Mas Boy, Jurnalis Idealis yang Tetap Bersahaja

Mas Boy pada sebuah diskusi di Sekretariat AJI Bandar Lampung.
Bagikan/Suka/Tweet:

“Orang baik tidak harus mengatakan bahwa mereka adalah orang baik, mereka menunjukkannya.” — Shauna Parker

Juwendra Asdiansyah

BEBERAPA bulan setelah saya terpilih sebagai ketua pada 2007, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung (dulu sering disebut AJI Lampung) pindah sekretariat. Kami menyewa sebuah rumah di Jalan Dr Harun 2, Kota Baru, Tanjungkarang Timur.

Ini rumah dengan dua kamar yang relatif baru dan bersih. Ada ruang tamu, ruang tengah, paviliun tanpa sekat sehingga bisa digunakan untuk diskusi dengan peserta hingga 30-an orang, dapur kecil, teras, halaman depan dan halaman belakang. Paduan kesemuanya, ditambah area parkir yang “lapang”, menjadikan sekretariat sebagai tempat yang cukup nyaman untuk berorganisasi, beraktivitas, dan kongkow tentunya.

Mungkin sebab ini pula, bisa dibilang hampir setiap hari sekretariat ramai. Ada tidak ada kegiatan, ramai. Ada tidak ada rapat, ramai. Ramai ukuran kami, ya tak kurang 6-7 orang datang saban hari. Saat itu, dari sekira 40-an anggota yang tercatat, ada 10-an pengurus aktif (terbilang lumayan untuk ukuran AJI kota). Ini masih ditambah sejumlah mahasiswa penggiat komunitas Bengkel Jurnalisme yang kami fasilitasi untuk berkegiatan di sekretariat AJI.

Sebagian besar pengurus-anggota merupakan jurnalis aktif. Biasanya mereka datang satu-satu mulai tengah hari hingga jelang sore, selesai liputan atau rapat redaksi di kantor masing-masing. Ada juga yang nongol sejak pagi.

Salah satu yang cukup sering hadir adalah Ibnu Khalid alias Boy alias Mas Boy. Saya sebut cukup sering, karena jika saya, Adian Saputra, Habib Mawandhi, Hanafi Sampurna (Aan), dll hampir setiap hari datang, maka Mas Boy cukup 1-2 kali dalam sepekan. Tapi jangan salah, durasi 1-2 kali sepekan itu ya sudah terbilang rajin, aktif, apalagi jika dibandingkan dengan yang sama sekali tak absen dalam setahun.

Boy adalah ketua sebelum saya. Dia ketua ketiga, periode 2005-2007. Ketua pertama Oyos Saroso H N, kedua Firman Seponada. Boy ketua terakhir dengan masa jabatan dua tahun. Mulai era saya, kepengurusan berlangsung tiga tahun. Kembali ke soal rajin datang tadi, dan ini bagian lucunya, Boy justru jauh lebih rajin datang ke AJI setelah tidak lagi menjabat ketua.

Boy bekerja di koran Radar Lampung, satu dari dua koran terbesar di Lampung masa itu. Jabatannya tinggi, tinggi banget: general manager, setelah sebelumnya deputy general manager dan pemimpin redaksi. Bisa dibilang dia orang kedua di Radar Lampung setelah Ardiansyah alias Bang Aca.

Di antara semua anggota AJI Bandar Lampung saat itu, Boy lah yang karier dan jabatannya paling moncer. Dan sebab itu pula (mungkin) hidupnya paling sejahtera di antara kami. Saya waktu itu cuma reporter Seputar Indonesia alias Koran Sindo (MNC Group), Adian korektor Bahasa di Lampung Post, beberapa lainnya redaktur atau reporter di Lampung Post atau Radar, koresponden media nasional, serta jurnalis freelance.

Wajar jika Boy menjadi salah satu anggota kebanggaan. Ada anggota yang menjadi petinggi media besar tentu mengerek gengsi dan prestise organisasi. Tidak cuma itu. Bagi AJI, orang-orang dengan kapasitas seperti Boy membuat agenda-agenda organisasi lebih mudah diperjuangkan, terutama Tiga Panji AJI yakni kebebasan pers, profesionalisme, dan kesejahteraan jurnalis.

Ngapain saja jika berkumpul di sekretariat? Macam-macam. Lazimnya organisasi yang aktif, secara berkala kami rapat, diskusi, atau mengggelar pelatihan jurnalistik. Ada kalanya kami ketumpangan atau memfasilitasi konferensi pers pihak/lembaga tertentu. Di luar itu, sehari-hari ada yang mampir untuk mengetik berita atau menelepon narasumber, tapi ini minoritas. Yang lebih banyak: datang, duduk, ngopi, ngudut, main catur, ngobrol, lalu ketawa ketiwi.

