TERASLAMPUNG.COM–Ketika saya konfirmasi ihwal kepemilikan laha itu, direktur utama sekaligus pemilik PT Tanjung Selaki, Basais, mengatakan lahan seluas 30-an hectare di Pantai Sebalang adalah hak miliknya setelah dia membeli dari warga setempat.
Menurut Basais, pada era Gubernur Poedjono Pranyoto, awal tahun 1990-an, dia memberikan izin kepada Pemda Lampung untuk memanfatkan lahan miliknya untuk pengembangan pariwisata.
’’Pemda Provinsi Lampung tidak tahu diri kalau saya harus menyerahkan lahan itu dan mengklaim lahan tersebut asset pemerintah daerah. Saya sudah keluar uang banyak untuk membeli tanah dari warga dan menimbun pantai. Untuk menimbun pantai saja saya menghabiskan belasan miliar rupiah,” kata Basais.
’’Sejak dulu, saya yang membayar dan mengurusi pembebasan lahan di Sebalang. Saya juga memiliki sertifikat tanah,” ujarnya. (Baca: Development of port may fail over land dispute).
Basais mengatakan reklamasi Pantai Sebalang karena ada izin dari Gubernur Lampung Poedjono Pranyoto pada 1990. Ia menyatakan, pengurusan sertifikat lahan miliknya sudah diterbitkan sejak 1995 di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lamsel.
’’Saya memang sengaja tidak memberikan kawasan pantai di Sebalang tersebut. Sebab, saya tidak ingin Pemda Provinsi Lampung memanfaatkan lahan itu sepenuhnya untuk kawasan wisata. Karenanya, saya memutuskan untuk reklamasi setelah mendapatkan izin dari Gubernur Lampung ketika Pak Poedjono menjabat,” terangnya.
Koordinator Walhi wilayah Sumatera, Mukri Friatna, mengatakan kawasan pantai seharusnya tidak boleh dimiliki oleh perorangan. “Aturannya adalah Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Pantai Sebalang termasuk kawasan lindung. Di sana dulu banyak hutan mangrove. Sekarang mangrove sudah habis dibabat. Penerbitan sertifikat tanah itu dipastikan melanggar hukum,” kata Mukri.
Menurut Mukri, pada 2007 lalu terjadi penggusuran paksa terhadap ratusan penduduk di kawasan Tarahan, dekat Pantai Sebalang. Selain mengadu ke Walhi, warga juga mengadu ke Polda Lampung.”Tapi sampai sekarang kasusnya tidak jelas. Mereka digusur dengan ganti rugi yang tidak manusiawi, yaitu Rp 500/m2. Bahkan banyak yang tidak diberi ganti rugi,” kata Mukri.
Sementara Kepala Desa Tarahan , Kecamatan Katibung, Lampung Selatan (ketika itu Hasan Wahab), mengatakan reklamasi pantai sepanjang 4.000 meter dan lebar 50 meter yang dilakukan PT Tanjung Selaki itu telah mematikan usaha pertanian warga.
“Sebab lahan pertanian kami jadi tidak mendapatkan air. Biasanya lahan kami mendapatkan air dari laut yang kami alirkan lewat sungai kecil. Sekarang jika hujan lebat akan mengakibatkan banjir. Para nelayan sekarang juga tidak dapat menyandarkan perahu,” kata Wahab.
Oyos Saroso H.N.