Opini  

Lampung Maju, namun tidak Signifikan

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Menuju berakhirnya masa jabatan Gubernur Lampung pada akhir Desember 2023 mendatang, Bappeda memiliki tanggung jawab untuk merancang RPJMD Lampung 2024-2029 serta RPJPD 2045.

Untuk menyusun dua dokumen perencanaan tersebut tentu tidaklah ringan, karena perlu mempertimbangkan beragam masukan dari berbagai pihak, mengumpulkan data yang akurat, melakukan analisis masa depan, dan mempertimbangkan kelayakan implementasi program dari aspek teknis, anggaran, hukum dan visibilitas politik.

Beberapa isu sentral yang harus menjadi perhatian agar RPJMD dan RPJPD tersebut benar-benar mencerminkan rencana berkelanjutan dan memberikan dampak positif bagi kemajuan Lampung.

Pertama, memasukkan visi, misi, dan program kepala daerah terpilih ke dalam dokumen RPJMD. Selama ini hanya sekedar memasukan saja, tanpa dievaluasi dan dibahas dari aspek kelayakan implementasinya. Kurangnya pertimbangan ini berakibat pada putusnya kelanjutan program oleh penerus kepala daerah, yang pada akhirnya mengakibatkan pemborosan anggaran dan proyek terbengkalai atau mangkrak.

Pengaruh dominasi intervensi politik oleh kepala daerah untuk memaksakan program yang dianggap sebagai bagian legacy-nya dan mengabaikan risiko kegagalan kebijakan (policy failure) merupakan faktor penyebab terjadinya kegagalan implementasi kebijakan.

Kedua, butuh evaluasi terutama berkaitan dengan pelayanan dasar yaitu pembangunan infrastruktur, pelayanan pendidikan, kesehatan, serta pelayanan sosial. Sebagai gambaran ke-4 sektor tersebut sampai sekarang dari aspek pemerataan kualitas sangat tidak merata, hanya Kota Bandarlampung dan Kota Metro secara kualitas jauh lebih baik di bandingkan dengan 13 kabupaten lainnya. Isunya adalah terjadi disparitas atau ketimpangan kualitas sumber daya.

Ada penumpukan sumber daya di bidang kesehatan dan pendidikan di Kota Bandarlampung dan Kota Metro. Guru-guru yang berkualitas, dokter umum dan dokter-dokter spesialis menumupuk di Bandarlampung. Juga, fasilitas rumah sakit, dan fasilitas pendidikan juga lebih bermutu dibangdingkan 13 kabupaten lainnya.

Warga Lampung yang tinggal di kabupaten-kabupaten kalau hendak berobat ke RS condong memilih di RS yang ada di Kota Bandar Lampung dibandingkan ditempat mereka tinggal karena kualitas fasilitas layanan di RS tidak memadai.

Hal yang sama juga dengan kualitas pendidikan, mereka yang diterima di Unila dan PTN, umumnya adalah lulusan SMA yang ada di Bandarlampung atau luar Lampung seperti Jakarta, Bekasi, dan daerah lain, karena lulusan SMA di kabupaten-kabupayen kalah bersaing dengan lulusan SMA di Bandar Lampung.

Demikian halnya dengan kondisi infrastruktur jalan. Kota Bandarlampung tidak memiliki masalah yang berarti dari aspek infrastrtur jalan, sangat bagus dan terpelihara dengan baik. Kondisi jalan di 13 Kabupaten sangat buruk sekali. Aksi yang dilakukan Bimo saat mengkritik jalan hancur di Lampung Timur itu hanya sebagian potret kondisi jalan di Lampung yang sangat buruk dan rusak berat.

Daerah lain seperti di Mesuji, Way Kanan, Lampung Barat, Pesisir Barat, Tulang Bawang Barat dan Kabupaten lain, baik jalan Provinsi dan jalan Kabupaten juga hampir sama yaitu kondisi jalan yang sangat buruk.

Ketiga, kesenjangan sosial. Di Lampung sampai sekarang masih dijumpai ada kelompok masyarakat yang relatif tertinggal dari apek pendidikan dan pendapatan. Di Era Gubernur Oemarsono pernah ada program Kampung Tuha, program ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi kesenjangan sosial, tetapi program ini tidak berlanjut bahkan program sejenis yang esensinya untuk mengatasi kesenjangan sosial nyaris tidak ada lagi.

Masa Depan Lampung

Beberapa persoalan mendasar tersebut, seperti inefisiensi pembangunan, kesenjangan sosial, dan kualitas pendidikan serta kesehatan yang hanya terpusat di Kota Bandar Lampung, dari aspek analisis masa depan menunjukkan adanya kecenderungan masalah yang perlu diatasi.

Jika akar persoalan dasar ini tidak diidentifikasi dan rencana pembangunan hanya didasarkan pada kebijakan inkremental semata, secara hipotesis, Lampung dalam proyeksi lima tahun mendatang dan 20 tahun ke depan tidak akan mengalami lompatan kemajuan pesat. Kondisinya dapat diilustrasikan dalam skenario kebijakan yang tidak termasuk dalam kategori optimis (Lampung Emas), melainkan hanya berada dalam skenario moderat yang dalam istilah statistik dikenal sebagai “Lampung Maju Namun Tidak Signifikan.”

Ada dua problem terjadinya disparitas pembangunan di Lampung yaitu lemahnya kapabilitas distribusi sumber daya yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan keterbatasan anggaran.

Gubernur seharusnya memerankan kapabilitas distributif sumber daya sehingga bisa menjamin pemerataan atau mengurangi kesenjangan sumber daya. Pada fungsi ini, efektivitas power gubernur menjadi menentukan, sehingga tidak terjadi faktor akses kekuasaan digunakan sebagai alat untuk mengdistribusikan sumber daya yang tersedia.

Faktor lain, adalah masalah keterbatasan anggaran. Masalah ini menjadi masalah klasik, sangat tidak mungkin fungsi pemerintah akan optimal apabila tidak didukung oleh sumber pendanaan yang memadai.

Kondisi ini mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan program-program sosial terkendala dalam pelaksanaannya, mengingat keterbatasan alokasi anggaran yang sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi semua kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk diversifikasi sumber pendanaan dan peningkatan efisiensi dalam pengelolaan anggaran guna mengatasi hambatan ini dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Lampung.

Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa penerapan kekuasaan yang efektif serta pengalokasian anggaran yang memadai akan menjadi landasan utama dalam merealisasikan visi Lampung di masa mendatang.

*) Pengajar di FISIP Universitas Lampung