Maman Analogikan Kapal dan Kejujuran

Bagikan/Suka/Tweet:

JAKARTA, teraslampung.com–Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, Indonesia, 18 Agustus 1957, dikenal sebagai kritikus sastra dari kalangan akademik, di samping nama-nama lain seperti Faruk H.T, Melanid Budianta, Suminto A. Sayuti, Manneke Budiman—untuk menyebut beberana nama.

Lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada tahun 1986, dan sejak itu ia mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Beberapa tahun menetap di Seoul sebagagai pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul.

Selain mengajar, ia banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya yang belum dipublikasikan, antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994) dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).

Beberapa pekan terakhir, Maman S. Mahayana menjadi sorotan publik sastra sekaitan terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, karena ia salah satu Tim 8 yang diketuai Jamal D. Rahman. Buku tersebut dianggap cacat sejarah setelah memasukkan Denny J.A. sebagai tokoh sastra paling berpengaruh bersama 32 sastrawa Indonesia lainnya.

Akibatnya, Maman S. Mahayana menyatakan mundur dari jajaran penyunting/juri yang dikenal Tim 8 dan siap menarik lima esainya di dalam buku tersebut, dan mengembalikan honorarium yang diterimanya sebesar Rp25 juta.

Kini Maman S. Mahayana sudah kembali ke Indoensia, siap mengajar lagi di FIB Universitas Indonesia. Teras Lampung telah mengajukan wawancara tertulis, namun kritikus yang sederhana dan sangat dekat dengan para sastrawan Indoensia ini menolak halus. Alasannya, ia ingin cooling down. “Saat ini saya tengah menyiapkan buku khusus tentang puisi. Jadi pikiran sedang konsentrasi ke buku,” katanya meminta pengertian Teras Lampung.

Namun, di statusnya pagi ini, muncul esainya berjudul “Tentang Analogi Kapal dan Kejujuran”. Boleh jadi, ini jawaban atau penegasan dari berita di salah satu media online, dan menjawab anakalogi yang pertama kali dilempar Ahmad Gaus—salah stau Tim 8—di tewitternya bergayung sambut di status Cecep Syamsul Hari.

Berikut tulisan Maman S. Mahayana…

Tentang Analogi Kapal dan Kejujuran

Maman S. Mahayana

Analogi adalah persamaan atau persesuaian dua hal atau benda yang berlainan. Bisa juga dirumuskan lebih longgar sebagai kesamaan sebagian ciri antara dua benda atau hal yang dapat digunakan sebagai bahan perbandingan (lihat KBBI). Manusia, misalnya, bisa saja dianalogikan dengan binatang atau benda yang lalu dicari kesamaan ciri atau karakteristiknya. Majas ini bisa juga dimanfaatkan untuk melakukan pembenaran atau tindak manipulasi. Sebutlah, misalnya, sebuah tindak korupsi atau perampokan bank. Bisa saja si koruptor atau perampok itu menganalogikan dirinya sebagai Robinhood atau si Pitung. Alasannya, hasil korupsi atau perampokan itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dapatkah korupsi dan perampokan digunakan untuk melakukan pembenaran? Benarkah uang itu akan dipakai untuk kesejahteraan rakyat, dan tidak untuk kepentingan pribadi atau keluarga?

Sebuah usaha mendirikan koperasi, misalnya, bisa saja dianalogikan dengan sebuah kereta yang hendak berangkat ke kota tertentu. Di sana, ada tujuan yang sama, juga ada penumpang yang sama. Bagaimanakah jika sesudah koperasi itu berdiri dan kepala koperasi melakukan korupsi, apakah penganalogian dengan kereta api itu masih relevan? Misalnya, kepala koperasi sebagai masinis gila dan anggota koperasi sebagai penumpang kereta. Apakah para penumpang itu akan tetap loyal duduk manis di dalam kereta, meski mereka tahu, masinisnya gila.

Sebuah usaha yang mulia, tentu saja perlu dikomandani oleh seseorang yang berhati mulia dan jujur. Banyak contoh tentang usaha atau perjuangan mulia dianalogikan dengan kapal yang hendak melayari laut. Mengapa usaha atau perjuangan mulia kerap dianalogikan dengan pelayaran sebuah kapal? Inilah hebatnya profesi kapten kapal. Ia terikat oleh sumpah jabatan, bahwa penumpang akan selamat sampai tujuan. Maka jika terjadi badai, kapten kapal adalah orang yang terakhir menyelamatkan diri. Ia punya integritas dan jujur pada profesinya. Para penumpang, sejak menaiki tangga kapal, percaya penuh pada integritas dan kejujuran Sang Kapten Kapal. Ia diyakini tidak akan berbohong pada profesi dan hati nuraninya.

