Kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang melakukan kerja-kerja jurnalistik di awal tahun 2022 kembali terjadi hal tersebut berdasarkan video yang beredar di media sosial yang memperlihatkan arogansi satuan pengamanan (Satpam) di Kantor BPN/Kantah Kota Bandar Lampung. Intimidasi dan pelarangan tersebut terjadi pada jurnalis Lampung Post dan Lampung TV yang sedang meliput Kelompok Masyarakat yang sedang melakukan aksi dan mempertanyakan kinerja dari BPN/Kantah Kota Bandarlampung yang belum juga menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang telah didaftarkan sejak tahun 2017 dan hingga detik ini belum juga terbit.
Kejadian intimidasi dan kekerasan tersebut diduga dilakukan oleh tiga orang satpam dengan cara merampas kamera (handycame) dan ponsel (smartphone) milik kedua jurnalis tersebut yang menyebabkan kerusakan pada kamera (handycame), bahkan diduga satpam juga memaksa para jurnalis untuk menghapus gambar dan video yang ada pada ponsel (smartphone).
Selain itu juga peristiwa ini menambah daftar panjang intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan aktivitas jurnalistiknya, selama 2 tahun terakhir, pelaku kekerasan terhadap kebebasan jurnalis masih didominasi oleh organ/pejabat negara mulai dari kepala daerah, polri, TNI, hingga melibatkan masyarakat sipil untuk membungkam kerja-kerja jurnalistik dengan menggunakan kekerasan verbal maupun fisik bahkan sampai menggunakan senjata tajam. Kemudian sebaran wilayah kekerasan pers masih terpusat di Ibukota Provinsi yaitu Bandar Lampung yang terdapat 12 kasus kekerasan pers.
LBH Pers Lampung mengecam dugaan intimidasi terhadap aktivitas jurnalis yang dilakukan oleh Satpam BPN/Kantah Kota Bandar Lampung. Bahwa apa yang dilakukan oleh jurnalis tersebut semata-mata untuk mencari berita serta memberikan informasi kepada publik bahwa ada masyarakat yang menuntut hak nya, selain itu juga peristiwa ini menjadikan potret buram dari BPN/Kantah Kota Bandarlampung dalam memberikan pelayan publik, pertama, tidak adanya kepastian dalam pelayanan kepada masyarakat terkait SHM yang tidak kunjung terbit lebih dari 2 tahun, kedua, tidak adanya pelayan publik yang humanis dan bahkan cendrung arogan dengan menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik.
Setiap penghalangan kerja-kerja jurnalistik dapat diancam pidana paling lama selama 2 tahuan hal tersebut sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.
LBH Pers Lampung siap untuk melakukan advokasi dan mendampingi jurnalis yang diduga mendapatkan tekanan dan intimidasi saat melakukan peliputan dan aktivitas jurnalistik, karena pada dasarnya pengekangan terhadap kerja-kerja jurnalistik merupakan kemunduran dari demokrasi.
Chandra Bangkit Saputra
Direktur LBH Pers Lampung