Lupa atau Dilupakan

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Beberapa dekade lalu di negeri ini ada peristiwa yang mengguncang dunia yaitu meninggalnya Munir Said Thalib — atau lebih akrab dikenal sebagai Munir — yang adalah salah seorang tokoh dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Namun, ironisnya, jejak itu seperti memudar dalam ingatan publik: antara dilupakan, atau sengaja dibuat terlupa.

Pada 7 September 2004, Munir meninggal dunia dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Hasil otopsi menemukan bahwa ia diracun dengan arsenik dalam dosis mematikan. Tragedi ini sontak menjadi simbol gelapnya bahaya yang dihadapi para pembela HAM di Indonesia. Sejumlah orang telah disidangkan, termasuk Pollycarpus, pilot Garuda Indonesia, yang kemudian divonis bersalah. Namun, sampai hari ini, siapa aktor intelektual di balik pembunuhan Munir belum benar-benar terungkap secara tuntas. Laporan TPF (Tim Pencari Fakta) kasus Munir bahkan sempat hilang dari dokumen resmi negara, sebelum akhirnya ditemukan kembali setelah tekanan publik.

Perjuangan dilanjutkan oleh istrinya bernama Suciwati dengan melakukan aksi Kemisan, yaitu berdiri mematung di depan Istana negara dengan berbaju hitam dan berpayung hitam tanda berkabung; serta mendirikan ”Omah Munir” di Batu, Malang — sebuah rumah kecil yang menjadi museum perlawanan. Di sana, anak-anak muda bisa melihat jejak Munir, mendengar kisah perjuangannya, dan merasakan semangat keberanian yang ia wariskan.

Pertanyaan tersisa: apakah semua peristiwa yang tidak mengenakkan harus kita lupakan. Tentu jawabannya sangat subyektif dan personal, karena bisa”ia” dan bisa “tidak” dengan sejuta argument. Pertanyaan yang dalam dan penuh makna. Jawaban singkatnya: tidak selalu harus dilupakan, tapi mungkin perlu di-letakkan dengan cara yang sehat. Kadang peristiwa yang tidak mengenakkan justru membawa pelajaran penting.

Melupakannya bisa membuat kita mengulang kesalahan yang sama. Tapi terlalu terus mengingatnya pun bisa membebani batin dan menghambat kita untuk maju.

Jadi mungkin bukan soal “melupakan”, tapi lebih ke “menerima” dan “melepaskan”. Mengingatnya tanpa menyiksa diri, belajar darinya, dan tidak membiarkannya mengendalikan hari ini. Oleh karena itu “lupa” dan “dilupakan” adalah topik yang kaya dan sering dibahas dalam wilayah filsafat, terutama dalam filsafat pikiran, eksistensialisme, dan etika.

Beberapa pendekatan filosofis yang menarik terkait ini hasil dari penelusuran digital ditemukan informasi sbb:

1. Filsafat Pikiran & Memori

Dalam filsafat pikiran, “lupa” dibahas sebagai bagian dari mekanisme kesadaran dan identitas. John Locke, misalnya, menganggap memori sebagai inti dari identitas personal. Kalau kita lupa sesuatu, apakah itu berarti kita bukan lagi orang yang sama?. Lalu muncul pertanyaan lanjutan: jika melupakan bagian dari siapa kita, apakah itu mengubah hakikat kita sebagai pribadi?, tentu pemikiran filsafat begini tidak cukup tempat untuk membahasanya di sini.

2. Eksistensialisme

Tokoh seperti Nietzsche dan Heidegger juga mengangkat soal ingatan dan lupa: Nietzsche pernah menulis tentang “kekuatan untuk melupakan” sebagai sesuatu yang penting agar kita tidak terus dihantui masa lalu dan bisa menjalani hidup secara lebih bebas. Heidegger bicara tentang “kejatuhan” manusia ke dalam rutinitas yang membuat kita lupa eksistensi kita yang sejati.

3. Etika & Politik

Konsep “melupakan” juga sering muncul dalam konteks etika: Apakah kita boleh melupakan kejahatan masa lalu demi perdamaian (misalnya dalam kasus pasca-konflik)?. Atau, apakah melupakan adalah bentuk ketidakadilan, karena mengabaikan penderitaan korban?

Paul Ricœur, filsuf Prancis, menulis banyak soal memori, lupa, dan pengampunan. Ia membedakan antara “lupa pasif” (karena waktu) dan “lupa aktif” (karena kita memilih untuk melupakan). Yang terakhir ini punya konsekuensi moral.

Jadi ya, lupa dan dilupakan bukan sekadar pengalaman psikologis atau emosional. Ia bisa menjadi pertanyaan filosofis yang menggali identitas, makna, bahkan moralitas yang begitu dalam dan substansial. Oleh karena itu, ada orang bijak yang mengingatkan kepada kita semua dengan berkata “Jangan pernah gunakan kata-kata kasar ketika engkau marah, terutama ketika itu adalah orang terdekatmu; karena kemarahan itu akan berlalu, tetapi kata-kata itu akan terpahat membekas di hati orang yang kau tuju”.

Menjadi persoalan sekarang melupakan dan dilupakan itu didisain untuk terjadi; sehingga orang “terpaksa” melupakan dan dilupakan. Sebagai misal banyak peristiwa di negeri ini yang dikondisikan untuk itu, dengan cara membuat issue baru untuk menutup (melupakan) peristiwa yang ada. Masih ingat pegawai pajak yang terseret kasus anaknya, bahan bakar oplosan pada anak perusahaan minyak ternama, takaran minyak goreng yang tidak memenuhi standar, pagar laut, dan masih ada beberapa lagi. Semua dibikin “terpinggirkan” dari memori kolektif, sehingga penyelesaiannya dibuat tidak jelas.***