LPAI Kecam Kasus Kekerasan Seksual Anak di Bawah Umur Penyandang Disabilitas di Lamsel

Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM–Lembaga Perlindungan Anak Indonesia(LPAI) mengecam keras atas tindakan kekersan seksual terhadap korban anak di bawah umur penyandang disabilitas intelektual (retardasi mental) berinisial NH (17), warga Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lampung Selatan hingga korban hamil dan melahirkan diduga dilakukan pelaku pria bersitri tetangganya sendiri berinisial Rdn (42).

Ketua Dewan Pengawas Pusat LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia), M. Zainuddin atau yang akrab disapa Kak Zai ini, mengecam keras atas kasus dugaan kekerasan seksual terhadap korban anak dibawah umur penyandang disabilitas intelektual (retardasi mental) berinsial NH (17), warga Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan diduga dilakukan pelaku berinisial Rdn tersebut.

Seharusnya, sebagai orang dewasa yang sehat baik itu fisik maupun mental, harus membantu dan menolong anak-anak terlebih lagi penyandang disabilitas. Bukan malah menyiksa, apalagi sampai merudapaksa melakukan kekerasan seksual terhadap korban hingga korban hamil dan melahirkan.

“Ini jelas-jelas perbuatan yang sangat biadab dan tidak berperikemanusiaan, apalagi korban ini selain masih dibawah umur juga penyandang disabilitas intelektual (retardasi mental) atau keterbelakangan mental,”kata Kak Zai kepada teraslampung.com, Senin (17/3)2025).

Penyandang disabilitas intelektual atau keterbelakangan mental, sangatlah rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Dengan kondisi yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik dan benar ini, justru menjadi sasaran empuk pelampiasan nafsu bejat hasrat seksual pelaku.

“Selain masih dibawah umur, korban ini juga sudah melahirkan. Bagaimana kelanjutan kehidupannya, sementara korban adalah penyandang disabilitas dan bagaimana bantuan pemerintah terhadap korban. Harusnya, pemerintah daerah melaui intsanti terkait lebih konsen dan peduli terhadap korban,”ujarnya.

Ia menegaskan, pihaknya meminta kepada pihak Polres Lampung Selatan, agar proses hukum terhadap kasus kekerasan seksual tersebut harus berjalan serius dan transparan. Kemudian terduga pelaku, harus mempertanggungjawabkan secara hukum pidana.

“Kami berharap, aparat penegak hukum menindaklanjuti kasus kekerasan seksual anak dibawah umur penyandang disabilitas ini sampai tuntas, sampai pelakunya tertangkap dan diadili,”kata dia.

Apalagi kasus tersebut telah dilaporkan keluarga korban pada tanggal 24 Juli 2024 atau sekitar delapan bulan lalu ke Unit PPA Polres Lampung Selatan, namun hingga kini korban sudah melahirkan perkara itu belum mendapat kepastian hukum.

“Proses hukum harus berjalan secara serius dan transparan. Kami meminta Polres Lampung Selatan serius menangani perkara tersebut, guna memastikan kasusnya ditangani sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan oleh DPR dan Pemerintah,”terangnya.

Menurutnya, dalam UU TKS ini, telah mengatur aturan khusus dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan dan anak penyandang disabilitas. Sehingga harapan bersama bagaimana UU TPKS ini, betul-betul dipahami aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual.

Misalnya, memudahkan korban untuk melewati penyelidikan, penyidikan dan memudahkan saksi bagi mereka. Termasuk aturan dalam UU TPKS tersebut yang membahas tentang saksi korban, yakni cukup korban sendiri harus dipahami.

“Dalam UU TPKS itu dikatakan cukup satu saksi, yakni korban saja dan tidak perlu ada saksi yang lain. Lalu satu alat bukti, tidak hanya visum tetapi bukti yang lain, setelah itu keyakinan hakim, dan itu cukup menghukum pelaku,”ungkapnya.

Pentingnya UU TPKS tersebut, menjadi rujukan dari penegak hukum. Sebab banyaknya kendala dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan penyandang disabilitas disebabkan pemahaman aparat penegak hukum yang masih sangat minim. Terutama pemahaman terkait kerentanan terhadap kelompok mereka (difabel).

“Jika kita berbicara perempuan penyandang disabilitas, banyak hal rentan yang perlu kita lihat. Dia (korban) rentan dengan kondisi disabilitasnya, rentan sebagai perempuannya dan rentan sebagai anak jika korbannya adalah anak dibawah umur,”katanya.

