Syamsul Arifien
Suatu pagi – di tengah suasana duka takziah kematian keluarga seorang kawan – saya dipaksa mendengarkan kisah indah perjalanan tabliq seorang da’i dengan muka berseri-seri dan menampakkan mimik sedang menyampaikan pesan kehebatan dan kebanggan diri yang harus saya akui.
“Setelah kemarin Hongkong, mulai Maret, April dan bulan-bulan selanjutnya saya road show ke Taiwan, China, Korea Selatan. Alhamdulillah setelah gagal jadi anggota Dewan, rupanya Allah kasih saya hikmah lebih besar, bisa keliling ceramah ke luar negeri.” Demikian da’i itu bercerita penuh semangat, membuat saya dan puluhan petakziah lain berdecak, sampai-sampai suara pembacaan tahlil di depan mayat menjadi lenyap.
Da’i yang satu ini, memang dulu seorang pejabat. Karier politiknya menanjak dari mulai dua kali periode duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten, lalu menaik ke anggota DPRD Provinsi, meski gagal duduk untuk periode kedua pada Pemilu 2014 lalu. Sedangkan karier bisnisnya juga terbilang moncer, dari mulai sebagai pengusaha toko alat bangunan, show room mobil bekas, koperasi simpan pinjam, hingga usaha biro perjalanan haji. Juga yang tak kalah penting kegiatannya sebagai penceramah agama dari tingkat lokal hingga regional, dan mungkin kelak melanglang ke level internasional.
Sebuah Bank BUMN, tutur si Da’i, yang mempromotori dirinya membawa misi suci berceramah di luar negeri dengan pangsa pasar para jamaah TKI. Orientasinya, dua target akan dapat diperolah sekaligus. Pertama; dari forum pengajian-pengajiannya, TKI akan meningkat keimanan dan ketakwaannya. Dan kedua; pihak promotor – Bank BUMN, akan dapat meraih benefit dari program kerjasama jasa lalu lintas transaksi pundi-pundi penghasilan para TKI dari luar negeri ke dalam negeri.
Hmmm… profesi religi dari sekelumit cerita indah sang Da’i ini sepertinya memang menjanjikan. Bahkan sebenarnya sejak dasa warsa belakangan, di tanah air sudah ngetren dan bomming kreasi kegiatan pengajian dalam kemasan-kemasan industri dan profit. Da’i dan ustadz kemudian banyak yang lahir, besar dan terkenal di televisi-televisi. Fenomena jamaah juga makin termobilisasi dan modis dalam sorot kamera TV. Begitu pula dengan maraknya majelis-majelis pengajian, majelis zikir, majelis do’a, majelis pengobatan profesional, yang di kreasi oleh para da’i dan ustadz cerdas kita, oleh lembaga-lembaga profesi modern di berbagai kota tanah air.
Menyaksikan fenomena kegiatan keagamaan kreatif ini, hati saya sangat bahagia, sebagaimana kebahagiaan umat Islam Indonesia yang makin tebal keimanannya dan meningkat ketakwaannya di layar kaca, di masjid-masjid agung kota, di padepokan-padepokan para tabib dan ustadz.
Kebahagiaan hati saya ini tak boleh terkikis dan sirna oleh fakta-fakta yang juga pernah saya dengar dari sumber-sumber terpercaya, bahwa para TKI sering kali dibuat kelabakan menuruti selera para ustadz kita, seperti kamar hotel mewah dan honor mahal. Begitu pula high managemen profesi pada forum-forum pengajian kreatif dalam negeri, yang barangkali tidak akan pernah terjangkau dan dapat disentuh oleh kalangan muslim sarungan di pesolok-pelosok desa.
Wahai Tuhan, atas realitas ini apakah Engkau juga bahagia?
* Ketua Kelompok Musik Gamelan Jamus Kalimosodo Lampung