Melacak Jejak Benak Taufiq Ismail Ihwal Pendidikan (1)

Bagikan/Suka/Tweet:
Slamet Samsoerizal*)
                                                                                                                                               

Taufiq Ismail identik dengan puisi. Ini tidak berlebihan,
jika menguntit perjalanan bersastranya. Pertama kali
memublikasikan puisinya (berupa pantun teka-teki) pada 1953 dan dimuat Sinar Baroe, kala ia duduk di bangku
SMA. Lalu berturut-turut memublikasikan puisi-puisinya melalui majalah Gelanggang, Siasat, Siasat Baru, Mimbar
Indonesia,
dan Kisah. Mulai
dikenal luas sebagai penyair sejak ia menulis antologi puisi  Tirani (17
puisi) dan Benteng  (24 puisi) pada 1966.  Itu berarti 61 tahun sudah  hingga 2014 ini, kreativitasnya dalam
bersastra merupakan pilihan hidup.

           
Kedua antologi puisi tersebut ditulisnya di tengah-tengah
pergolakan mahasiswa di tahun 1966. Berkat kedua antologi puisi tersebut,
”Pemerintah terharu betul dan birokrasi menangis ” akunya dalam Temu Sastra 82 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Namanya melambung dan menokoh sebagai sastrawan penting Angkatan 66.
Pendidik
           
Kemenonjolannya di bidang puisi, membuat orang tidak
mengenal perjalanan bersastranya secara utuh. Taufiq Ismail sebenarnya (juga)
menulis novel, cerpen, drama, dan berbagai esai budaya. Khusus mengenai novel,
ia pernah menulis novel eksperimen yang pertama dan terakhir – jauh sebelum ia
menentukan pilihan pada puisi – ketika ia duduk di bangku kelas satu Sekolah
Rakyat Indonesia, Bergota, di zaman pendudukan Jepang di Semarang. Novel
eksperimen itu ditulis di kertas bergaris dan hanya satu halaman (!) Hingga
kini nasib novel itu terbengkelai.
Cerpen satu-satunya yang dipublikasikan berjudul ”Garong-garong” dan dimuat pada Majalah Horison  No. 3 Th. III, Jakarta, Maret 1968. Sedangkan
cerpen keduanya berupa naskah ketikan dan belum dipublikasikan hingga kini,
berjudul ”Kembali ke Salemba”.  Naskah drama satu-satunya berjudul ”Langit Hitam”, dimuat Majalah Horison, Agustus 1966. Sedangkan esai budayanya tersebar
sejak 20 Juli 1963 dan dipublikasikan lewat Duta
Masyarakat
 dengan judul ”Pembinaan Teater Masa Kini” . Agaknya,
tulisan tentang teater ini terkait dengan kiprahnya sebagai Ketua I Dewan
Pengurus Pusat Badan Pembinan  Teater
Nasional (1962 – 1964).
           
Ketokohannya di bidang puisi menenggelamkan kiprahnya di
bidang lain seperti pendidikan. Padahal, melacak jejak benak atau pemikiran
Taufiq Ismail di bidang pendidikan merupakan hal yang menarik. Kiprahnya selama
55 tahun di bidang sastera menyiratkan misi pendidikan yang diemban Taufiq
Ismail dengan sadar. Pemikiran tersebut diungkapkan melalui puisi dan esai.
Puisi-puisinya sarat makna tentang pendidikan. Esai-esainya dalam menggagas
pendidikan –terutama dalam pengajaran apresiasi sastera–  begitu mencerahkan.
Kredo
Bersastra
           
Puisi bertajuk ”Dengan
Puisi,  Aku”
ditulis  Taufiq Ismail pada tahun 1965.
Puisi tersebut terdapat dalam antologi Buku
Tamu Museum Perjuangan. 
Visi kepenyairan Taufiq Ismail tercakup dalam puisi
tersebut. Dengan Puisi yang kelak dinyanyikan kelompok musik Bimbo ini Taufiq
Ismail ingin: bernyanyi,… bercinta, …
mengenang, … menangis,   … mengutuk,
dan … berdoa.    
Dalam sebuah wawancara dengan Redaktur sebuah Majalah
SMA, tujuan atau misi bersasteranya tegas, yakni sujud kepada-Nya (lihat: Dua Puluh Sastrawan Bicara, 1984:
122)!  Sedangkan melalui Aku
Ingin Menulis Puisi yang
ditulis pada 1970 dan terkumpul pada buku Sajak Ladang Jagung merupakan misi
Taufiq Ismail dalam menulis puisi. Melalui puisi tersebut, ia berkeinginan
menulis puisi bermacam-macam tema dan ditujukan ke berbagai kalangan. Mari disimak
cuplikan bait (1), (2), dan (3) puisi tersebut!
Aku ingin
menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan dengan cuaca,
warna, cahaya,
suara, dan mega.
Aku ingin
menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-lompat di pekarangan sekolah,
yang main gundu dan petak umpet di halaman rumah, yang menangis karena tidak
naik  kelas tahun ini.
Aku ingin
menulis puisi yang membuat orang berumur 55 merasa 25 berumur
24 merasa 54 tahun,
di mana pun mereka membacanya,bagaimana pun mereka membacanya: duduk atau berdiri.
           
