Main Tabrak dalam Penyusunan Perbup TPP Pemkab Lampura

Kantor Pemkab Lampung Utara (Foto: © Teraslampung.com)
Kantor Pemkab Lampung Utara (Foto: © Teraslampung.com)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Feaby Handana*

Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Itu berangkali peribahasa yang agak tepat untuk menggambarkan kontroversi viralnya Peraturan Bupati (Perbub) Lampung Utara terbaru ‎tentang Tambahan Penghasilan Pegawai di Pemkab Lampung Utara.

Peraturan seputar TPP yang awalnya bertujuan untuk menghilangkan kecemburuan yang selama ini terjadi di kalangan pejabat akibat tidak meratanya besaran TPP yang diterima, kini justru seperti “menampar muka” dan “menelanjangi” diri mereka sendiri. Mulai dari pejabat penggodok perbup, sekretaris daerah hingga pelaksana tugas bupati Lampung Utara tanpa terkecuali terkena imbasnya.

‎Hal itu setelah belakangan diketahui bahwa  ternyata peraturan TPP yang baru itu diduga kuat tidak berlandaskan pada aturan yang ada.Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dengan jelas menyebutkan bahwa pagu anggaran TPP tidak boleh melampaui pagu anggaran tahun sebelumnya, namun ternyata hal itu tidak diindahkan.

Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah itu dipertegas kembali dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 061/14089/SJ tentang Tambahan Penghasilan kepada ASN di Lingkungan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2020. Surat edaran ini ditandatangani oleh Mendagri M. Tito Karnavian pada 17 Desember 2019.

Faktanya, besaran TPP untuk pegawai Pemkab Lampura berdasaran Perbup baru ternyata jauh melampaui besaran alokasi anggaran TPP tahun sebelumnya. ‎Jika pada tahun sebelumnya‎ besaran anggaran TPP hanya Rp3,2 Miliar/bulan maka total anggaran TPP baru ini diperkirakan membengkak hingga 100 persen.

Selain melanggar surat edaran Mendagri, Perbup tentang TPP baru itu juga ternyata mengangkangi Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 061 – 5449 Tahun 2019 tentang Tata Cara Persetujuan Mendagri terhadap Tambahan Penghasilan ASN di Lingkungan Pemda. Untuk mengubah besaran TPP, Pemda wajib meminta persetujuan terlebih dulu sebelum menetapkannya dalam Perbup. Sayangnya, fakta di lapangan berkata lain. Perbup terbaru ternyata telah terlebih dulu disahkan tanpa meminta persetujuan dari pihak Kemendagri.
‎‎
Tidak hanya itu masalahnya, Belakangan juga diketahui bahwa Perbub Lampung Utara  tentang TPP ini juga tidak menggubris hasil evaluasi analisis jabatan yang dilakukan oleh pihak Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Besaran TPP diatur Kemenpan dan RB dalam Keputusan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi dengan nomor B/373/M.SM.04.00/2020 tentang persetujuan hasil evaluasi jabatan di lingkungan Pemkab Lampung Utara.

Dalam Perbup Lampung Utara yang baru itu, banyak pejabat yang ‎mengalami peningkatan TPP secara siginifikan. Di antara sekretaris daerah dari Rp25 juta/bulan naik menjadi Rp35 juta/bulan, Asisten dari Rp10 juta/bulan naik menjadi Rp19 juta/bulan. Kemudian, kepala bagian di sekretariat daerah dari Rp5 juta/bulan naik menjadi Rp12 juta/bulan.

Adanya landasan aturan yang terlewatkan dalam menggodok TPP baru ini tentu tidak dapat begitu saja diterima. Pemkab tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan aturan yang ada.‎ Harus ada mekanisme yang dilalui sebelum peraturan itu disetujui dan dibawa ke pimpinan untuk ditandatangani.

Pernyataan Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Utara bahwa Perbup tentang TPP itu hanya berisi tata cara penghitungan besaran TPP dan bukannya besaran yang harus diterima dan tidak sesuai aturan ‎malah bak buah simalakama baginya.

Pada satu sisi, Sekda Lampung Utara, Lekok, mengaku hal itu sebagai ‘kekhilafan’ bawahannya. Namun, pada  sisi lain pernyataan itu menunjukkan kurangnya pengetahuan bawahannya terkait aturan tentang TPP. Hal itu juga bisa mengindikasikan adanya ketidaharmonisan hubungan antarpejabat di Lampung Utara. Kalau saja pejabat penggodok Perbup terbaru itu memiliki pengetahun yang memadai soal tata aturan produk hukum, mestinya paham bahwa sebuah Perbup harus mengacu atau berpatokan pada aturan – aturan yang ada di atasnya. Kurang luasnya pengetahuan bisa saja ditutupi jika dalam penggodokan Perbup tersebut, mereka mau berkomunikasi atau paling tidak bertanya dengan pihak yang lebih piawai dalam hal ini. Kenyataannya, ternyata hal itu tidak dilakukan. Mungkin karena adanya ketidakharmonisan antarmereka.

Mestinya, kelemahan bawahannya masih dapat diatasi seandainya Sekda Kabupaten Lampung Utara lebih meningkatkan pengawasannya sebelum Perbup itu dibawa ke meja Plt Bupati Lampung Utara sesuai dengan fungsinya. Fungsi yang dimaksud ialah pengkoordinasian perumusan kebijakan pemerintah daerah atau penyelenggaraan administrasi pemerintahan.

Kondisi‎ ini jelas kontradiktif dengan kondisi dua bulan sebelumnya. Saat itu publik banyak berharap ‘duet’ Lekok dan Pelaksana Tugas Bupati Lampung Utara akan mampu mengatasi prahara keuangan yang terjadi selama ini.

Optimisme publik beranjak dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang bersangkutan sebelum menempati posisi puncak di kalangan PNS. Keyakinan publik kian menguat manakala di bawah kepemimpinannya, persoalan tunggakan Alokasi Dana Desa dan hutang pada rekanan mulai teratasi.

Dengan munculnya kontroversi ini ‎wajar rasanya publik sedikit mempertanyakan atau kalau boleh dibilang meragukan kemampuan Lekok dalam hal mengelola keuangan di masa mendatang. Namun, publik tentu tidak boleh juga selamanya pesimistis karena masih banyak waktu bagi Lekok untuk memperbaiki kesalahannya.***

*Jurnalis Teraslampung.com