Lampung Utara Kekurangan Dokter Spesialis

Bagikan/Suka/Tweet:

Feaby/Teraslampung.com

Kotabumi ––  Pascahengkangnya sejumlah dokter spesialis khususnya spesialis anak (Sp.A), dan spesialis Telinga, Hidung, dan tenggorokan (Sp.THT), Pemkab ternyata mulai merasa kekurangan tenaga dokter spesialis sehingga terpaksa ‘mengemis’ kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk dapat diberikan sejumlah dokter spesialis untuk wilayah mereka.

Bak senjata makan tuan. Inilah pepatah yang tepat untuk menggambarkan kebijakan Pemkab Lampung Utara yang telah ‘membiarkan’ sejumlah dokter spesialisnya hengkang dari daerahnya.

“Kami lagi mau buat surat kepada Kementerian Kesehatan agar dapat diberikan PTT (Pegawai Tidak Tetap) dokter spesialis. Kita (Lampung Utara) kekurangan dokter spesialis anak (Sp.A), spesialis Telinga, Hidung, dan tenggorokan (Sp.THT), spesialis jantung dan pembuluh darah (SP.JP) dan spesialis mata (Sp.M),” kata Kepala Dinas Kesehatan, Prasetyo Heri Hernawan, belum lama ini.

Selain meminta kepada Kemenkes, Prasetyo mengatakan pihaknya juga telah mengirimkan surat kepada Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta supaya dapat membantu ‘mengirimkan’ dokter – dokter spesialis yang baru lulus dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) ke wilayah Lampung Utara.

“Kami juga sudah upaya ke UGM untuk bisa membantu Kabupaten Lampung Utara usai lulus PPDS. Kalau memang berminat,” urainya.

Prasetyo berharap, usulan pengajuan kekurangan tenaga dokter spesialis ini akan dapat disetujui sehingga pada tahun 2016, kekurangan tenaga dokter spesialis itu dapat teratasi. “Semoga upaya atau usulan yang kami lakukan dapat terealisasi supaya pelayanan kepada masyarakat dapat lebih maksimal,” tuturnya.

Diketahui, sedikitnya terdapat tiga dokter spesialis Lampura yang dianggap wanprestasi karena tak mengabdi selama 10 tahun kepada Kabupaten Lampura. Ketiga dokter itu yakni dr. Billy Zukyawan Kurnadi, Sp.Rad, dr. Farida Nurhayati, Sp.THT dan terakhir dr. Nazlia Hanum, Sp.A.

Dari ketiga kasus tersebut, tak ada satu dari mereka yang diwajibkan mengembalikan biaya pendidikan sebesar 10 kali lipat. Bahkan, terdapat salah satu di antara mereka yang ‘diperkenankan’ membayar ganti rugi hanya sebesar 30 persen dari total biaya pendidikan.

Untuk kasus dr. Billy, yang bersangkutan hanya dipecat dari statusnya sebagai PNS dan ‘diminta’ mengembalikan biaya pendidikan satu kali sebesar Rp.160 juta dari total Rp1,6 Miliar yang diharuskan.

Begitu juga dengan penanganan kasus dr. Farida. Yang bersangkutan malah dibiarkan melenggang pindah dari Lampung Utara setelah hanya ‘diminta’ mengembalikan biaya pendidikan sebesar Rp203.000.000 dari total Rp2 Miliar yang wajib dibayarkan sesuai dengan kesepakatan yang ada.

Sedangkan untuk kasus dr.Nazlia Hanum, Pemkab tak mempersoalkan kasus wanprestasi yang bersangkutan usai menyepakati besaran ganti rugi sebesar 30 persen dari total biaya pendidikan yang mencapai sekitar Rp.150.000.000. ‎