Masyithah di ‘Nuwo Badik’

Antologi puisi "Nuwo Badik" karya Isbedy Stiawan ZS Foto: Endri Kalianda
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Endri Kalianda

Bagaimana cara membuat puisi? Anak kecil itu, bertanya pada ibunya. Entah mengapa, diserahkan saya untuk mengajar. Padahal, saya merasa selalu gagal dan menghasilkan “sajak gelap” ketika berusaha membuat puisi. Kadang justru terangkai kalimat, semacam “kata hati norak”. Tak layak disebut puisi.

Sebab kebingungan memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan tersebut, saya mengajak nonton film “The Book Theif” yang diangkat dari novel karya Markus Zusak dengan judul yang sama.

Ada adegan paling epik, ketika Max Vandenburg yang sembunyi di ruang bawah tanah karena menghindari razia dan kebengisan Nazi Jerman. Meminta Liesel Meminger, anak perempuan yang diadopsi pasangan Hans dan Rose Huberman. Memberi gambaran tentang cuaca.

Max yang hidup dalam pelarian, dicekam ketakutan, tak pernah ke luar ruang bawah tanah. Merindukan panorama alam di luar rumah. Bertanya pada Liesel.

“Bagaimana cuaca di luar?”

“Berawan.”

“Tidak, tidak, jika matamu bisa bicara,  apa yang diungkapkan?”

“Ini hari yang pucat.” Kalimat Liesel, membuat Max terperangah. Begitu indah.

“Pucat, bagus, lanjutkan.”

“Semuanya terjebak di belakang awan. Dan matahari. Tak terlihat seperti matahari.”

“Tidak terlihat seperti matahari. Seperti apa?”

Rona kegembiraan jelas tergambar di raut wajah Max yang kapas, kering kelaparan, sekaligus kedinginan. Semakin yakin dengan pengayaan diksi yang dikuasai, berkat sering mencuri baca di perpustakaan pribadi istri walikota yang pernah melihat gadis kecil itu mengambil buku di tengah lapangan, saat upacara membakar buku-buku sesat. Liesel melanjutkan:

“Seperti tiram perak.”

Dialog itu, bagi saya sangat puitis. Jika semua anak mampu mengungkap prakiraan cuaca dengan lukisan yang sastrawi. Mungkin bakal terbangun kelembutan dan budaya tutur yang teaterikal.  Bayangkan, anak kecil, untuk menyebut padanan “berawan” mampu membuat deskripsi memukau;

“Ini hari yang pucat
Semuanya terjebak di belakang awan
Dan matahari
Tidak seperti matahari
Seperti tiram perak.”

Pasca-nonton film yang lebih layak disebut propaganda tentang kejam dan bengisnya pembantaian Yahudi itu, juga bagaimana kematian yang kadang lembut dan mendadak, pertanyaan “bagaimana cara membuat puisi?”

Belum bisa terjawab. Lalu, anak kecil itu saya suruh membaca buku Nuwo Badik, kitab puisi terbaru karya Isbedy Stiawan ZS.

Dibacanya, serupa intonasi buku dongeng sebelum tidur.  Dibuka secara serampangan:

Nuwo Badik 4

tundukkan tatapanmu
usah pandang aku seperti
itu, kata lempengan baja
sebelum ia masuk api
menyalanyala. ah, aku
teringat bayi yang hendak
dimasukkan ke kuali sedang
ibu amat risau; “sabar ibu,
Allah sangat menyukai
orang sabar. insya Alllah
aku dalam lindungan-Nya.”
lalu kau dibakar juga. api
menyala dan membuatmu
bagaikan lempung. seseorang
yang ingin membikin cangkir
– kekal dalam genggaman
menemani minum pagi dan
malam – begitupun kau jadi
badik, menghiasi pinggangku
atau almari koleksi
tundukkan tatapanmu,
aku tak bisa dipandangi
curiga seperti itu. aku
ikhlas dibakar

Deklamasi atas puisi ini yang membuat saya tercenung. Sebab, anak itu bertanya soal ibu yang dimasukkan ke kuali. “Seperti tukang sisir putri Firaun.”

Awalnya, saya mengira dialog bayi dan ibunya itu, kisah Ashabul Ukhdud dalam Surat Al Buruj itu. Ternyata, lebih tepat pada perebusan keluarga pembantu Firaun. Kisah yang menjadi bagian dari perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW.

Diceritakan, Rasulullah, melewati sebuah daerah yang aromanya sangat harum semerbak seperti wangi kasturi.

Rasulullah pun bertanya kepada Jibril. “Wahai Jibril, harum apakah ini?” Jibril pun menjawab. “Ini adalah harum Masyithah.”

Rasulullah pun kembali bertanya. “Apa gerangan kelebihan Masyithah?”

