Melayani dengan Hati

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila

Pada ipertengahan bulan Februari ini ada permintaan dari himpunan dari suatu organisasi pendidikan, yang mengundang untuk berdiskusi berkenaan dengan satu program “pemerataan pelayanan” pendidikan di daerah- daerah yang memerlukan peningkatan mutu. Menjadi aneh undangan ini karena berkaitan dengan pelayanan, yang memang sudah menjadi pekerjaan harian bagi semua peserta. Ternyata setelah dilakukan pemetaan, inti pokok bukan ada pada metodologinya, tetapi lebih kepada esensi dari pelayanan.

Keberanian untuk melakukan evaluasi diri seperti ini, sekarang merupakan barang langka, karena kebanyakan justru mengevaluasi orang-perorang atau lembaga. Yang tidak jarang berkecenderungan mencari kesalahan orang lain, kemudiian diumbar ke publik untuk di-bully. Sementara evaluasi diri sebagai bagian dari kontemplasi; jarang dilakukan, karena memerlukan tingkat kesadaran yang dalam untuk menemukenali “siapa kita, dari mana kita, sedang apa kita, dan kemana kita”. Keempat dimensi ini jika ingin ditelusuri lebih dalam sebagai kajian makrifat, mungkin tidak tepat dibeber pada media ini, karena tentu membosankan serta tidak menarik untuk di baca dibanyak kalangan; hanya mereka yang memiliki sikap “olah diri” saja yang tertarik, dan itu tidak banyak.

Ternyata banyak kita jumpai kegagalan dari suatu produk, apapun namanya, saat ditawarkan atau disajikan/dilayankan kepada pengguna, menjadi tidak menarik; karena cara melakukan pelayanan bersifat mekanistik tidak dengan ketulusan. Ketulusan inilah yang disebut melayani dengan hati, yang saat sekarang menjadi bahan langka. Sebagai contoh, saat kita akan membayar sejumlah barang yang kita pilih di swalayan pada kasir; ternyata sang kasir melayaninya dengan muka masam, ketus dan sikap-sikap tidak bersahabat lainnya; maka respon kita hanya dua, pertama terus bergegas membayar dan tinggalkan tempat dengan janji dalam hati tidak akan kembali membeli di sini. Kedua, tinggalkan itu barang untuk tidak diteruskan transaksi. Pilihan ini tentu tergantung seberapa parah hati kita terluka oleh cara pelayanan yang bekerja tidak dengan hati tadi.

Bisa dibayangkan jika itu dilakukan oleh Aparat Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil yang notebene digaji dari uang rakyat melalui pajak yang dipungut selama ini. Tentu saja ini sangat melukai hati mereka yang mendapatkan pelayanan. Apa lagi ada pemisah antara layanan premium dengan tambahan biaya bagi mereka yang mampu, dengan kelas “rakyat” yang tidak dapat memberikan imbalan apapun. Tentu berfikir dikotomis seperti ini benar-benar kapitalisme telah masuk kepada urat nadi atau jantung dari kehidupan yang bernama pelayanan. Pelayanan hanya milik mereka yang mampu bayar mahal, bukan kepada mereka yang membutuhkan dan tidak beruntung secara ekonomi.

Untung negeri ini masih banyak orang baik, termasuk pemimpinnya; sehingga sampai ada program pelayanan untuk saudara-saudara kita yang ada di wilayah garis depan, tertinggal, dan atau terpencil pada dunia pendidikan. Tentu saja peserta program seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan yang ingin berbagi; berperan sebagai “tangan-tangan malaikat” dengan harapan memberikan manfaat bagi mereka yang menjadi wilayah sasaran, sejauh mereka dengan tulus melayani, bukan berharaap pujian apalagi jabatan; karena mereka berniaga dengan Tuhan, maka biarkan Tuhan yang membalasnya.

Keberhasilan mereka memberikan pelayanan tergantung dari datang dan hadirnya mereka ditengah saudara-saudara kita yang daerahnya menjadi sasaran kegiatan. Karena datang belum tentu hadir, datang secara fisik mereka ada di sana, tetapi hati mereka tidak hadir bersama, karena ada tujuan-tujuan keduniawian bersemayam dikepala mereka.

Jika tangkapan radar keilahian kita tertutup oleh nafsu dunia; jangan harap kita akan mendapatkan keberkahan dari apa yang kita kerjakan. Sebaliknya manakala kita mengerjakan pelayanan dengan rasa syukur kepada Tuhan, karena telah dipilih menjadi duta kemanusiaan guna melayani sesama, maka yakinlah semua amal saleh itu akan tercatat pada lembaran amal di Lauhul Mahfudz.

Oleh karena itu, ada tiga kunci pelayanan yang dapat kita jadikan pedoman dalam kehidupan, yaitu: melayani dengan hati, berfikir dengan Otak, dan mengambil keputusan dengan Ilmu. Untuk mendinamisasi ketiganya gunakan strategi. Dengan strategi-lah dapat diputuskan mana yang lebih dikedepankan. Namun hati, otak dan ilmu adalah karunia keilahian kepada manusia yang tidak diberikan oleh Tuhan kepada mahluk lainnya.

Selamat ngopi pag.i