Mengusahakan sebuah buku antologi tentu saja bisa juga dianalogikan dengan kapal dan kapten kapalnya. Tetapi, bagaimana jika di sana ada penumpang gelap dan kapten kapal sejak awal sudah berniat melakukan pembohongan? Masih relevankah analogi itu? Kapten kapal, seperti juga dokter, misalnya, terikat oleh sumpah profesi. Apakah para penumpang atau pasien harus tetap setia, meski tahu bahwa kapten kapal itu sesungguhnya perompak dan dokter itu telah melacurkan profesinya?

***

Tulisan adalah representasi pribadi. Sebuah tulisan mencerminkan diri penulisnya sebagai sosok yang berwawasan atau tidak; jujur atau tidak; berkepribadian atau sekadar terompet seseorang. Penulis profesional yang mengabdi pada integritas profesinya, selalu punya kesadaran pada reputasi dan kesungguhan agar dirinya tetap menjadi penulis terpercaya. Maka, dalam sebuah buku antologi, setiap penulis harus bebas dan mandiri, tidak terkooptasi kepentingan pihak lain, tidak dapat diinfiltrasi oleh pesanan-pesanan ideologi.

Bagi penulis atau sastrawan, karya yang dihasilkannya adalah representasi dirinya dalam sikap, integritas, dan kemandiriannya yang bebas dari pesanan atau keinginan melayani seseorang. Dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah esainya, “Kesusastraan yang harus melayani masyarakat tidak bedanya dengan pelayan di restoran yang harus memuaskan langganannya… Ini adalah kesusastraan yang boleh dinikmati sambil makan-angin: kenikmatan yang murah.” Maka, penulis sejati, tak hendak menjadi pelayan restoran yang menulis sekadar memenuhi pesanan, transaksi atau rekayasa.
Dalam konteks itu, ketua editor atau ketua tim, harus punya kesadaran, bahwa posisinya sebagai ketua editor atau ketua tim, adalah kepercayaan bahwa dirinya dapat dipercaya dan menempatkan kejujuran inheren dengan tanggung jawab. Ia berkewajiban menyuarakan kejujuran dan kebenaran yang terjadi dalam proses penulisan. Ia tak melakukan penghilangan atau pemanipulasian kebenaran. Para penulis dalam antologi itu sejak awal juga berkewajiban mendasari langkahnya pada niat mulia, mandiri, dan tekad menjunjung integritas sebagai penulis sejati. Maka, penulis sejati tak hendak menyelusupkan pesanan, tidak melacurkan diri dan berkhianat pada profesinya, dan menjaga kebenaran sebagai sikap profesional dan bentuk integritas pada profesi.

Mengingat masing-masing penulis bertanggung jawab atas apa yang ditulisnya, dan ketua tim berfungsi administratif dan koordinatif, maka setiap penulis dalam tim itu juga berkewajiban menjaga kejujuran dan kebenaran. Setiap penulis dalam tim itu berkewajiban pula mengingatkan jika terjadi pemanipulasian atau pemelintiran kebenaran oleh satu atau sejumlah penulis yang tergabung dalam tim itu, dan tidak melakukan pembiaran. Berdiam diri melihat dan mengetahui terjadinya kebohongan atau ketidakbenaran atau penyelewengan sama halnya dengan membiarkan kebohongan, ketidakbenaran, ketidakjujuran, atau penyelewengan berkeliaran di depan mata.

Inilah pesan kaum romantik pada diri para sastrawan: “Tuhan bertahta jauh dalam batinku yang megah.” Puisi (: sastra, karya tulis) adalah suara kejujuran yang menyampaikan kebenaran. Di sana, ada cahaya ilahi. Maka pernyataan: “Aku laksana Tuhan dalam pikiranku yang terdalam,” atau “Tuhan bertahta jauh dalam jiwaku” bermakna sebagai aku pencipta kebenaran menurut hati dan pikiranku yang jujur, maka suaraku memancarkan cahaya ilahi.

Begitulah, seorang sastrawan atau penulis sejati, berkewajiban menempatkan kejujuran dan kebenaran sebagai sikap dan integritas pada profesi. Lantaran penulis sejati hendak menyampaikan kebenaran, maka penulis yang melakukan kebohongan dan pemanipulasian tidak menjalankan tugasnya sesuai hati nurani. Bukankan yang dimaksud (hati) nurani (Arab: nuroniy) bermakna bersifat kecahayaan. Kata nurani dapat diperlakukan sebagai metafora untuk menunjukkan, bahwa di sana ada cahaya, dan cahaya itu representasi Tuhan. Penulis, sastrawan, atau seseorang dengan profesi apa pun berkewajiban menjaga kejujuran dan kebenaran dalam menjalankan tugasnya sesuai hati nurani, karena dari sanalah cahaya Tuhan memancar, dan tidak sebaliknya!