Oyos Saroso H.N.
Setelah pensiun sebagai pemain kuda lumping, Mbah Dul alias Dulrokhim Gendul Gowang Parto Atmodjo menjadi kusir (sopir) dokar. Sama seperti ketika masih menjadi pemain kuda lumping, sejak menjadi kusiir dokar atau kusir andong Mbah Dul tidak pernah melepas kaca hitam.
Bedanya, kacamata yang dipakai Mbah Dul saat main kuda lumping lensanya berbentuk bulat, sementara kacamata yang sekarang bentuknya nggak bulat-buat amat, lebih lebar dan menutup sebagian keriput di sudut mata.
Dulu, ketika masih menjadi pemain kuda lumping, kacamata dipakai Mbah Dul untuk mempertampan wajah. Dengan kacamata hitam, Dulrokhim Gendul Gowang Parto Atmodjo muda tidak perlu risih atau malu saat melirik cewek cantik full press body yang tengah nonton kuda lumping. Kacamaa hitam setidaknya membuat Dulrokhim makin percaya diri.
Awalnya istri Mbah Dul sering ngomel saat melihat suaminya mengenakan kacamata hitam.
“Tuwek tapi kakehan polah!” istri Mbah Dul nyolot.
“Biarin….” jawab Mbah Dul, “..ini soal kebiasaan. Lama-lama kamu juga akan terbiasa melihat aku pakai kacamata hitam.”
***
Setelah lima tahun menjadi kusir dokar dan selalu pakai kacamata hitam, Mbah Dul tidak pernah bisa melihat pelangi yang melengkung di atas langit desa usai hujan turun siang atau sore hari. Orang sekampung menyebut warna pelangi itu indah, tetapi bagi Mbah Dul hanyalah garis lengkung berwarna hitam saja.
Mbah Dul juga tidak bisa melihat warna merah, kuning, kuning genting, hijau, dan biru, di gambar partai. Menurut Mbah Dul warna gambar lambang partai hanya hitam dan putih.
Begitulah, setelah sepuluh tahun Mbah Dul menjadi kusir, kacamata hitam pun banyak dipakai warga kampung. Para abege, ibu-ibu kelompok pengajian, mahasiswa, guru, dosen, tukang judi koprok, tukang tambal ban, tukang tusuk sate — semua memakai kacamata hitam.
Lama-lama sebagian besar warga desa memakai kacamata hitam: tidak bisa melihat indah pelangi, tidak bisa membedakan warna lambang partai alias buta warna!
Lebih parahnya lagi, lama kelamaan Mbah Dul dan sebagian besar warga kampung jalannya seperti kuda berkacamata kuda: lurus, tidak bisa lihat kiri-kanan.
****
Pada tahun kelima belas lebih sembilan hari Mbah Dul menekuni profesi sebagai kusir dokar, wabah “Dulisme” merebak di hampir semua kampung di Negeri Rai Munyuk.
Warga terbelah jadi dua: pendukung Raden Mas Semelekethe dan pendukung Adipati Geduwel Beh. Pemuja Adipati Geduwel Beh memuha Sang Adipati setinggi langit. Pembenci Adipati membenci Sang Adipati seperti manusia membenci setan.
Di Negeri Rai Munyuk, orang memandang sesuatu hanya dari kacamata hitam: putih ketika kacamata dibuka. hitam ketika kacamata kuda dipakai…