Ilustrasi |
Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang
banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan
sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak
sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu
(sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena
perbedaan pandangan semata, tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda.
Tulisan singkat ini mungkin menjadi jawaban bagi mereka yang menolak “Islam
Nusantara” menurut apa yang saya pahami dan saya maksudkan dengan istilah
tersebut.
Al-Quran dan As-Sunah sebagai sumber utama Agama
Islam memuat tiga ajaran.Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang
berkaitan dengan apa yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi
Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran akhlak/tasawuf, yaitu ajaran yang
berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan hati dari
sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Ketiga, ajaran
syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku
mukallaf, mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.
Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan
statis, tidak mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan
kepada Allah dan hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang,
antara orang-orang benua Amerika dengan benua Asia. Demikian juga, bahwa
keikhlasan dan kejujuran adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda
antara orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun
dan kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa
di-embel-embeli dengan
nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.
Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah
antara yang tsawabith/qath’iyyatdan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti kewajiban shalat
lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman berzina, tata cara ritual
haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan (statis) walaupun waktu dan
tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa tidak berbeda dengan salatnya orang
Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan di negeri manapun, dimulai
semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan Maghrib. Penjelasan Al-Quran
dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini
cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada
umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh
kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan
pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.
Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat
dinamis, berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi
ruang, waktu, dan kondisi tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi
haram, tapi sekarang atau kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunah
menjelaskan hukum-hukum jenis ini secara umum, dengan mengemukakan
prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad
supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan lingkungan sosial.
Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan
harga (tas’ir), padahal Nabi MuhammadShallallahu
Alaihi wa Sallam melarangnya. Tentu saja mereka tidak
menyalahi As-Sunah. Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah,
yaitu bahwa pada masa Nabi SAW harga melambung naik karena kelangkaan barang
dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan
pedagang. (Nailul
Authar, V, 220) Di sini,
para tabi’in membedakan antara-apa yang disebut ekonomi modern dengan-pasar
persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya.
Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar
menuju masjid untuk perempuan muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak
laki-laki berandal yang sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa
Syarḥul Muhadzdzab, I, 342)
padahal Nabi sendiri bersabda-seperti dalam riwayat Abu Daud (لا تمنعوا اماء الله مساجد الله،
ولكن ليخرجن تفلات. رواه أبو داود عن أبي هريرة.)-supaya jangan
sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.
Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah
dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam
Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah
pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai
hasil dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam
Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun,
apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan
bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya,
saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka
bukan pembela Islam.
*) KH Afifuddin
Muhajir,
Katib Syuriyah PBNU. Guru utama fiqih dan ushul fiqih di Ma’had Aly Pesantren
Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo. Tulisan ini dikutip dari situs
jejaring Ma’had Aly setempat. Ia baru saja meluncurkan karya Fathul . Tulisan ini juga dimuat di nu.or.id