Ahmad Yulden Erwin
Mungkin ada yang belum memahami konsep penyangkalan (negasi) dalam logika, khususnya dalam logika modern. Begini saya coba uraikan sedikit tentang konsep negasi dalam logika modern. George Boole (1815 – 1864), seorang matematikawan dan filsuf Inggris, menemukan persamaan antara logika dengan matematika.
Di dalam buku “An Investigation of the Laws of Thought on Which are Founded the Mathematical Theories of Logic and Probabilities”, Goorge Boole menjelaskan soal eliminasi atau penyangkalan atau negasi dari sebuah proposisi. Misalnya sebuah proposisi A, sebuah pernyataan deklaratif yang bisa dibuktikan benar dan salahnya, digambarkan sebagai himpunan (lingkaran elips warna kuning dalam gambar diagram Venn di bawah esai ini). Proposisi A berada dalam semesta pembicaraan tertentu (kotak warna biru muda). Ketika saya menyangkal himpunan A, maka berarti saya menegaskan semesta pembicaraan di luar himpunan A.
Untuk lebih mudahnya begini saya berikan contoh dalam konteks teori himpunan, dengan keanggotaan setiap himpunan berupa angka-angka bilangan asli yang lebih kecil dari angka tujuh. Himpunan A memiliki anggota = 1, 2, 3. Semesta pembicaraan (S) adalah himpunan bilangan asli yang lebih kecil dari 7 atau S = 1, 2, 3, 4, 5, 6. Ketika saya menyangkal A atau disimbolkan ¬ A, maka berarti saya menegaskan angka-angka dari semesta pembicaraan di luar himpunan A, yaitu: ¬ A = 4, 5, 6. Dengan demikian, di dalam logika modern, penyangkalan satu pernyataan deklaratif adalah bentuk penegasan terhadap semesta pembicaraan di luar pernyataan deklaratif itu.
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”, begitu pernyataan deklaratif atau kalimat pertama dalam sahadat Islam. Jika saya menyangkal Tuhan dengan ucapan “tiada Tuhan”, maka itu berarti saya menegaskan keberadaan Allah dalam pernyataan “selain Allah”. Sahadat di dalam Islam adalah penyangkalan terhadap proposisi tentang Tuhan yang sekaligus berarti menegaskan kehadiran Allah pada semesta pembicaraan.
Apa pun konsepsi kita tentang Tuhan harus kita sangkal, agar Allah yang di luar kata-kata, yang di luar pikiran kita, bisa hadir. “Persaksian”, sahadat itu, bukanlah tentang pernyataan tertutup, melainkan kesaksian terhadap semesta pembicaraan di luar penyataan deklaratif, yang lain itu, yang hadir di luar sistem tertutup pikiran kita. Sahadat dalam Islam adalah sebuah kesaksian tentang sistem terbuka, penerimaan terhadap “yang tiada satu pun menyamaiNya”. Islam, di dalam sahadatnya, adalah sebuah kesaksian atau pengakuan terhadap Yang Lain, sebuah pernyataan “egoless”.
Oleh sebab itu, saya benar-benar tidak memahami, bagaimana ada sekolompok orang di Indonesia saat ini, yang justru merasa paling benar dalam soal pemahaman akan Islam, menyebut pemahaman mereka sebagai Islam yang murni (sebuah sistem tertutup), sementara sahadat dalam Islam sendiri terbukti secara logika merupakan sebuah sistem terbuka.
Ketika Islam dimaknai sebagai sebuah sistem tertutup, maka Islam telah “dinistakan” menjadi ajaran fasis, menjadi ajaran untuk memusnahkan yang lain. Yang lain, di dalam ajaran fasis, adalah liyan, adalah musuh yang harus diperangi dan dimusnahkan tanpa alasan apa pun, selain karena mereka dianggap sebagai “abjek”, sebagai hal yang hina. Kafir dalam terminologi sahadat, bukanlah musuh yang harus dimusnahkan, bukan hal yang hina, tetapi setiap manusia yang belum “menyaksikan” Kebenaran, menyaksikan presensi dari Allah. Karenanya, saya sendiri sering bertanya-tanya dalam hati, benarkah saya benar-benar telah “bersahadat”?