Tokoh  

Linda Christanty, Mengolah Pengalaman Menjadi Karya Sastra Berkualitas

Linda Christanty (baju berkaca mata) saat menghadiri acara penganugerahan SEA Write 2013. Foto: Istimewa/dok Linda Christanty
Linda Christanty (baju berkaca mata) saat menghadiri acara penganugerahan SEA Write 2013. Foto: Istimewa/dok Linda Christanty
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com

Tahun 2013 menjadi tahun prestasi bagi cerpenis-cum jurnalis Linda Christanty. Dalam waktu yang berdekatan, pada Oktober 2013 kumpulan cerpen Seekor Anjing Mati di Bala Murghab karya Linda Christanty meraih dua penghargaan sekaligus. Yaitu anugerah sastra Sout East Asia (SEA) Write Award dari Thailand dan Penghargaan Prosa dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional.

Selain Linda, penerima SEA Write Award 2013 adalah Haji Hasri Haji (Brunei Darussalam), Sok Chanphal (Kamboja), Soukhee Norasilp (Laos), Mohamed Ghozali Abdul Rashid (Malaysia), Maung Sein Win (Myanmar), Rebecca T Anonuevo-Cunada (Philipina), Yeng Pway Ngon (Singapore), Angkarn Chanthathip (Thailand), dan Thai Ba Loi (Vietnam).

Sebelumnya, Linda juga pernah meraih dua penghargaan bergengsi di dalam negeri,. Yaitu dua kali sebagai penerima Khatulistiwa Award untuk kumpulan cerpennya Kuda Terbang Mario Pinto (2004) dan kumpulan cerpen Rahasia Selma (2010).

Linda juga pernah menerima Penghargaan Prosa Terbaik Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2010) untuk kumpulan esai politik dan budayanya yang berjudul Dari Jawa Menuju Atjeh. Sebelumnya, pada 1998 Linda meraih mendapat Penghargaan Prosa Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Esainya yang berjudul “Militerisme dan Kekerasan di Timor Timur” juga mendapat penghargaan sebagai esai terbaik tentang hak asasi manusia pada tahun 1998.

Bagi perempuan cantik-mungil ini, penghargaan SEA Award makin melecutnya untuk menghasilkan karya lebih bermutu. “Saya sangat berterima kasih kepada mereka (panitia SEA Write Award) yang telah memberikan penghargaan ini. Artinya, mereka memperhatikan karya-karya saya selama ini dan saya menghargai hal itu,” kata perempuan kelahiran Pulau Bangka, 18 Maret 1970 itu.

Jejak Linda dalam peta sastra dan jurnalisme di Indonesia sudah lumayan panjang. Selain Kuda Terbang dari Maria Pinto (2004), Rahasia Selma (2010) dan Dari Jawa Menuju Atjeh (2010), karya-karya Linda lainnya antara lain  “The Kersen Pohon” (cerpen, diterbitkan di Asia Literary Journal, Hong Kong, 2006), “Orang Tiro” (feature tentang anggota Gerakan Aceh Merdeka setelah Helsinki Accord, diterbitkan di Majalah Arena, Australia, 1 April 2007, “The Grave Keempat” (diterbitkan sebuah jurnal bahasa Inggris oleh Cornell University Program Asia Tenggara), dan lain-lain.

Menurut Linda, para sastrawan kawasan Asia Tenggara mengakui bahwa Thailand merupakan salah negara Asia Tenggara yang sangat menghargai sastra.

“Para sastrawan yang bertemu saya di Bangkok mengaku bahwa negaranya juga sudah memberikan penghargaan sastra. Namun, mereka mengatakan bahwa Thailand merupakan sebuah negeri yang sangat menghargai sastra dan di negara mereka itu belum terjadi. Belum seperti Thailand dalam menghargai sastrawan atau pengarang. Di mata mereka, penghargaan SEA Write Award dinilai sangat bergengsi,” ujar penulis yang pernah aktif bersama kelompok mahasiswa prodemokrasi menjelang jatuhnya rezim Orde Baru ini.

SEA Write Award adalah penghargaan penting di Asia Tenggara. Awalnya penghargaan tersebut diinisiasi oleh salah satu anggota keluarga Kerajaan Thailand yang peduli pada sastra dan disponsori beberapa perusahaan di Thailand. Pemerintah Thailand kemudian berinisiatif mengajukannya sebagai penghargaan Asia Tenggara dan hal itu disepakati negara-negara ASEAN lain.

