Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk mengungkapkan kembali informasi yang telah kita terima atau yang sudah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami.
Valeria Pramita (2022) dalam satu artikelnya mengatakan; setiap manusia pernah mengalami lupa. Di satu sisi lupa memang dibutuhkan ketika manusia dituntut untuk berpikir fokus pada objek tertentu. Namun lupa sering dimaknai secara negatif, seperti lupa kepada Allah, termasuk lupa pada materi pembelajaran, sehingga lupa dimaknai termasuk salah satu gangguan dalam belajar. Lupa sebagai gangguan belajar bisa diatasi dengan beberapa prinsip dan strategi pembelajaran berdasarkan teori-teori psikologi pendidikan. Ingat dan lupa merupakan dua sifat yang saling kontradiktif, akan tetapi dimiliki oleh setiap manusia. Di sisi lain, sifat lupa menjadi anugerah bagi manusia. Karena anugerah lupa maka membuat manusia berusaha, bekerja untuk menjemput takdirnya.
Kata lupa banyak di sebutkan dalam hadist-hadist Rasulullah SAW, terutama dalam rangka menunjukan bahwa sifat lupa sudah menjadi bagian dari tabiat dasar manusia. Lupa dalam Al-Qur’an memiliki banyak makna, di antaranya yaitu lupa atas suatu kejadian, nama seseorang, ataupun sesuatu informasi yang pernah diketahui adalah lupa yang banyak dihadapi manusia karena banyaknya yang masuk pada akal dan pikirannya. Atau sering juga disebut dengan adanya penumpukan informasi. Selanjutnya lupa yang tersembunyi, maksudnya adalah sebagai suatu kelengahan atau kelalaian yang dilakukan, seperti lupa dalam meletakkan sesuatu, yang terdapat dalam Q.s Al-Kahf/18:63. Dan kemudian lupa yang bermakna hilangnya konsentrasi akan suatu permasalahan, maksudnya lupa disini adalah meninggalkan ketaatan kepada Allah karena hilangnya konsentrasi dalam menjalani segala perintah dari-Nya.
Kajian soal Psikologi dan keagamaan kita serahkan kepada para ahlinya, namun pada bentangan ini kita akan membahas lupa dalam konsep filsafat manusia. Tentu saja pada wilayah ini menjadi multitafsir jadinya, karena setiap aliran dalam filsafat berbeda dalam menaraasikan; apalagi jika diletakan pada aras Ontologi; maka semakin sempurna perbedaanya.
Dalam narasi “otak-atik gathuk” , lupa sering didudukkan pada narasi “oleh lali ning ojo nglali”; bahasa jawa ini terjemahannya “boleh lupa tetapi jangan sengaja melupakan”. Terjemahan ini tidak tepat benar, karena wilayah “nglali” itu ada pada wilayah rasa. Namun justru wilayah ini sekarang banyak dipermainkan oleh banyak orang sebagai sesuatu yang sah-sah saja dilakukan.
Sebagai contoh, saat sebelum pemilihan, apapun itu jabatannya, para calon mengumbar janji tentang sesuatu kepada calon pemilihnya, baik berupa kemudahan, atau perbuatan untuk melakukan sesuatu. Setelah pemilihan usai dan calon yang menjanjikan tadi menang, calon tadi berkecenderungan “nglali” (pura-pura lupa) akan janjinya. Saat ditagih atau diingatkan bahasa yang paling aman dipakai adalah bahasa “rasa” bukan bahasa kuantifikasi. Jadi cukup dengan ucapan “sabar, sedang saya pikirkan”. Bahasa-bahasa seperti ini tidak memiliki batas waktu konkrit secara kuantifikasi, sehingga pada waktunya orang akan lupa, atau melupakan, atau kesal hati untuk tidak menagih lagi. Hasil akhir ini seperti itu, tentu inilah yang diharapkan oleh sang pemenang.
Lupa bisa membuat kealpaan yang berakibat fatal tentunya; manakala seorang pemimpin lupa nama daerah kekuasaannya, lupa tanggungjawabnya, lupa akan tugas dan kuwajibannya. Sebab kealpaannya membuat orang lain menderita atau sengsara; sehingga bisa pemimpin tadi ditinggalkan oleh yang dipimpinnya. Menjadi lebih fatal lagi jika pemimpin tidak merasa lupa kalau dirinya sebenarnya lupa.
Sayangnya, pemimpin model begini tampaknya saat ini banyak berserak dinegeri ini; sehingga urusan remeh-temeh saja yang seharusnya menjadi focus pekerjaan dan tanggungjawabnya menjadi terlupakan. Akibatnya beban tadi diambil alih oleh pihak lain yang itu seharusnya bukan tanggungjawabnya. Tatkala diingatkan; yang ada pembelaan diri; tatkala ada yang mengejek responnya murka; bahkan yang murka bukan dirinya saja, para “penderek”nya ikut murka, sampai-sampai mengeluarkan kata atau kalimat yang tidak pada tempatnya.
Alhasil kelupaan menjadi kehancuran akibat dari kebodohan. Tidak salah jika pada waktunya ada gerakan moral yang menamakan kelompoknya sebagai kelompok “Melawan Lupa”, untuk mengingatkan kepada siapapun bahwa ada peristiwa yang tidak boleh dilupakan.
Kita lupakan cerita Bandung Bondowoso yang membuat candi seribu kurang satu hanya dalam satu malam; kita kembali ke “Romo Tambak” yang menceritakan bagaimana Prabu Harjunawijaya bekerja sama dengan pasukan kera yang berpanglima Hanoman si kera putih. Saat membangun tambah dibuat se-presisi mungkin, dihitung se-ditail mungkin; dan dilakukan dengan terencana, terukur dan terstruktur. Manakala kita lupa dengan ajaran budi dari cerita ini, dapat kita tanyakan kepada Pak Dalang yang ada dibalik layar.
Selamat ngopi pagi.