Melawan Kanker dengan Menu Tradisional

Bagikan/Suka/Tweet:
TERASLAMPUNG.COM — Baru-baru ini saya mengikuti seminar kanker. Ada satu yang bisa dibawa pulang, yaitu mendapatkan hikmah dari pengakuan Ibu Liong yang 18 tahun lalu terkena kanker payudara stadium 4. Kanker yang menyerang Ibu Liong sudah kena tulang punggung, sudah berpindah-pindah ke lebih satu RS, bisa sembuh dengan pola makan vegetarian. Ibu karier yang energetik ini memiliki rasa optimisme yang besar. Ia yakin bisa sembuh dari perjuangannya tanpa akhir melawan kanker.

Hikmah bagi kita: alangkah indah kalau kanker tidak harus sampai singgah pada tubuh kita. Ibu Liong memang terlambat melakukan upaya pencegahannya, dan berhasil masih bisa sembuh lewat perjuangan panjangnya.

Salah satu powerpoint yang saya bawakan dalam seminar kemarin adalah ihwal susunan gigi-geligi kita yang sama persis dengan gigi-geligi simpanse. Kalau susunan gigi geligi dianggap cermin dari kodrat makanan yang tubuh kita butuhkan, yang diminta tubuh 85% nabati, dan hanya 15 % hewani.

Rata-rata simpanse 95% menu hariannya nabati. Ternyata usus simpanse lebih “bersih” dari usus manusia ketika dilakukan otopsi. Bukti usus manusia penuh dikotori oleh makanan “sampah” junk food dan fast food. Kita sudah kelebihan animal-base food terutama lemak dan protein, itu yang mengawali malapetaka kanker manusia sekarang.

Sahabat Ang Jasman menurut pengakuannya dalam status saya kemarin, bahwa dirinya sudah menjalani pola menu vegetarian, dan merasa sehat. Harus diakui, bahwa pilihan vegetarian berpihak pada kodrat tubuh dalam hal makan. Rata-rata menu orang sekarang tidak akrab dengan sel tubuhnya. Tubuhnya asing dengan semua menu olahan (refined diet), karena yang akrab bagi sel tubuh itu yang serba alami. Bukan donat tapi ubi rebus. Bukan gula pasir atau terigu tapi madu gula merah atau jagung rebus. Bukan ayam broiler tapi belut sawah. Bukan daging impor, tetapi kambing yang merumput.

Bukan air mineral tapi spring water. Bukan minyak trans atau minyak goreng sawit, tapi minyak zaitun atau virgin oil. Bukan hotdog atau burger tapi pepes kerapu. Bukan gudeg yang dimasak 8 jam tapi lalap mentah tespong kecipir pohpohan randamidang beluntas kemangi. Bukan kedelai impor tapi kacang di kebun sendiri. Bukan apel impor tapi pepaya atau jambu kebun. Bukan wortel raksasa tapi kangkung sawah. Bukan dijuicer tapi diblender bersama kulit dan biji buahnya. Ya itulah sebagian dari yang saya sampaikan dalam seminar kemarin. Semoga bermanfaat.

Gigi kita hanya punya 4 taring atau seperdelapan dari semua gigi. Gigi seri kita ada 8 atau seperempat dari semua gigi. Selebihnya geraham. Jadi taring untuk mengerat daging hanya seperdelapan total menu dan gigi seri menggigit buah seperempat menu, dan selebihnya untuk mengunyah sayur. Kombinasi seperdelapan jadi harimau, seperempat jadi kera, dan selebihnya jadi kambing. Itulah idealnya kodrat makanan manusia. Namun, yang terjadi sekarang manusia makan daging setiap hari (tiger diet).

Harusnya menganut seperti menu nenek moyang kita: nasi sepiring, sepotong tempe-tahu, ikan pepes, sayur lodeh, sayur asam, lalapan, dan sebakul belimbing, pepaya, jambu, sirsak sawo, nangka, durian, jamblang, lobi-lobi, rukem, kedondong, menteng, mangga, duku, dan banyak lagi buah milik kekayaan bumi kita.

dr. Handrawan Nadesul