Opini  

Melawan Narasi Berita Media Arus Utama Tentang Pembantaian di Gaza

Warga Palestina berunjuk rasa di perbatasan Jalur Gaza berlari menghindari tembakan gas air mata yang diluncurkan melalui drone milik militer Israel, Jumat (30/3/2018).
Warga Palestina berunjuk rasa di perbatasan Jalur Gaza berlari menghindari tembakan gas air mata yang diluncurkan melalui drone milik militer Israel, Jumat (30/3/2018).
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Tarek Cherkaoui

Timur Tengah sekali lagi bergejolak. Selama dua bulan terakhir ini, banyak perkembangan yang membuat situasi yang sudah sejak awal rumit menjadi semakin mendidih. Di satu sisi, Ivanka Trump, Jared Kushner, dan antek-antek Trump lain merayakan relokasi kedutaan besar Amerika Serikat untuk Israel ke Yerusalem, yang dipandang sebagai cara kejam untuk mengubur harapan orang-orang Palestina memiliki negara yang merdeka.

Di sisi lain, warga Palestina di Gaza telah melakukan protes selama berminggu-minggu, menyerukan hak untuk pulang para pengungsi ke kota-kota dan desa-desa di mana mereka diusir paksa pada 1948. Protes ini sengaja disamakan waktunya dengan hari Nakba, atau Malapetaka, yang menandai 70 tahun ditegakkannya negara Israel pada 15 Mei 1948, menyusul aksi pembersihan etnis yang brutal.

Reaksi Israel atas protes yang damai di daerah teluk itu sangat berdarah-darah dan tak berperikemanusiaan. Para penembak jitu Israel menewaskan setidaknya 111 demonstran tak berdosa dan membuat 12.733 lainnya luka-luka di dekat pagar perbatasan Israel sejak 30 Maret 2018.

Dalam situasi pertumpahan darah ini, siapa saja boleh berharap media Barat yang mainstream memberikan peliputan yang adil dan berimbang, terutama karena korban tewas dari sisi demonstran Palestina naik tajam di Gaza. Tapi di banyak kasus, portal berita Barat justru menjadi ‘pencuci’ kekejaman ini, jika tidak bisa disebut menutup-nutupi, melalui strategi mengalihkan-kesalahan dan mekanisme membela diri lain, yang menghindarkan mereka menyalahkan Israel, mengecilkan bahkan menafikan peran mereka sebagai media.

Misalnya, BBC mengacu pembunuhan oleh penembak jitu ke lusinan warga Palestina, banyak di antaranya anak-anak, sebagai ‘bentrokan’.

Sama halnya dengan The Guardian yang menaikkan tajuk berita yang berbunyi “Bentrokan Fatal di Gaza menyusul pembukaan Kedutaan Besar AS”. Pilihan kata “bentrokan” mengindikasikan adanya pertukaran tembakan atau korban, atau kerugian pada kedua pihak, tapi jelas bukan itu yang terjadi di Gaza.

The Wall Street Journal memasang judul seperti ini: “Kekacauan terjadi saat Kedutaan Besar AS dibuka”, yang tak menjelaskan situasi.

The New York Times mengedit judul berita yang mengejutkan – “Setidaknya 28 warga Palestina meninggal dunia dalam protes saat AS bersiap membuka kedutaan Yerusalem,” seakan-akan rakyat Gaza tewas karena sebab-sebab alami – menjadi lebih terus terang: “Tentara Israel membunuh lusinan demonstran Palestina saat AS buka kedutaan di Yerusalem.”

Namun secara keseluruhan, ada kecenderungan jelas untuk menghindarkan Israel dari tanggung jawab apapun. Tajuk berita lain yang diterbitkan oleh The New York Times bahkan sepertinya terinspirasi oleh film layar lebar World War Z – “Gelombang demo Gaza vs. Peluru Israel” (tak lama setelah itu, “gas air mata” ditambahkan ke dalam judul tersebut).

Contoh-contoh bias yang dilakukan media ini tak hanya menguak standar ganda ketika dihadapkan pada korban yang “layak” dan “tak layak”, namun juga bagaimana beberapa media outlet sengaja mengaburkan perbedaan antara fakta dan misinformasi yang tentu melanggar standar jurnalistik.

Kasus-kasus ini juga menandakan adanya penyebab sistematis, seperti pengaruh langsung ideologi dan keadaan ekonomi yang dominan dalam menentukan bagaimana sebuah kisah ditampilkan dan dibingkai. Bukan rahasia lagi bahwa lobi-lobi kuat di AS, seperti kelompok sayap kanan evangelis, Zionis Kristen, dan kelompok militan pro-Israel, memainkan peran besar dalam mengendalikan kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Presiden Trump.

Banyak yang percaya, misalnya, bahwa taipan judi Sheldon Andelson, yang membantu membiayai kampanye pemilu Trump dan menyiram Partai Republik dengan dana USD83 juta, juga menyumbang USD5 juta untuk pesta inaugurasi Trump, adalah orang di belakang pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem.

Di kawasan yang kini lemah dan rentan karena intervensi asing dan saling sengkarut pertikaian, sikap resmi negara menghadapi provokasi Israel, kecuali Turki, tak mendekati harapan orang-orang. Turki bergerak cepat, seperti ketika Kementerian Luar Negeri Turki meminta duta besar Israel meninggalkan negara tersebut juga konsul di Istanbul. Lebih jauh, sebagai ketua KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-13, Presiden Recep Tayyip Erdogan berinisiatif membuka sesi luar biasa OKI pada 18 Mei di Istanbul untuk menjelaskan perkembangan-perkembangan penting di wilayah Palestina.

Tindakan-tindakan ini memicu kemarahan pemerintahan Israel, dan mendorong Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menggunakan akun Twitter-nya untuk menyerang Presiden Erdogan, yang membalas dengan mengatakan bahwa Israel adalah negara apartheid, juga telah melakukan pelanggaran resolusi PBB yang tak terhitung jumlahnya.

Sejalan dengan itu, perlawanan terhadap hegemoni-semu akan pembingkaian media mainstream tentang kasus Palestina semakin memuncak. Sedikit demi sedikit, organisasi pemberitaan (terutama yang terletak di bagian selatan Bumi) memberikan suara bagi mereka yang tak bisa bersuara di Gaza dan Palestina. Dalam konteks ini, peran Anadolu Agency dan TRT World tak bisa dikecilkan. Peliputan mereka yang seimbang dalam konflik Israel-Palestina, yang didasari oleh norma-norma jurnalistik yang kuat, menawarkan penolakan atas representasi yang dominan dan biner. Tak perlu dikatakan bahwa perjuangan atas makna dari peristiwa ini adalah – bahkan lebih dari sebelumnya – sangat penting, terutama pada masa ketika isu Palestina sedang di ambang risiko terlupakan secara strategis, politik, geografis, dan simbolis. ***

Tarek Cherkaoui adalah ahli di bidang komunikasi strategis,  Manajer di TRT World Research Centre, dan penulis “The News Media at War: The Clash of Western and Arab Networks in the Middle East”. Tulisan ini bersumber dari kantor berita Turki, Anadolu