TERASLAMPUNG.COM — SABTU pagi, 9 Mei 2009. Matahari bersinar garang. Semua sekolah di Indonesia libur karena memperingati Hari Raya Waisyak. Namun, pagi itu puluhan siswa Sekolah Dasar Pulau Pahawang, Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran tetap berangkat ke sekolah. Hari libur justru saatnya bagi mereka bisa bermain sambil belajar tentang lingkungan hidup.
Mengenakan pakaian sehari-hari (bukan seragam sekolah), pagi itu para siswa perempuan membawa bilah-bilah mambu dan tali plastik ke sekolah. Sementara para siswa laki-laki memangggul beberapa bibit pohon mangrove. Pagi itu merupakan jadwal para siswa yang tergabung dalam Anak Peduli Lingkungan (APL) untuk menanam pohon mangrove di pinggir pantai di ujung Desa Pulau Pahawang.
Mereka pun duduk rapi begitu seorang “guru lingkungan” datang. ”Guru lingkungan” yang mereka panggil dengan sebutan “kakak” adalah pria berusia 20-an tahun bernama Suhendro. Setelah mengucapkan salam kepada para siswa, lelaki muda bersandal jepit dan berkaus oblong itu kemudian mengajak anak-anak menyanyikan lagu Mars Anak Peduli Lingkungan.
Dengan semangat, para siswa menyanyikan syair lagu ini:
Belajar bermain bersahabat dengan alam
Membangun jiwa yang segar dan cerdas
untuk selamatkan lingkungan
Menumbuhkembangkan rasa setia kawan
Perilaku jujur dan peduli lingkungan untuk jadi generasi penerus
Itulah kami hai, hai, anak peduli lingkungan
Syair lagu yang diciptakan Herza Yulianto, mantan direktur Mitra Bentala, itu bukanlah slogan kosong. Sejak belasaan tahun lalu, syair itu dinyanyikan dan dihayati oleh anak-anak Desa Pulau Pahawang yang tergabung dalam APL. Tiap hari libur para anak anggota APL bukannya pergi berlibur ke luar desa, tetapi justru berkecipak dengan air dan lumpur di pinggir pantai untuk menanam mangrove atau menyulam tanaman mangrove yang mati dengan bibit mangrove baru.
“Pagi ini kita akan menyulam tanaman mangrove yang mati dengan bibit mangrove yang baru. Semuanya harus ikut turun ke pantai. Yang tidak turun akan kena hukuman. Ayo anak laki-laki membawa bibit pohon mangrove, sementara para anak perempuan membawa bilah bambu dan tali plastik!” ujar Endro Sucipto, sebelum membawa para siswa berangkat menuju pantai.
Dengan riang gembira, pagi itu itu puluhan siswa anggota APL pun berjalan melewati jalan setapak sepanjang 3 km. Sesampai di pantai, satu per satu mereka turun ke pantai. Ada beberapa anak yang celana pendek dan bajunya basah karena lumpur dan air pantai setinggi lutut. Namun, mereka tetap tampak riang sambil sesekali mendendangkan lagu Mars Anak Peduli Lingkungan.
Sebagai “guru lingkungan” atau pembimbing, Endro mengaku tidak mendapatkan gaji. Endro mengaku, sudah sangat gembira kalau siswa sekolah yang tergabung di APL semakin banyak.
“Yang lebih penting lagi, kalau setelah mereka lulus nanti tetap mencintai lingkungan hidup. Saya bersyukur kini hasilnya sudah bisa dilihat. Mangrove di sekeliling pantai Desa Pulau Pahawang terawat dengan baik. Kami menanamkan cinta lingkungan sejak usia sekolah agar masa depan mangrove di Pahawang tetap terjaga,” kata aktivis Mitra Bentala, sebuah NGO lingkungan lokal yang peduli terhadap masyarakat pesisir.
Herza Yulianto, mantan Direktur Mitra Bentala, mengaku pihaknya mulai masuk ke Pulau Pahawang dan mengampanyekan pentingnya menjaga potensi alam di Desa Pulau Pahawang sejk 1997. Di antara pelestarian yang dikampanyekan adalah menjaga keberadaan hutan bakau (mangrove) yang luasnya di pulau itu mencapai 141 hektare (data 2009).
“Sejak 1978 eskalasi pengrusakan hutan mangrove dan terumbu karang di sekitar Pulau Pahawang begitu dahsyat. Pembabatan hutan mangrove dilakukan para pendatang untuk membangun tambak udang di pulau tersebut,” kata Herza.
Melakukan penananam mangrove kembali sejak 1997 dengan melibatkan seluruh warga desa dan anakk-anak sekolah, kini sudah ada lahan hutan mangrove baru 30 hektare mengelilingi Pulau Pahawang Besar dan Pulau Pahawang Kecil.
Para siswa SD SD Pulau Pahawang mengaku sangat senang bisa bergabung di APL. “Selain bisa belajar tentang mangrove, saya juga bisa menyelamatkan kampung kami dari ancaman gelombang besar. Setelah aktif di APL saya baru tahu bahwa pohon mangrove sangat penting artinya bagi keseimbangan alam,” kata seorang siswa.
“Saya bangga karena bisa ikut menyelamatkan desa dan pulau kami,” tambahnya.
Mangrove yang ditanam warga Pulau Pahawang dan anak-anak itu sebagian besar sudah tumbuh tinggi. Yang mati segera mereka sulam dengan bibit mangrove baru. Berkat kerja dari tangan-tangan kecil itulah areal hutan mangrove di Desa Pulau Pahawang kian bertambah luas.
Seiring dengan makin bagusnya hutan mangrove yang mengilingi Pulau Pahawang, kawasan itu pun makin seksi bagi para witawan. Kini, wisatawan domestik berdatangan ke Pulau Pahawang untuk berwisata, menikmati hijaunya alam perdesaan yang dikelilingi rimbun pohon mangrove di tepi pantai.
Hutan mangrove itu bagi Pulau Pahawang ibarat sabuk hijau sekaligus mahkota. Sabuk hijau, sebab mangrove itu sebagai pelindung daratan dari ancaman abrasi. Mahkota, karena hutan mangrove dan ekosistemny itulah yang menjadi andalan pesona wisata Pulau Pahawang. Tanpa ada hutan mangrove yang lestari, Pulau Pahawang tidak seksi sebagai kawasan wisata. Sebab, pulau terpencil seperti itu sudah banyak di wilayah Lampung lainnya.
Sayangnya, kesadaran tentang pentingnya hutan mangrove tidak dimiliki orang berduit yang hendak mengusai lahan Pulau Pahawang. Berdalih pohon mangrove itu miliknya, maka pohon-pohon mangrove itu dimusnahkan atau dikelilingi tembok agar aman buat dirinya sendiri.
Oyos Saroso H.N.