel, seperti pernah dikutip Reuters, beberapa waktu lalu.

Rama Pandu