Jibril pun mengabarkan kisah Masyithah kepada Rasulullah.

Nah, itulah cara membaca dan menikmati sebuah puisi. Saya tidak mampu menjawab pertanyaan, bagaimana cara membuat puisi. Namun akan saya ajari tetang bagaimana cara menikmati sebuah puisi.  Mantap dan penuh keyakinan, saya menjelaskan. Dari puisi “Nuwo Badik 4”, kita menemukan kunci. Sebuah kisah yang familiar dirangkum dalam kalimat paling singkat, pilihan kata paling padat, estetika bahasa paling apik. Kisah Siti Masyithah, bagaimana mempertahankan iman akibat tanpa sengaja menyebut nama Allah setelah menjatuhkan sisir, diadili dan kokoh mempertahankan Allah sebagai tuhanku dan tuhan ayahmu. Padahal, Firaun ketika itu sudah memproklamirkan diri sebagai tuhan. Berujung, satu keluarga direbus dalam air yang apinya menyala-nyala.

Ketika mulai guyah oleh nasib bayi merah yang digendong, bayi itu menguatkan Masyithah dengan mendadak bisa bicara:

“sabar ibu,
Allah sangat menyukai
orang sabar. insyaAlllah
aku dalam lindungan-Nya.”

Cerita itu, oleh Isbedy Stiawan ZS diramu dalam proses pembakaran dan penempaan baja untuk membuat badik. Lalu melompat, persepsi kita diajak ke pembakaran lempung agar jadi cangkir.  Di sini, ada kekayaan khasanah, budaya, dan pengetahuan. Puisi yang indah pasti ditopang dengan keluasan ilmu. Kelapangan sudut pandang. Juga, kebijaksanaan yang diendapkan.

Belum selesai alur cerita itu, entah anak itu paham atau tidak, bertanya lagi. “Apa itu Nuwo Badik?”

Saya menyentak. Jangan biasakan membaca sepotong-sepotong. Sebab, di bawah puisi Nuwo Badik 6 ada penjelasan rinci. Yaitu, semacam rumah pembuatan dan koleksi beragam badik di Kabupaten Tulangbawang Barat, yang direkam dan dilukis Isbedy Stiawan ZS dengan sangat detail, kompleks, dan liar.

Apa badik itu? Pertanyaan yang kembali, membuat saya banyak bercerita tetang padanan badik yang lebih mudah. Ini semacam pisau. Lalu saya keluarkan aneka pisau untuk mengupas buah, mengiris bumbu, memotong daging, dan beberapa pisau bergerigi. Bedanya, pisau sebagai alat masak. Badik itu senjata dan lambang kejantanan pada zaman dulu.

Bagaimana pula menalar orang bepergian yang mesti membawa pisau, bagi anak zaman sekarang jelas butuh gambaran lebih soal kehidupan masa lalu. Pada ranah ini, kekayaan budaya menghunus badik, menyelipkan badik di pinggang, atawa sekadar menyimpan badik beracun sebagai pusaka, pasti sulit dimengerti anak kecil. Akan tetapi, pengetahuan tentang badik, proses membuatnya, segala fungsi dan kegunaannya, penting diketahui anak-anak sebagai modal kultural. Bahwa hidup, kadang butuh melawan atau sekadar bawa badik untuk menakuti liyan.

Buku puisi Isbedy Stiawan ZS yang berjudul Nuwo Badik, dari Percakapan dan Perjalanan yang diterbitkan  Siger Publisher, 2022, ini bagi saya semacam cerita anak. Meski harus diarahkan ke judul-judul yang berbaur ajaran dan kisah-kisah kebajikan seperti di halaman 13. Tentu, tak bisa juga dilepas anak kecil membaca sendiri. Misalnya, tiba-tiba dia membaca “Saatnya Menerima Kutukan”.

Ajaran saya tentang cara menikmati membaca puisi pun, seketika gagal. Padahal, bagaimana cara membuat puisi, pertanyaan yang hingga kini belum mampu saya jawab bagi anak kecil.

Pada momen begini, mendadak saya sepakat dengan kalimat pendek dari twit almarhum Sapardi Djoko Damono.  Jika anak kecil dapat tugas membuat puisi dari sekolah. “Nulis saja, sastra itu tanpa kaidah.”

Dan dibanding runtut menjelaskan diksi, rima, tema, serta kaidah puisi lain, ketika dibebaskan nulis-nulis saja bagi anak kecil. Betapa kaget kita, setelah melihat hasilnya.

Gemarlah membaca seperti Liesel di film gadis pencuri buku itu, niscaya kalimat-kalimat yang tertulis, sangat puitis. (*)

 

Judul           : Nuwo Badik dari Percakapan dan Perjalanan
Penulis        : Isbedy Stiawan ZS
Penerbit      : Siger Publisher, 2022