Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Judul di atas dari bahasa Jawa, terjemahan bebasnya lebih kurang adalah “memburu yang kecil, justru kehilangan yang besar”. Nasihat dari para leluhur dulu itu muncul menjadi judul karena beberapa saat lalu seorang sohib mengeluhkan bagaimana sikap dari kebanyakan orang atau mereka yang merasa menjadi tokoh negeri ini melakukan manuver politik yang berorientasi kepada ke-aku-an sehingga menafikan atau bahkan tidak memberi ruang orang yang berbeda pandang akan dirinya. Semua sudah dimiliki, namun karena belum merasa lengkap jika belum memiliki sesuatu, sekalipun itu kecil dalam ukuran kepentingan, namun karena diposisikan sebagai kebutuhan akan kesenangan, maka apapun diperbuat untuk mendapatkannya.
Persoalan seperti ini pernah diwejangkan oleh dalang wayang kulit melalui tokoh Semar Bodronoyo kepada Raden Arjuna saat Perang Baratayudha. Semar menasihati Arjuna agar dalam menjalankan tugas negara untuk berperang melawang Kurawa tidak “nyambi” bermain asmara dengan istri Raja Hastinapura. Menurut Semar, hal itu akan menyebabkan kekurangwaspadaan Arjuna dalam peperangan. Arjuna diminta fokus atau tidak membagi perhatian pada hal yang tidak perlu. Menggunakan bahasa santri: jangan sampai menyunahkan yang wajib dan mewajibkan yang sunah karena hal seperti itu akan merugikan diri sendiri.
Dalam dunia nyata, yang kerap dilakukan Arjuna — tidak fokus bekerja — juga sering kita lakukan. Akibatnya, pekerjaan utama tidak selesai, sementara pekerjaan yang bukan menjadi tupoksi selesai duluan.
Contoh soal yang masih hangat saat ini adalah beban kepada tenaga pendidik di seluruh jenjang pendidikan. Banyayak pendidik disibukkan pekerjaan penunjang, bahkan pelengkap. Sementara tugas utama untuk menyelenggarakan atau menggelar pembelajaran di muka kelas/mahasiswa dinomorduakan. Kesibukan membuat rencana pembelajaran, model evaluasi, membuat perangkat, dan mengisi borang yang bersifat pelengkap, menjadi beban tersendiri. Sementara perhatian terhadap peserta didik yang seharusnya menjadi perhatian utama, sering terabaikan. Akhirnya tenaga pendidik menjadi kelelahan bukan karena mengajar atau membimbing peserta didik tetapi waktunya habis untuk menyelesaikan tugas nonpembelajaran. Ini pun diberi “ancaman” sanksi jika hal tersebut tidak terlaksana. Uang tunjangan yang menjadi hak mereka akan dipotong atau tidak diberikan sama sekali. Sementara jika tidak mengajar tidak ada sanksi tegas.
Sisi lain ada gugatan dari masyarakat anggaran pendidikan yang sudah 20% itu selama ini, ternyata tidak berdampak banyak untuk mendongkrak mutu pendidikan. Alur berpikir ini sah saja karena masyarakat tidak mengetahui bagaimana centang perenangnya dunia pembelajaran. Penyelenggara pendidikan bukan sibuk memperbaiki mutu pendidikan, tetapi sibuk mengisi borang-borang administratf yang ada kaitannya dengan akreditasi institusinya. Dengan kata lain, jika isi borang sudah bagus dan lengkap, maka lembaga itu dianggap berakreditasi unggul, terlepas bagaimana mutu gelaran pembelajaran di dalam lembaga itu.
Belum lagi berbicara tenaga pendidik yang berstatus tidak tetap sebagai ASN, (kata ganti honorer atau kontrak), pendapatan mereka sangat tidak layak jika diterapkan ukuran upah kerja minimal sekalipun. Untuk memperbaiki kehidupan, mereka mengadukan nasib sampai mendatangi pengacara terkenal di negeri ini. Namun hasilnya, uang lelah mereka hanya dibayar beberapa bulan saja ke depan. Pengabdian mereka selama berbulan-bulan diminta untuk diikhlaskan dengan alasan pemerintah daerah tidak punya anggaran.
Di perguruan tinggi nasib kelompok ini masih lebih baik jika dilihat keajegan pemberian insentif. Namun jangan tanya besarannya serta beban kerja mereka. Kelompok ini bisa diberi label “pasukan amfibii” yang dalam segala cuaca dan keadaan harus siap 24 jam untuk melaksanakan perintah pimpinan atas nama lembaga. Bahkan ditambah beban lagi membantu para senior yang tidak menguasai teknologi masa kini. Itu pun diberi penghargaan sekadarnya. Kelompok muda ini sering mengerjakan pekerjaan tambahan menjadi pekerjaan utama dan mengerjakan pekerjaan utama menjadi pekerjaan lebih utama. Tidak jarang senior juga melimpahkan proses pembelajaran kepada mereka dengan satu alasan yang tampak akademik, yaitu agar mendapatkan pengalaman lebih banyak; walaupun alasan itu untuk melindung diri dari malas masuk kelas bagi senior.
Goncangan bertubi-tubi didatangkan untuk mereka dengan akan dilakukannya revisi undang-undang yang mengatur mereka. Alasan inti yang sebenarnya diyakini bukan untuk menjadikan lebih baik, tetapi karena alasan lain yang lebih bersifat nonakademik. Kegoncangan ini sampai ke orang nomor satu di negeri ini yang dibawa oleh pimpinan organisasi pendidik tertua di republik ini dengan linangan air mata perjuangan. Alhasil, peraturan itu untuk sementara ditunda — bukan dibatalkan. Artinya, masih ada potensi di kemudian hari akan disuarakan lagi.
Selamat ngopi pagi.