Meja dan Korupsi

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Meja dan korupsi tidak memiliki hubungan jika tidak ada kata – dan – di sana; menjadi lebih seru lagi jika penghubungnya bukan sekedar satu kata, tetapi menjadi kalimat. Tentu saja sejuta kalimat dapat kita bentuk dari merangkai keduanya. Makna harfiah dari kata meja adalah; sebuah mebel atau perabotan yang memiliki permukaan datar dan kaki-kaki sebagai penyangga, yang bentuk dan fungsinya bermacam-macam. Meja digunakan untuk menaruh barang atau makanan, tempat bekerja atau aktivitas lainnya. Meja pada umumnya dipasangkan dengan kursi atau bangku. Sementara Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah; penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Ternyata antara meja dan korupsi dalam proses perkembangannya berhubungan sangat erat dari masa kemasa. Semula korupsi selalu dilakukan di bawah meja dalam pengertian tidak terang-terangan; sehingga lebih bersifat individual, dan tidak sistemik. Namun perkembangan selanjutnya korupsi di lakukan terang-terangan di atas meja. Transaksi-transaksi haram dilakukan secara terang-terangan di atas meja dengan berbagai dalil, dari yang paling halus, sampai yang paling kasar sekalipun.

Pola korupsi di bawah meja dilakukan dari masa VOC sampai periode Orde Baru. Yang diuntungkan orang-orang tertentu saja. Pada periode ini “orang-orang bersih” masih tampak nyata dan masih cukup banyak. Mereka yang bersih masih sangat dihormati dan disanjungagungkan sebagai icon pada masanya. Pada periode ini masih dijumpai menteri yang tidak punya rumah sekalipun menjabat lebih dari satu periode. Bahkan wakil presidenpun ada yang tinggal di perumahan sekelas perumahan biasa, dan ada pula yang harus kredit rumah sampai lima belas tahun lamanya. Ada lagi mantan menteri, Sekretaris presiden, dan masih banyak lagi jabatan lainnya; sampai diusia senjanya tinggal di rumah pemberian anak.

Perkembangan selanjutnya mejanya pun ikut dikorupsi, tentu dengan cara berjamaah guna mengangkat meja, atau mempreteli meja, sehingga mereka yang ikut mengepung meja mengambil bagian masing-masing sesuai dengan selera dan kelicikkan masing-masing. Bisa dibayangkan meja sebagai lambang sakral di suatu institusi, baik dalam pengertian riel maupun abstrak, bisa dijadikan alat untuk melakukan korupsi berjamaah terang-terangan di atas meja untuk mengatur siapa dapat apa dan berapa. Meja itu menjadi semacam meja judi untuk menentukan nasib orang-orang yang berani membayar berapa.

‘Pengkorupsian’ terhadap meja dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang latar belakang; baik itu pendidikan, gelar, bahkan bangsawan atau jelata, santri/priyayi atau kuli ; ironis lagi seolah-olah masyarakat digiring kepada premis berfikir; makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin berpeluang untuk melakukan pengkorupsian meja; dengan kata lain bukan korupsi di atas meja, akan tetapi mengkorupsi mejanya sekalian.
Oleh karena itu, sekarang sarang korupsi itu ada di mana-mana. Bahkan sampai pada lembaga pendidikan tinggi yang selama ini diyakini sebagai benteng terakhir moral. Mirisnya, korupsi bisa dilakukan ‘berjamaah’. Ironisnya lagi sudah terbukti secara nyata bahwa “meja kursi “ pun dikorupsi oleh lembaga anti rasuah, masih jumawa mengatakan “sudah mengukir prestasi” dari hasil pengkorupsiannya tadi. Akhirnya kita yang waras melihatnya dibuat jadi gila, karena sebegitu beraninya menyatakan bersih, padahal semua orang mengetahui bahwa yang bersangkutan mandi lumpur.

Lebih miris lagi pada dunia penelitian tempat orang orang bernyanyi sunyi bersama data, ternyata juga mejanya diserang oleh rayap korupsi. Untuk mendapatkan dana penelitian harus ikut sistem pembagian meja, dan dananya 70 persen harus diikhlaskan untuk “diinfakkan” kepada sistem yang sudah dibangun. Akhirnya hanya peneliti yang tuli dan buta saja yang sanggup bertahan.  Sekalipun usulan penelitiannya canggih dan hebat, bahkan kelas dunia, jika tidak mau ikut dengan cara masuk pada “lorong gila” ini, jangan harap akan mendapatkan dukungan dana yang diharapkan. Lebih gila lagi,  pemungutnya ternyata bergelar akademik tertinggi di dunia akademiknya. Betapa sudah hancurnya moral jika keberlangsungan model seperti ini berlindung atas nama pembangunan institusi keagamaan yang dijadikan topeng untuk menghalalkan kelakuan curang.

Kalau sedikit kita mau merenung untuk mempelajari sejarah; sebenarnya peristiwa seperti ini pernah terjadi di muka bumi ini; hanya kita kurang mau melakukan iqtibar, sehingga kita cenderung berperilaku keledai yang selalu terperosok pada lubang yang sama. Akumulasi perilaku seperti inilah yang sadar atau tidak mengundang murka Tuhan; dan pembersihan berjalan sesuai dengan hukum-Nya.

Pertanyaan yang tersisa: sampai kapan semua ini berlangsung? Mungkin jawabnya mirip penggalan syair lagu Ebiet G. Ade: coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang….

Selamat ngopi pagi!