Jika Boy datang, suasana sekretariat juga demikian, penuh canda dan tawa. Apa saja bisa jadi bahan kelakar. Pernah suatu kali kami terpingkal-pingkal saat ada yang impersonate alias menirukan cara bicara tokoh-tokoh utama Lampung saat itu, lengkap dengan logat dan dialeknya. Boy ngekek-ngekek sampai keluar air mata.

Meski saban hari kumpul, kami tak kenal istilah “mangan orang mangan kumpul”. Tidak ada itu. Yang ada, “kumpul ora kumpul yo mangan, nek kumpul yo mesti mangan”.

Kalau beberapa orang sudah datang, Andy Bhodonk Apriyadi (kini Korlip Metro TV Lampung) akan berangkat membeli gorengan. Sebelum itu, Aan biasanya diam-diam membisiki Andi, “Jangan lupa banyakin pisang gorengnya, Ndi.”

Jika kumpul pas tiba waktu makan siang, tak jarang kami membeli nasi bungkus. Nasi Padang tepatnya. Semua yang ada di sekretariat kebagian tanpa terkecuali. Lauknya tidak jauh-jauh dari telur bulat. Prinsipnya, yang penting semua makan, nasi banyak dan berkuah. Soal lauk nomor 13.

Dari mana duitnya? Kalau tidak patungan, ya pakai uang kas. Alhamdulillah, meski tidak berlebihan, saat itu kas organisasi cukup aman dari hasil pandai-pandai saving dana kegiatan dan kerjasama dengan pihak ketiga. Saking amannya, bukan hanya bisa sewa kantor di tepi jalan besar, kami juga bisa menggaji dua karyawan: seorang office manager dan seorang office boy.

Nah, jika Boy datang pada jam makan siang, ceritanya bisa sedikit berbeda. Andi tetap beli nasi Padang, tapi kami boleh request lauk sesuai selera, tidak harus telur. Kok bisa? Bisa, karena Boy yang traktir. Bukan cuma makan, rokok pun bisa sekalian ditraktirnya.

Tapi bukan semata karena banyak uang Boy acap mentraktir. Itu karena dia memang orang baik. Adian Saputra, sekretaris era saya, punya kisah sendiri tentang kebaikan Boy yang ditulisnya untuk Kompasiana edisi 13 Januari 2014 dengan judul “Ditipu KPK, Bermalam di Hotel”.

Ceritanya, awal 2008, Adian menikah. Sebagai sahabat tentu kami ingin memberi sesuatu yang istimewa di hari bahagia. Saya lalu menghubungi Boy, bicarakan hal ini. Tercetuslah ide menghadiahkan voucher menginap di hotel. Pikir saya, siapa tahu Boy punya voucher yang belum dipakai. “Kalau vocer lagi nggak ada. Sudah, biar nanti gua aja yang bayarin,” kata Boy mantap.

Bertiga (saya, Boy dan Habib), kami menuju sebuah hotel di Jalan Raden Intan. Untuk masa itu, hotel tersebut tergolong lumayan. Beberapa kali ada tamu dari Jakarta pun kami inapkan di sana.

Boy memesan dan membayar kamar, dan setelah itu kunci diserahkannya kepada saya dan Habib. “Lorang aja yang kasih ke Adian ya. Jangan bilang dari gua. Bilang aja hadiah dari AJI.”

Pendek cerita, dengan sedikit bersandiwara biar agak seru, hadiah bulan madu itu kami berikan kepada Adian. Tapi saya melanggar permintaan Boy. Kepada Adian saya beritahu bahwa itu hadiah dari Boy.
Semua yang mengenal Boy pasti tahu dia sosok yang bersahaja. Jabatan mentereng, karier bagus, duit cukup, tak lantas membuatnya gegayaan, alih-alih petantang-petenteng.

Banyak yang bilang, di kantor dia sosok yang tegas, bahkan galak, dan mestinya itu wajar saja mengingat jabatan dan tanggung jawab besar di pundaknya. Tapi di AJI, kami tak pernah melihat semua itu. Bersama kami, hanya tampak Boy yang low profile. Meski senior, pejabat media papan atas, dia tak pernah memosisikan diri lebih tinggi daripada kami semua.

Saat ngobrol, dia tak pernah mendominasi, menjadi orang yang paling tahu segalanya, menggurui, apalagi main perintah. Dia bicara dengan takaran yang pas, meski kalau dinaikkan beberapa derajat pun rasanya masih pantas dalam kalibernya.