Dalam ”Kata
Penutup, Akhir Kalam”
antologi puisi Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia
(1998: 198 – 205) Taufiq Ismail memaparkan
proses kepenyairannya. Puisi-puisi yang ditulis memiliki pengaruh yang kuat
akan seni pedalangan kala Taufiq Ismail bermukim di Yogyakarta dan seni Kaba
ketika ia pindah ke Bukittinggi. Ritma suluk dalam Pedalangan begitu
terngiang-ngiang senantiasa di telinganya, sangat dalam  mempesona. Begitu pula pengaruh Kaba yang
menggelora. Ritma dan rima, aliterasi dan asonansi yang ditonjolkan Kaba sangat
menghunjamkan pesona bagi Taufiq Ismail.   Demikianlah,
melalui puisi-puisi yang ditulis, Taufiq Ismail ingin berkabar. ”Saya mau
menyampaikan berita, mendalang dan berkisah lewat puisi saya, kepada pendengar
dan pembaca saya.”
           
Itu sebabnya, ketika Taufiq Ismail menuliskan buram
pertama puisi, ia selalu membayangkan pendengar acara baca puisi yang akan
berbagi nikmat menyimaknya. ”Puisi saya terbanyak ditulis dengan kesadaran akan
hadirnya audiens” paparnya. Karena puisi yang ditulisnya ingin berkabar, maka
wajar bila ia menolak anggapan bahwa puisi harus padat, harus sedikit
kata-kata. Tauifq Ismail berargumen: ”Daripada puisi memenuhi syarat padat dan
minimum kata tapi tak indah serta gagap berkomunikasi, saya memilih puisi
banyak kata tapi cantik, menyentuh perasaan, laju menghilir dan komunikatif.
Puisi saya wajib musikal. Kata-kata harus sedap didengar. Tentu saja kata-kata
itu mengalami ketatnya seleksi. ”Dalam puisi-puisi yang ditulisnya, substansi
berkabar selalu dijaganya.
           
Substansi puisinya adalah angan-angan, kenyataan,
kepekaan, kekenyangan, kelaparan, nyeri, seri, cinta, keasyikan, penindasan,
penyesalan, kecongkakan, kebebalan, tekad, ketidakpastian, kelahiran, maut,
kefanaan, ke-Yang Gaiban—semua berbaur di balik lensa luar biasa lebar tempat
kita bersama membaca panorama kehidupan masa kini dan sejarah masa lalu lewat
sudut pandang berbeda. ”Puisi saya puisi berkabar. Sebagai narasi dia menyerap
dering crek-crek, gesekan rebab, dan dengung salung di dalamnya sebagai musikalitas
kata tersendiri, dengan sentuhan jenaka di sini-sana.”
Taufiq Ismail telah menulis ratusan puisi sebagaimana
terkumpul dalam antologi Tirani (17
puisi) Benteng (24 puisi), Buku Tamu Museum Perjuangan (19 puisi), Puisi-puisi Sepi (9 puisi), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit
( sebuah puisi panjang), Sajak Ladang
Jagung
(37 puisi), Manifestasi
kumpulan bersama: Armaya, Djamil Suherman, Goenawan Mohamad, Hartoyo
Andangdjaya, Mohammad Diponegoro, M. Saribi Afn, dan M. Yoesmanan (Taufiq
Ismail menyumbangkan 5 puisi) 16 sajak terjemahan, dan 9 puisi berbahasa Sunda.
Hingga tahun 1984, Pamusuk Nasution mencatat 39 puisinya yang belum
dikumpulkan, dan pada 1998 Taufiq Ismail kembali menerbitkan 100 puisinya
bertajuk Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Mengingat hingga kini Taufiq Ismail masih kreatif dan produktif menulis puisi
untuk berbagai kesempatan, berbagai tema, dan pada berbagai acara,  maka tidak menutup kemungkinan jutaan puisi
(bakal) ditulisnya. 
_______________   
*) Peneliti pada Pusat
Kaji Darindo