Oyos Saroso H.N.
Namanya aslinya sebenarnya Suro Agul-agul. Tapi orang sekawedanan mengenalnya sebagai Suro Kecu. Kecu artinya perampok.
Dulu ia sangat menikmati ketika ada orang takut padanya. Orang-orang takut bukan karena Suro Agul-agul berprestasi dan berwibawa atau banyak amal jariyahnya. Mereka takut karena dulu Suro terkenal ganas.
Ketika menjadi lurah atau kepala kampung alias kepala desa, Suro Agul-agul tetap lekat dengan julukan kecu. Itu karena ia memang mantan kecu, perampok, berandal superberingas, atau preman sadis. Ia pun kerap disapa dengan sebutan Lurah Kecu atau Pak Lurah Kecu.
Lurah Kecu tidak pernah minta dipanggil “lurah mantan kecu” atau “lurah mantan preman”. Tapi tampak sangat menikmati ketika ada warga memanggilnya Pak Lurah Kecu.
Suro Agul-agul memang mantan kecu. Namun, sejak 10 tahun menjelang pemiihan kepala kampung, ia benar-benar berhenti sebagai kecu. Itu terjadi ketika wabah pes melanda seantero negeri dan merenggut nyawa dua anaknya: si sulung dan si bungsu.
Anak Suro tinggal seorang: Dyah Dewi Sutresmi Wulan. Gadis cantik berambut panjang, bertubuh tinggi semampai, berkulit kuning langsat, dan berhidung mancung-bangir. Kelak ia bersekolah di lembaga pendidikan agama hingga bangku kuliah. Bersama suami, Dyah yang mengenakan hijab sejak di bangku madrasah, kemudian mendirikan pondok pesantren kecil-kecilan di kampungnya.
Sejak anak semata wayangnya duduk di bangku kuliah itulah Suro Agul-agul berhenti menjadi perampok. Ia mulai mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ikut salat berjamaah di masjid yang dibangun menantunya. Ia makmum, sang menantu yang jadi imam.
Setelah sepuluh tahun berhenti sebagai kecu alias perampok alias preman besar nan sadis, Suro pun tergerak hatinya untuk membaktikan diri kepada desanya. Maka, ia pun mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa (pilkades).
Tanpa didukung uang dari cukong, tanpa menebar hadiah mobil dari cukong, dan tanpa obral janji, Suro pun melenggang sukses terpilih sebagai kepala desa.
Sebagai orang nomor satu di kampung yang mantan kecu alias perampok, Suro Agul-agul sebenarnya agak jengah kalau ada warganya yang memanggilnya Pak Lurah Kecu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak marah. Sebab, ia sadar bahwa dulu ketika profesi kecu masih melekat padanya dan ia masih gagah dan bangga karena ditakuti banyak orang, ia begitu menikmatinya.
Lama-lama Pak Lurah Suro Agul-agul pun terbiasa dengan sebutan Pak Lurah Kecu. Pada mulanya hatinya memang terasa sakit, terasa diiris-iris. Namun, hati kecilnya selalu berkata ‘dulu aku memang perampok.’
Sebagai upaya menebus dosa masa lalu, ia berusaha tidak marah ketika ada warga desa yang menyebut “Pak Lurah Kecu mantan preman”. Bahkan ketika ada wartawan menulis berita dan menyebut frasa “Lurah yang mantan perampok itu”, Suro tidak marah.
Kenapa ia tidak marah? Sebab semua itu adalah fakta.
Ini berbeda sekali dengan tabiat saudara kembar Suro Agul-Agul, yaitu Karto Agul-agul. Sejak kecil sampai dewasa, Karto Agul-agul terkenal jirih, penakut, tak pernah berani berkelahi, dan hidup normal sebagai “anak mami”.
Ketika sudah pensiun sebagai ambtenaar dan kemudian terpilih sebagai kepala desa di desa sebelah, ia berubah perangai. Tiba-tiba Karto Agul-agul sangat galak dan suka menghardik warganya.
Kalau ada warga yang protes atau kasak-kasuk, tak sungkan Lurah Karto Agul-agul menyergah dan memaki: “Kalau macam-macam sama saya, gue libas lu! Saya itu mantan preman, tauuuk!”
Ia sangat bangga sebagai kepala daerah yang juga mantan preman.
(Kalau semua warga desa disuruh mengomel, pasti omelan 3/4 warga desa akan sama: “Dasar lurah sakit! Jadi mantan preman kok bangga! Kalo lu dulu preman, nggak perlu baru pamer sekarang ‘kelessss….'”).
—
Catatan: Meskipun realnya adalah kepala desa, banyak orang desa di Jawa Tengah menyebut kepala desa sebagai lurah.