Boy bukan tipe orang yang gemar menceritakan tentang dirinya. Sepak terjangnya yang hebat sebagai wartawan dan leader melulu kami dapat dari rekan kerja atau anak buahnya di Radar.
Karena sikap dan pembawaan seperti itu, setahu saya, tidak ada orang AJI yang tidak suka dengan Boy, apalagi bermasalah dengannya.

Tapi, di balik sosoknya yang santun, jangan tanya soal idealisme. Boy punya prinsip dan integritas yang tebal. Dia wartawan yang tahu betul bagaimana mestinya Kode Etik Jurnalistik diterapkan dengan zakelijk ketika begitu banyak sejawatnya yang bahkan membacanya pun belum pernah.

Boy kuat menjaga independensi. Dia bukan elite wartawan yang gemar berdekat-dekat atau rantang-runtung dengan pejabat, apalagi mencari keuntungan material dari hal itu, walau untuk melakukannya dia sangat bisa.
Boy sangat anti-amplop. Saat menjabat pemimpin redaksi Radar Lampung, dia tegas melarang seluruh wartawannya menerima amplop dari narasumber. Jika nekat melanggar, dan ketahuan, tak ragu dia memecat.

Dalam prosedur jurnalistik dia juga koppig. Meski media dalam grup Jawa Pos secara umum sering menerima kritik soal ini, Boy menjadi pengecualian. Anda boleh tanya wartawan atau eks wartawan Radar yang pernah bekerja di bawah Boy tentang disiplin bajanya soal liputan dan pemberitaan.

Pada 2009 saya pindah bekerja di Tribun Lampung yang hendak terbit. Mulai itu, intensitas saya ke AJI tak sepadat sebelumnya. Sejak itu pula, intensitas pertemuan dengan Boy surut. Kami tenggelam dengan kesibukan masing-masing.

Pada 2010, musibah datang. Boy dihantam stroke. Dia terjatuh di kamar mandi dan qodarullah baru ditemukan keluarganya sekira delapan jam kemudian. Stroke-nya berat. Operasi di kepalanya sampai harus dilakukan di luar negeri.

El maut belum waktunya menjemput. Operasi berhasil, namun semua tak lagi sama. Secara fisik Boy tak pernah pulih seperti sediakala. Jalannya terseok, bicara pun sulit. Saya membesuknya saat di rumah sakit, dan kemudian beberapa kali menyambanginya di rumah, terutama pada momen Hari Raya Idul Fitri. Sayangnya hal itu tidak bisa rutin saya lakukan dan selebihnya kami bertemu beberapa kali dalam momen syukuran HUT AJI.

Sejak 2008, AJI Bandar Lampung memberikan penghargaaan Kamaroedin (selain penghargaan Saidatul Fitriah), untuk individu atau lembaga yang dinilai punya kontribusi penting terhadap kemerdekaan pers dan hal-hal lain yang relevan terkait jurnalisme.

Pada 2011, saya dan beberapa kawan mengusulkan agar penghargaan tahunan itu diberikan kepada Boy. Bukan semata belas kasihan karena dia sakit, lebih dari itu dengan idealisme, integritas, dan segala kiprah hebatnya saat memimpin Radar Lampung, Boy memang pantas mendapatkannya. Syukurnya, usulan itu diterima.

Momen membanggakan ini mestinya menggembirakan. Tapi demi melihat Boy dituntun dan berjalan tertatih menerima Kamaroedin Award, dada saya sesak.

“Selamat ya, Mas Boy. Cepat sehat. Semangat terus ya!” ujar saya seraya memeluknya di bawah panggung. Boy menggangguk. Ada suara dari sela bibirnya yang coba tersenyum, tapi saya tak tahu apa yang diucapkannya.

Sabtu pagi lalu, tahun baru belum genap seminggu. Boy pergi, dan kali ini tak akan kembali. Innalillahi wainnailaihi rojiun. Di linimasa, kabar lelayu dan kenangan tentang bapak tiga anak itu bersahut-sahut bersama gerimis yang terasa sendu. Saya tekuri satu-satu hingga berhenti di satu unggahan. Penulisnya, Gue Ade (Ade Yunarso), salah satu sahabat terbaik Boy.

hari ini engkau telah pergi
pusaramu adalah saksi
Izinkan kusemayamkan dirimu dalam hati
dan menziarahimu setiap hari
–Ibnu Khalid (1974-2024)

Saya berduka, tapi saya yakin Ade jauh lebih berduka. Ini duka bersama yang merayapi hati orang-orang yang pernah mengenal, bekerja dan bersahabat dengan seorang baik dan hebat bernama Ibnu Khalid.
Selamat jalan, Mas Boy….