Penyandang disabilitas dalam regulasi yang berlaku saat ini, memang ditegaskan bahwa mereka adalah seseorang yang memiliki keterbatasan. Tidak hanya dalam fisik saja, tetapi juga psikis, sensorik dan motoriknya.

“Dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, memperlihatkan bahwa perlindungan dari aspek kekerasan seksual atapun tindak pidana yang lain memang harus diperhatikan. Utamanya, terhadap penyandang disabilitas perempuan dan anak,”terangnya.

Kesehatan Ibu dan Bayi Perlu Dikawal

Ia menyebutkan, Kementerian PPPA menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan.

Sehingga, pihaknya dalam hal ini ikut memastikan kesehatan ibu (korban) dan bayi yang belum lama ini dilahirkan oleh korban, menjadi tugas bersama yang juga perlu dikawal bersama. Bahkan Ia menyampaikan, terdapat hak-hak korban disabilitas yang perlu diperhatikan.

“Sesuai dengan UU TPPKS Nomor 12 tahun 2022, korban penyandang disabilitas berhak mendapatkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak untuk pemenuhan hak-haknya termasuk restitusi atau ganti rugi, pendampingan psikologis serta penyediaan juru bahasa isyarat jika diperlukan,”ucapnya.

Kemudian dalam hal ini, lanjutnya, untuk pemerintah daerah melaui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Dinas Sosial (Dinsos) seperti Sakti Peksos dan LK3 (Lembaga Konsultasi Kejehteraan Keluarga) Lampung selatan, lebih aktif atau responsif terhadap kasus yang terjadi terhadap korban anak dibawah umur penyandang disabilitas warga Kecamatan Candipuro hingga melahirkan.

Kasus kekerasan seksual anak dibawah umur penyandang disabilitas tersebut, mestinya menjadi perhatian serius semua pihak, baik aparat penegak hukum, instansi pemerintah DP3A, Dinsos dan masyarakat.

“Kami berharap, DP3A dan Dinsos Lampung Selatan yang notabenenya memberikan bantuan pendampingan terhadap korban perempuan dan anak serta kasus-kasus sosial di masyarakat, jangan menunggu adanya laporan tetapi tidak ada tindak lanjutnya. Segera turun kelapangan mendatangi rumah korban, dalam rangka memberikan bantuan yang dibutuhkan korban dan keluarganya,”kata dia.

Isu Perlindunga Anak Cuma Jadi “Remah-Remah Rempeyek”

M. Zainuddin mengungkapkan, isu terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak ini, seakan-akan hanya menjadi “remah-remah rempeyek” atau isu yang tidak menjadi prioritas. Sehingga isu terhadap perlindungan perempuan dan anak, belum menjadi topik utama bagi setiap kontestasi Pilkada 2024 lalu yang kini menjabat sebagai Kepala Daerah terpilih.

“Padahal dalam pengamatanya sebagai pengurus LPAI pusat, sejumlah daerah di Provinsi Lampung ini termasuk rawan dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak terhadap perempuan dan anak,”katanya.

Bahkan Komisi 3 DPR RI pernah menyebutkan, bahwa Lampung menjadi salah satu provinsi yang disorot dikarenakan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak termasuk tinggi, baik itu kuantitas maupun kualitas.

“Lampung ini, adalah salah satu daerah yang terkategori tingkat perilaku kejahatan terhadap perempuan dan anak cukup banyak dan serius. Namun anehnya, kenapa banyak daerah mendapat predikat sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak,”ujarnya.

Menurutnya, sejauh ini, pihaknya (LPAI) menilai belum menemukan sosok atau figur pemimpin daerah di Lampung yang peduli dan konsen terhadap perlindungan perempuan dan anak. Dari berbagai wacana yang pernah dilontarkan para bakal calon kepala daerah pada Pilkada 2024 lalu di berbagai media masa, isu perlindungan terhadap perempuan dan anak belum disentuh sama sekali.

Bahkan kebanyakan dari mereka (calon kepala daerah) ini, hanya melirik isu strategis jangka pendek saja seperti infrastruktur perbaikan jalan saja. Padahal, perlu adanya kebijakan-kebijakan yang revolusioner tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak dari seorang pemimpin.

“Belum ada pemimpin daerah yang punya Integritas dan memiliki kepekaan tinggi terhadap dunia perlindungan perempuan dan anak khususnya di Provinsi Lampung,”pungkasnya.

Zainal Asikin