TERASLAMPUNG.COM — Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Senin (9/3/2020). Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
Pembatalan itu setelah MA mengabulkan peninjauan kembali atau judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).
Peninjauan kembali dilakukan KPCD karena keberatan dengan kenaikan iuran itu. Mereka kemudian menggugat ke MA dan meminta kenaikan itu dibatalkan.
“Menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro, seperti dilansir detikcom, Senin (9/3/2020).
Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
“Bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial. Bertentangan dengan Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 171 UU Kesehatan,” ucap majelis.
Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi:
Pasal 34
(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2O2O.
Dengan dibatalkannya pasal di atas, maka iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:
a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2
c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1
Dampak dari keputusan Mahkamah Agung ini, iuran yang sudah dibayarkan membutuhkan ketetapan hukum untuk penyelesaiannya.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Kesehatan Mohamad Subuh menyebutkan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk menyikapi kondisi ini.
“Hal ini harus dibahas dengan Kementerian Keuangan, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dana tersebut,” kata Subuh, Senin (9/3/2020).
Pada 2019, pemerintah mentransfer dana sebesar Rp13,5 triliun melalui Perpres 75/2019 untuk menutup defisit yang diproyeksikan mencapai Rp32 triliun. Dana ini merupakan pembayaran dimuka bagi masyarakat penerima bantuan iuran yang ditanggung APBN. Selain itu BPJS Kesehatan telah mengajukan menarik iuran tambahan sebesar Rp15,5 triliun.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku sepenuhnya mulai 1 Januari 2020 lalu.
Seluruh segmen peserta tercatat mengalami kenaikan iuran. Pertama, iuran peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Kelas 3 akan meningkat menjadi Rp42.000, dari sebelumnya Rp25.500.
Iuran peserta atau mandiri Kelas 2 akan meningkat menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000. Lalu, iuran peserta Kelas 1 akan naik menjadi Rp160.000 dari sebelumnya sebesar Rp80.000.
Selain itu, terdapat perubahan perhitungan iuran peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang terdiri atas ASN, TNI, Polri. Perhitungannya yakni 5% dari total gaji per bulan, terdiri dari 4 persen yang dibayar oleh pemberi kerja dan 1 persen dibayar oleh peserta.
Batas tertinggi dari gaji per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran iuran peserta PPU pun meningkat menjadi Rp12 juta. Sebelumnya, batas atas tersebut masih sebesar Rp8 juta.
Adapun, iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) meningkat menjadi Rp42.000 dari sebelumnya sebesar Rp25.500. Kenaikan iuran PBI yang berasal dari anggaran pemerintah tersebut telah berlaku surut pada 1 Agustus 2019.
“Waktu itu diputuskan karena defisit kronis mencapai Rp32 triliun maka kenaikan iuran didesain agar sistem jaminan kesehatan bisa sustainable tanpa menimbulkan satu pihak breakdown, seperti RS atau sistem lainnya,” ujar Sri Mulyani dalam dihadapan anggota dewan, Selasa (18/2/2020).