Jejak apresiasi negara Thailand yang sudah begitu panjang di bidang penghargan sastra Asia Tenggara, kata Linda, bisa dilihat pada “Lorong Para Sastrawan” di Mandarin Oriental Bangkok, salah satu sponsor penghargaan SEA Write Award.

“Pada dinding-dinding lorong itu, sejak 1979 terpampang nama-nama seluruh sastrawan yang menerima penghargaan ini. Nama-nama mereka terpahat di batu. Saya juga melihat nama Romo Mangunwijaya, Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan sastrawan Indonesia lain penerima SEA Write Award di situ. Dulu, sebelum berkembang jadi Mandarin Oriental, hotel ini bernama Hotel Oriental dan sastrawan terkemuka dunia Joseph Conrad (1857-1924) pernah menginap di sana,” kata penggemar disko ini.

Sejak 1979, untuk pertama kalinya, penghargaan ini diberikan kepada sastrawan dari negara-negara ASEAN. Sastrawan pertama dari Indonesia yang menerima SEA Write Award adalah penyair Sutardji Calzoum Bachri (1979. Hingga 2013 sudah ada 35 sastrawan Indonesia yang pernah meraih penghargaan SEA Write Award. Linda Christanty adalah sastrawan perempuan keempat asal Indonesia yang menerima SEA Write Award.

Selain Linda Christandy, sastrawan perempuan Indonesia yang pernah menerima penghargaan bergengsi itu adalah Marianne Kattopo (1982), N.H. Dini (2003), dan Oka Rusmini (2012).

Meskipun penghargaan sastra dari pemerintah Indonesia belum seperti Thailand, Linda meyakini masa depan sastra Indonesia punya potensi yang cerah. Menurut Linda, Indonesia memiliki sastrawan muda yang karya-karnya berkualitas.

“Tapi hal itu tidak semata-mata bergantung pada para pengarang dan kualitas karya mereka. Kita juga membutuhkan kritikus sastra yang hebat,” uajrnya.

Linda mengaku sudah membaca karya sastra di usia yang sangat muda, pada usia 8 tahun. Yang dibaca Linda sejak usia sangat belia tidak hanya karya-karya sastra Indonesia, tetapi juga karya-karya sastra dunia.

“Saya juga membaca sejarah, politik, psikologi, gastronomi dan fashion. Sementara beberapa kritikus mulai mengenal dan membaca karya sastra ketika mereka kuliah sastra atau di usia dewasa,” ujarnya.

Selain di dunia kepenulisan, Linda juga aktif dalam barisan prodemokrasi menjelang Orde Baru tumbang. Keterlibatannya dalam dunia politik saat itu, kata Linda, disebabkan karena kepedulian. Kepedulian itu ditularkan oleh keluarganya.

Kakek Linda adalah adalah orang pertama yang mengenalkan Linda dengan politik dunia. Ketika Linda masih belia, di rumah selalu ada diskusi politik tentang Liga Arab, Palestina, Israel, Amerika dan Inggris, Indochina atau Asia Tenggara.

“Ketika Bobby Sands, seorang aktivis Irlandia Utara, mogok makan, Kakek saya memprotes pemerintah Inggris. Setiap kali saya pulang sekolah, saya tidak menukar pakaian sekolah dengan pakaian rumah, tapi mencari Kakek dan bertanya apakah Bobby masih mogok makan. Waktu Bobby meninggal akibat mogok makan itu, saya sangat sedih. Pengalaman-pengalaman semacam itu membentuk diri saya dan menginspirasi saya untuk terlibat dalam gerakan yang berjuang demi kehidupan yang lebih baik bagi orang banyak pada masa kekuasaan Soeharto,” kata dia.

Menurut Linda, pengalaman dalam gerakan mahasiswa hanya sebagian kecil dari seluruh pengalaman hidupnya yang kemudian menginspirasi melahirkan karya-karya sastra.

Pengalaman-pengalaman di berbagai bidang itu, barangkali yang juga berperan menjadikan Linda Christanty sebagai cerpenis Indonesia yang fasih narasi.

Cara bertutur sangat memukau. Dalam bercerita, Linda seolah-olah membawa pembaca ikut melihat peristiwa atau bahkan terlibat di dalam peristiwa. Kematian seekor anjing mungkin biasa saja di mata banyak orang. Namun, di tangan Linda, kematian seekor anjing bisa menjadi sebuah peristiwa luar biasa.

English Version: http://www.thejakartapost.com/news/2013/11/12/linda-christanty-a-flair-storytelling.html