Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila
Akhir akhir ini kita sering dihadapkan dengan jargon untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh dalam rangka melawan Covid 19, dengan makan enak. Dokter muda alumni Perguruan Tinggi ternama di negeri ini menjadi relawan yang sangat getol membiwarakan slogan ini. Secara pribadi saya sangat takzim pada orang muda ini, sekalipun ada nitizen yang mengomentari miring, beliau tetap jalan terus. Dan lebih baik berbuat dari pada hanya komentar, sekalipun komentar itu adalah hak asasi, namun menjadi relawan juga hak asasi dari sang dokter.
Jargon “Makan Enak” adalah ciri khas beliau dan untuk ini saya ijin untuk menggunakannya dalam rangka menganalisis jika kita sandingkan dengan “Enak Makan”. Keduanya tentu akan berbeda makna; karena makan enak adalah lebih kepada fisik makanannya sementara enak makan lebih kepada soal selera atau lebih tinggi sedikit adalah rasa.
Dorongan untuk makan enak yang didengungkan sekarang ini adalah sesuatu kewajaran, persoalannya ukuran makan enak itu juga perlu direnungkan kembali. Karena ada diantara kita makan Ayam Goreng sudah bukan lagi makan enak, akan tetapi bagi saudara saudara kita yang mohon maaf memiliki ekonomi kurang beruntung, makan ayam goreng adalah rezeki yang luar biasa.
Namun, di sisi lain ada saudara kita yang secara fisik menu makanannya biasa biasa saja; akan tetapi tampak bahagia sekali dan lahap makan dengan muka ihlas. Sementara ada yang menghadapi hidangan luar biasa; semua ada, tetapi tampak sekali selera makannya tidak ada sama sekali, bahkan makananpun tidak disentuhnya, hanya dipandang tanpa ekspresi.
Ternyata makan yang enak itu jika makanannya memang enak, dan yang makanpun merasakan enaknya itu. Tentu tipe ideal seperti ini tidak semua kita beruntung; untuk itu posisi yang kedua adalah merasakan enaknya makan. Dengan kata lain soal enak makan itu menjadi pendahulunya. Sementara enak makan itu tempatnya ada di “rasa”.
Oleh karena itu penyakit akan sangat membahayakan jika bukan hanya menghilangkan rasa enak, tetapi merasakan enaknyapun ikut hilang. Hilangnya rasa cecap pada mulut akibat suatu penyakit sudah sangat menyiksa, dan akan lebih tersiksa lagi jika rasapun ikut hilang dalam mencecap.
Beberapa hari ini kita kehilangan teman, saudara, sanak famili, suami, istri, anak dan orang orang yang kita cintai. Betapa sakitnya merasakan penderitaan itu; mulut kita mengatakan ihlas, tetapi nurani kita mengingkarinya. Karena memang soal “rasa” adalah soal subyektifitas yang sangat personal. Masih segar dalam benak kita bagaimana teman, sahabat, saudara yang beberapa menit sebelumnya masih menjawab berita yang kita kirim lewat media, ternyata beberapa menit kemudian kita mendapat berita beliau berpulang.
Persoalan rasa ini menjadi permasalahan besar dalam kehidupan ini; tidak sedikit kita melihat contoh hari ini, dimana saudara saudara kita yang sedang berjuang melawan covid, tetapi ada yang hilang rasa justru memanfaatkan kesempatan untuk tujuan lain. Menjual obat yang tinggi, menimbun alat alat kesehatan, memanipulasi peristiwa untuk kepentingan politik personal atau golongan, membangun pencitraan untuk kepentingan diri, menyalurkan syahwat politik rendahan dan lain sebagainya.
Mari sebelum terlambat kita bukan hanya membangun citra makan enak, akan tetapi juga enak makan, tentu dengan cara tidak semudah membalik kedua kata tadi. Karena kita akan merasakan enak makan jika semua yang kita anggap persoalan, baik bersama maupun personal, dapat kita selesaikan dengan sebaik baiknya.***
persoalan rasa ini menjadi penting karena bisa terjadi makanannya enak, tetapi tidak enak makan. Atau makanannya tidak enak, tapi tetap enak makan. Sementara yang paling sengsara jika makanannya tidak enak, makanpun tidak enak. Dan yang terakhir ini sekarang sedang banyak melanda saudara saudara kita.
Memang idealnya adalah makanannya enak, makannyapun enak. Hanya berapa persen saudara saudara kita yang masuk kategori ini. Semoga dengan peristiwa covid ini kita dapat mengambil hikma dengan membangun empaty kita lebih tebal lagi untuk merasakan penderitaan orang lain; dapat menemukenali persoalan sosial yang sedang melanda negeri ini.