Masuk Angin

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Masuk angin merupakan istilah yang dikenal oleh orang awam ketika kondisi tubuh sedang tidak enak badan, seperti pusing, mual, demam, hidung tersumbat, dan lain sebagainya. Dalam dunia medis, gangguan kesehatan yang memiliki gejala masuk angin ini sebenarnya bernama flu atau common cold. Munculnya istilah masuk angin dikarenakan beberapa orang mempercayai kondisi tersebut disebabkan oleh banyaknya udara atau angin yang masuk ke dalam tubuh, terutama saat musim pancaroba.

Informasi ini menurut teman-teman medis tidak benar walaupun telah menjadi kelaziman dalam berpikir dan dalam filsafat inilah yang disebut kesesatan berpikir. Faktanya, daya tahan tubuh mudah menurun terlebih saat musim pancaroba. Ketika musim pancaroba, suhu udara cenderung mudah berubah-ubah. Perubahan suhu udara ini akan membuat tubuh terus menyesuaikan diri sehingga dapat berdampak pada daya tahan tubuh. Selain itu, musim pancaroba membuat intensitas sinar matahari di pagi hari yang membantu proses sintesis vitamin D dalam tubuh ikut menurun; Padahal, vitamin D ini menjadi nutrisi yang berperan penting dalam menjaga daya tahan tubuh.. Dengan menurunnya daya tahan tubuh, seseorang akan rentan terserang penyakit, salah satunya yaitu common cold yang menyerupai gejala masuk angin.

Seiring perkembangan waktu ternyata “masuk angin” dalam kehidupan sehari-hari sudah bermakna jamak. Bisa dalam arti sebenarnya, namun juga bisa berarti kiasan. Sebagai contoh, masuk angin bisa bermakna perihal sesuatu perkara yang sudah dicampuri orang lain, sehingga tidak benar lagi. Atau suatu persoalan yang sudah sarat dengan kepentingan dan menyimpang dari tujuan semula.

Sebagai contoh: bayangkan jika saat pengumpulan suara; semula suara diperoleh terbanyak ada pada seseorang, namun pada saat putaran berikut, suara tadi ada yang pindah haluan. Proses seperti ini dapat diberi nama juga “masuk angin”. Ada juga yang menyebutnya “pindah gerbong”. Gerbong pertama dirasakan tidak menjanjikan sesuai perkiraan, maka demi memenuhi hasrat dan harapan,  pilihan yang diambil adalah pindah gerbong. Model perilaku seperti ini ada yang memberi nama “kutu loncat” ada juga yang memberi label “transaksional”. Semua itu sah-sah saja. Tergantung dari sudut mana kita menilai, dan parameter apa yang dipakai. Karena perbedaan sudut pandang dan parameter-lah; maka perbedaan persepsi itu terbangun. Bisa jadi juga “perpindahan” itu karena ada tekanan eksternal yang sangat kuat, sehingga membahayakan personal atau institusional, dan itu sangat dimungkinkan.

Sebenarnya istilah masuk angin dalam perilaku sosial adalah penggambaran tentang perilaku manusia yang kehilangan enargi sosialnya, disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: secara diam-diam ditinggalkan pendukung, seperti kasus di atas; tetapi bisa juga karena kehabisan dana untuk merawat kebersamaan dan keberlangsungan suatu perjalanan sosial, akibatnya para pengikut merasa tidak mendapatkan manfaat jika terus bergabung; akhirnya mereka satu persatu meninggalkan gerbong sosial yang selama ini mereka kendarai.

Faktor lain, bisa jadi karena “perawat sosial” atau negosiatornya tidak disukai oleh anggota karena memiliki catatan kurang baik sebelumnya. Celakanya yang satu ini tidak disadari oleh pemimpin yang menugasinya; sehingga pemimpin selalu merasa “baik-baik” saja. Kondisi tidak baik-baik saja, biasanya dikenali sudah terlambat; maka ada adagium yang biasa digunakan “nasi sudah menjadi bubur”.

Ternyata masuk angin sosial jauh lebih mengerikan dampaknya, karena berimplikasi kepada banyak hal dan banyak pihak. Tempo perubahan bisa begitu cepat tanpa terprediksi atau terditeksi sebelumnya, bahkan tidak jarang tidak diperhitungkan dalam skenario. Tampaknya di sini letak keimanan dalam konteks keagamaan diyakini sebagai ruang yang “gelap”, dan hanya Tuhan yang mengetahui. Banyak skenario yang tidak terskenario terjadi: sehingga banyak sekali percepatan perubahan; walaupun hampir semua kita meyakinan hak prerogratif atas skenario itu adalah pemilik haq dari penentu nasib.

Pertanyaan lanjut:  siapakah yang berpotensi terserang masuk angin sosial ? Tentu jawabannya adalah semua kita berpotensi untuk terkena. Alasan utamanya adalah hal tersebut merupakan implikasi dari interaksi sosial yang kita bangun. Makin luas interaksi yang kita bangun, maka akan memiliki peluang besar kita terkena masuk angin sosial. Namun bukan berarti semakin sempit spektrum yang kita bangun hal tersebut tidak terjadi; sebab seluas apapun interkasi sosial yang kita bangun tetap memiliki peluang untuk terjadinya masuk angin sosial, hanya skalanya saja yang membedakan antara satu dengan yang lain.

Salah satu hukum interaksi sosial adalah dipilih atau memilih; namun bisa jadi memilih untuk tidak dipilih atau juga tidak memilih untuk dipilih atau juga dipilih untuk memilih. Masing masing itu bisa terjadi secara bersamaan pada waktu yang sama pada tempat yang berbeda. Lompatan waktu itulah berpotensi untuk terjadinya masuk angin sosial.

Selamat ngopi pagi di tahun baru.