Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Kata “lawang” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti minimal tujuh makna. Lawang adalah serapan dari bahasa Jawa yang makna aslinya adalah “pintu”.
Berbeda lagi kalau bahasa Lampung, lawang untuk dialek “O” artinya gila, dan ini tidak sepesifik peruntukkannya. Dengan kata lain, untuk orang tua, anak-anak atau strata bentuk lain, kata lawang tetap bermakna gila. Lawang dalam bahasa Lampung dialek “O” menjadi semacam bahasa umpatan dalam menunjukkan ketidak senangan kepada pihak lain. Misalnya “Dasar sanak lawang!” (Dasar anak gila). Maksudnya adalah memberikan penekanan atas ketidak sesuaian antara yang seharusnya dengan kenyataannya.
Seperti kita pahami, banyak perilaku “lawang” yang keluar masuk melalui “lawang” indra kita sehari-hari. Tidak jarang sebenarnya perilaku lawang itu merupakan penyimpangan. Namun karena terlalu sering kita lihat dan rasakan. Hal tersebut menjadi “kebiasaan salah yang dibenarkan”. Ambil contoh kebiasaan sedikit memberi uang untuk mendapatkan pelayanan lebih, padahal pelayanan itu memiliki standard prosedur operasional, yang tanpa harus diberi imbalan, sudah harus berjalan seperti itu. Namun karena kesalahan yang sudah jadi benar, akibatnya tanpa pemberian uang pelayanan, maka pelayanan yang kita terima tidak sesuai dengan apa yang seharusnya kita terima.
Kerusakan mental model “lawang” lainnya adalah “senang melihat orang susah, susah melihat orang senang”. Padahal dalam ajaran agama jelas tertera bahwa mendoakan orang kepada kebaikan, sementara orangnya tidak ada di hadapan kita, itu pahalanya luar biasa. Apalagi ikut senang manakala ada saudaranya dalam kegembiraan, dan ikut sedih manakala ada saudaranya dalam kenestapaan.
Ada perilaku “lawang” yang sedang tren saat ini, yaitu membangun musuh bersama dalam image kolektif. Caranya ialah mengembuskan isu menyesatkan tentang sesuatu atau seseorang bahwa yang bersangkutan atau sesuatu itu jelek sama sekali. Bangun kesan ini, lalu setelah besar kemudian dihantamkan kepada sasaran sebagai lawan. Contohnya dengan menebar isu bahwa seseorang atau sekelompok orang adalah tukang adu domba, padahal orang atau sesuatu yang diisukan tadi sedang duduk manis, tidak berbuat apa-apa. Cara penyesatan berpikir seperti ini dipakai untuk menutupi kebodohan penyebarnya agar tampak pandai. Padahal semua kita mengetahui perbedaan cerdik dan licik.
Pola pembangun image ini sebentar lagi akan ramai karena akan ada hajat nasional yaitu pemilihan umum. Lembaga pembangun citra ini menawarkan jasa dengan harga fantastis sesuai target sasaran, dan keberagaman media yang akan dipakai sebagai salurannya. Makin beragam media yang dipakai sebagai saluran, maka harga makin mahal. Juga target sasaran. Jika sampai pada titik “melenyapkan” secara sosial, maka harganya pun makin mahal. Belum lagi bicara durasi. Makin lama waktu tempuh yang diminta, maka hargapun makin mahal.
Ada yang lebih lawang lagi. Misalnya elas-jelas korban dianiaya sampai sekarang belum sadarkan diri, malah oleh yang menegakkan hukum ditawari untuk berdamai saja. Ini kelakuan aneh bin ajaib plus lawang.
Seharusnya penyelesaian di luar persidangan tidak perlu ditawarkan kepada mereka yang sedang berduka mendalam. Coba bayangkan kalau anak penegak hukum tadi dijadikan “bola penganiayaan” kemudian belum sadar, terus ditawari untuk berdamai. Apa pun alasannya cara ini adalah cara yang tidak manusiawi sekali. Perlu dipertanyakan “ada apa” d ibalik kemeja pak ketua kalau bicaranya sudah miring seperti ini?
Kalau diurutkan, maka tingkat kelawangan saat ini betul-betul sudah di muka “lawang”, sehingga jika didorong sedikit saja akan keluar pintu, dan sudah seharusnya dipalu. Pertanyaannya, yang memegang palu pun saat ini juga “lawang”, karena mengayunkan palunya tergantung pada “wani piro, entuk opo” (berani berapa, dapat apa).