Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
“Macan kerah” adalah istilah pada masyarakat Jawa dalam memberi label dari bunga yang bermacam-macam. Pada umumnya berfungsi sebagai kelengkapan ritual. Selain itu juga berfungsi sebagai aroma terapi dan relaksasi. Ramuan ini juga memiliki fungsi penghilang rasa penat dan capek, sehingga badan akan kembali segar dan bugar. Ramuan kembang macan kerah berisi bunga mawar, bunga kenanga, bunga kantil, kunyit, dlingo, bangle, kayu secang, jeruk purut, irisan daun pandan dan berbagai jenis empon-empon yang lain. Ramuan Macan Kerah ini juga digunakan untuk mandi oleh para putri kerajaan pada masanya, dan konon kebiasaan itu sampai sekarang masih berlangsung.
Makna harfiah “macan kerah” adalah a harimau yang sedang bertarung. Istilah ini bisa menjadi sanepo atau kiasan untuk peristiwa-peristiwa sosial yang sedang berlangsung.
Drama macan kerah saat ini sedang berlangsung antara dua institusi besar di negeri ini yang sama-sama menjadi penjaga marwah negara di bidang hukum. Tak terbayangkan sebelumnya pengulangan “cicak versus buaya” berulang lagi. Namun ini lebih dramatis lagi karena pimpinan keduanya berasal dari lembaga yang sama, kemudian karena ada pengaduan dari pihak ketiga yang dirugikan; namun secara bersamaan menyandang status tersangka, akibatnya kedua macan bertarung untuk merebutkan “singgasana kehormatan”. Terlepas bagaimana caranya.
Kita abaikan “persoalan pemicu”; namun kita lihat dari perspektif moral; maka tampak sekali kepemimpinan negeri ini dipenghujung periodesasinya banyak menampilkan hal-hal aneh. Itu belum lagi ditambah dengan wilayah-wilayah lain, sebagai contoh Calon Hakim Agung yang sedang mengikuti test kepatutan, ternyata beliau anggota partai yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota legeslatif. Untung para legislator yang akan melakukan “uji kelayakan” cukup jeli, tidak melanjutkan sidang, dan mengusir yang bersangkutan untuk keluar sidang.
Pertanyaannya, kenapa sampai bisa lolos calon ini sampai pada babak semi final? Apa saja pekerjaan panitia penyelenggara sehingga bisa meloloskan peserta bermasalah?
Contoh-contoh lain masih banyak dapt kita temukan, Namun “macan kerah” yang sedang terjadi di negeri ini; tampaknya terwakili pada kondisi di atas.
Kita banyak dibuat bingung menafsirkan peristiwa Macan Kerah atau Macan Bertarung ini; satu sisi kita sangat mendambakan agar lembaga ini menjadi sapu yang bersih, sehingga jika digunakan untuk menyapu, lantainya menjadi bersih; ternyata sapunya kotor. Anehnya lagi yang sedang demonstrasi dengan cara demonstrative mencukur gundul kepalanya, saat menjadi sapu, juga terindikasi kotor. Nah, sempurnalah kepuyengan kita akan peristiwa ini.
Macan kerah yang semula melabelkan keharuman bunga yang bercampur rempah, ternyata pada posisi nyata menjadi benar-benar dua “harimau” sedang bertengkar sengit untuk saling cakar dan saling gigit entah sedang mempertahankan apa. Kita yang melihat dan merasakan akibatnya menjadi prihatin, dengan berguman sudah seperti inikah negeri ini.
Untung banyak di antara kita merupakan spesies humoris, sehingga semua peristiwa sosial ditanggapi dengan ketawa, walau ketawa getir. Ya, kegetiran yang memuncak hanya bisa diekspresikan melalui tawa.
Oleh karena itu, dalam pakeliran wayang purwa ada adegan “goro-goro” yaitu tampilnya sang punakawan dengan tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, untuk mengilustrasi kehidupan tidak selamanya dihadapi dengan ketegangan. Rileksasi itu perlu agar kita tetap sadar bahwa kita menjadi mahluk yang dititahkan untuk menjalani kodrat yang telah tertulis di Lauh Mahfudz. Hak akan kuasa itu hanya dimiliki oleh Yang Maha Kuasa.
Salam waras!