“Mbesok”

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh:Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Kata “mbesok” berkaitan dengan waktu dan kebanyakan dipakai etnis Jawa untuk menjelaskan masa depan yang tak terhingga kapannya. Kepekaan akan rasa membuat kata itu seolah menggambarkan keadaan jiwa yang pasrah dan larut pada kodrat keilahian. Namun sebagai manusia yang diciptakan untuk perkasa, maka harus selalu bangkit dan berlari mengejar “mbesok” sebagai mimpi.

Teraslampung.com sebagai media digital kekinian, selalu memposisikan “mbesok” pada lini depan. Hal ini paling tidak menurut persepsi penulis, walaupun tidak sepenuhnya diamini oleh Mas Oyos sebagai penjaga gawang, tentunya. Hal itu sah-sah saja, karena media yang satu ini sangat menjaga keberagaman, baik pemikiran, pendapat atau posisi sudut pandang.

Diskusi-diskusi kekinian yang selalu dibangun dan digiatkan oleh para pencintanya, menunjukkan bahwa posisi mbesok yang selalu dikedepankan, menjadi penuh warna dan makna. Teraslampung.com bagai putaran air yang terus menuju mbesok, dia tidak mengalir linier tetapi berpusar dan bergerak ke depan. Saat putaran itu berintikan masalah tertentu, maka yang terlibat berkomen ria pun orang tertentu. Pada saat lain putaran itu ganti titik tengah, yang terlibat komen pun bisa berbeda, walaupun bisa jadi sama. Dinamika seperti ini merupakan ciri khas yang dimiliki oleh Teralampung.com.

Redaktur yang dipersonifikasi sebagai “Mas Oyos”, sangat memberikan ruang untuk terjadinya dialog seperti ini. Bisa saja Mas Oyos tidak begitu sepaham dengan pengomennya, namun sebagai orang berposisi sentral dan netral pada media ini, sangat memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada yang bersangkutan, meminjam adagium Jawa “sak bosen-mu”; asal tidak melanggar aturan Teraslampung.com.

Banyak penikmat Teraslampung.com yang konsisten terus berdiskusi, tetapi tidak sedikit yang menjadi penikmat pasif. Hal itu adalah wajar karena di hati mereka sering bertanya “mbesok siapa yang komen ya”, atau “apa mbesok tetap si-anu itu yang komen”. Keluasan dan keleluasaan Teraslampung.com dalam membangun diskursus seperti ini patut diapresiasi. Banyak media digital tidak membangun dialog seperti ini, yang ada hanya membeberkan berita/tulisan yang terbit saat itu (hard news).

Kepiawaian Oyos sebagai redaktur yang memiliki segudang pengalaman jurnalistik dari era kertas sampai digital, memberikan suasana tersendiri pada Teraslampung.com. Iklim ini seolah perwujudan dari cita-cita Oyos pada waktu lampau yang berkata “mbesok” saat itu. Walaupun tidak semua orang mampu ber-lakudemokrasi; karena bisa jadi orang yang paling kencang berteriak untuk lakudemokrasi, namun begitu berhadapan dengan sesuatu yang berbeda dengan dirinya, justru yang timbul sikap kontradiktif.

Hal ini dialami sendiri oleh penulis. Sekalipun kaidah-kaidah etika jurnalisme dipakai dengan dilengkapi pemahaman filsafat tingkat makrifat,  ternyata ada juga yang mereka sudah ada pada papan atas secara ilmu pengetahuan, masih tersinggung secara personal manakala berhadapan dengan perbedaan.

Peristiwa pertama, saat hebohnya dunia akademik dengan diciduknya pimpinan perguruan tinggi terkenal di daerah ini karena kasus rasuah. Saat itu ada tulisan yang penulis buat, sekalipun tidak menyebut objek dan subjek tetapi  ada yang keberatan akan tulisan itu untuk disebarkan. Padahal, secara akademik yang bersangkutan bergelar level tertinggi dari akademik. Sementara yang namanya tulisan telah terbit di media massa, maka dia adalah milik publik. Mereka tidak memiliki ilmu itu, karena pemahamannya hanya labolatorium tempat mereka bekerja. Akhirnya hanya berkomentar: “Jangan disebarkan di sini!”. Padahal, di sana dan di sono tulisan itu sudah membludak pembecanya.

Peristiwa kedua, saat penulis mengadakan acara vladitory sebagai pertanggungjawaban akademik seorang guru besar pada publik,  tidak satu pun pimpinan lembaga akademik tempat penulis berada saat itu yang mau hadir dengan alasan penulis berada pada wilayah yang berseberangan dengan mereka. Hal ini terindikasi dari tulisannya tidak pernah mendukung mereka. Sementara semua publik mengetahui bahwa mereka semua adalah generasi penerus yang seharusnya paham akan perbedaan, seperti halnya Plato dengan Aristoteles. Kedua tokoh itu adalah guru dan murid. Namun sepanjang sejarah ilmu pengetahuan tidak jarang mereka ada pada posisi yang berbeda. Dan itu ternyata saling menguatkan keberadaan mereka.

Peristiwa ketiga, saat penulis diminta untuk memproses keberlanjutan kepurnabaktian. Semua prosedur dilalui sesuai aturan tanpa ada yang tertinggal. Ternyata pimpinan tertinggi merasa tidak nyaman dengan tulisan yang pernah penulis produksi. Jalan keluar yang diminta adalah, penulis harus menghadap dan “meminta maaf atas perbuatan yang tidak pernah diperbuat”. Lagi-lagi sikap akademik keilmuwanan ternyata tidak sepenuhnya merasuk sebagai pendulum dalam berdemokrasi. Sikap yang penulis ambil adalah “bumi ini milik Tuhan dan makhluk yang diciptakan sudah satu paket dengan rezekinya”. Maka, pilihan memilih untuk tidak memilih harus dilakukan. Ajaran berhijrah yang rasullullah ajarkan, penulis gunakan untuk menggapai jalan terang.

Peristiwa keempat, saat penulis keluar dari orbit, masuk keorbit lain, ternyata Tuhan menunjukkan bagaimana sebenarnya hakikat dari individu yang selama ini bermanis muka. Begitu ada pada orbit lain, maka sinyal komunikasi mendadak putus, tinggal beberapa yang sayup sayup mau menditeksi dengan conteng biru pada warta yang dikirim. Komentar yang selama ini bermanis bibir, semua musnah ditelan kepentingan “mbesok”.

Itulah sepenggal pengalaman menjadi penulis hidup pada iklim demokrasi literasi yang sebangun dengan Teraslampung — dan tidak selamanya dipahami oleh banyak pihak. Sekalipun sudah menyandang status guru besar pada bidangnya, ternyata lebih melek demokrasi literasi yang berstatus guru tidak besar.

Terimakasih Teraslampung melalui Mas Oyos, yang telah terus-menerus tanpa henti membangun iklim demokrasi literasi. Semoga tahun 2024 membawa kecerahan dan keberkahan dalam rangka mewujudkan mimpi generasi “mbesok”.

Selamat ngopi pagi di tahun baru.