Makyun Subuki*
Setelah lama sunyi dari perdebatan berarti –karena mungkin saya kurang perhatian dan tidak melek sastra–, awal tahun 2014 dunia sastra Indonesia tiba-tiba gaduh dengan terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Paling berpengaruh. Akan tetapi, rupanya saya tidak bisa nimbrung dalam kegaduhan tersebut karena saya tidak dapat bukunya. Lagipula, saya juga tidak paham-paham amat sastra. Sudah begitu, yang ribut teman ketemu teman. Tampaknya, kali ini karir menjadi penonton memang tampak lebih menjanjikan.
Meskipun awalnya saya tidak peduli, tetapi lama-lama perdebatannya menarik juga. Karena saya suka ikut campur urusan orang, akhirnya saya tertarik mempelajari buku (pinjaman) tersebut. Perlu dicatat, awalnya saya ingin membuat tulisan panjang untuk mengomentari beberapa hal dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh ini secara detail, per bagian yang bermasalah dibahas satu per satu. Namun, tampaknya hal ini memerlukan energi yang luar biasa besar. Saya menduga, kalau saya terlalu serius, panjang tulisan saya akan bersaing dengan panjang seluruh tulisan dalam buku tersebut. Di pihak lain, Maman S. Mahayana yang menjadi bagian dari tim penulisan buku 33 TSIPB ini mengundurkan diri. Jadi, tulisan saya yang belum jadi tersebut telah layu sebelum berkembang.
Baiklah, mari kita mulai.
Pertama kali saya mendapatkan pinjaman buku ini, saya terkejut dan terkagum-kagum karena sampulnya begitu bagus. Dan saya lebih terkejut lagi, dan kali ini dengan terheran-heran, begitu mengetahui bahwa sampulnya curian. Maksudnya, yang punya lukisan ini, Hanafi, merasa tidak dikonfirmasi lukisannya bakalan jadi sampul buku ini (Silakan cari sendiri berita tentang ini. Ini bukan puisi esai, jadi nggak ada footnote-nya: pokoknya tidak ilmiah).
Selanjutnya, yang pertama kali saya baca adalah kata pengantarnya. Sangat menarik. Di mana-mana kata pengantar memang lebih menarik daripada isi bukunya.
Sulit bagi saya untuk menceritakan dan juga membahas seluruh isi kata pengantar itu. Selain terlalu panjang, saya yakin yang baca tulisan ini pasti juga sudah baca kata pengantar itu. Tim 8 menyebutkan tiga kriteria dengan pertanyaan-pertanyaan turunan yang begitu banyak dan tidak mungkin semuanya saya bahas di sini. Oleh karena itu, saya fokus kepada maksud tulisan ini, yaitu memahami argumen penolakan terhadap Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra paling berpengaruh.
Catat lagi ini. Dalam mempersoalkan buku 33 TSIPB ini, saya hanya ingin membicarakan Denny JA, sehingga yang saya ulas hanya seputar orang ini. Tokoh yang lain adalah penggembira dalam tulisan saya. Namun demikian, untuk menolak nama tersebut dari barisan 33 secara keseluruhan, kita harus menggunakan beberapa metode: dan saya memilih metode dengan menggunakan kriteria Tim 8 sebagai tolok ukur ketokohan Denny JA. Jadi, harap maklum, pertama kita harus menampilkan kriteria yang dibuat oleh Tim 8 yang terdapat dalam kata pengantar.
Kriteria tersebut (saya ringkas sedemikian rupa supaya tulisan ini tidak terlalu panjang) adalah sebagai berikut.
Pertama, karya dan atau pemikiran. Pertanyaan turunannya adalah (1) Seberapa penting karya/pemikiran tokoh? (2) Apakah karya/pemikiran memberikan inspirasi bagi sastrawan sesudahnya? (3) Bagaimana dampak karya/pemikiran tersebut terhadap sastra dan kehidupan sosial budaya? (4) Apakah karya/pemikiran tersebut membuka jalan baru sastra yang bisa diasalkan ke karya tersebut? (5) Apakah karya/pemikiran tersebut menjadi semacam monumen? (6) Apakah karya/pemikiran menjadi pemicu dalam hal kebudayaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan?
Kedua, kiprah dan kegiatan sang tokoh. Pertanyaan turunannya adalah (1) Seberapa penting kiprah/kegiatannya? (2) Bagaimana dampaknya terhadap perkembangan sastra dan kebudayaan? (3) Apakah kiprah tersebut mendorong lahirnya gerakan serupa/berbeda yang berdampak luas bagi kesastraan dan kebudayaan? (4) Apakah kiprah tersebut melahirkan pendukung atau penentang?
Ketiga, Keberpengaruhan tokoh.
Lalu ada pula penyederhanaan ini. Apakah pengaruhnya bersifat nasional dan atau berkesinambungan? Apakah tokoh tersebut menempati posisi kunci dan atau perintis?
Pertama-tama saya ingin mengemukakan bahwa seluruh kriteria dan pertanyaan turunannya itu sangat sulit untuk diverifikasi batasan ilmiahnya secara rigid. Ini bukan pertanyaan penelitian yang jelas, karena seluruh hal di atas sangat sulit untuk diukur, jangankan secara objektif, intersubjektif saja sulit. Jadi, bagi saya kriteria ini tampak megah dari luar tetapi kosong dari dalam. Tetapi, mari kesampingkan itu dan bahas yang lain.
Seperti sudah saya bilang ini tulisan tentang Denny JA. Jadi, dalam konteks buku ini dengan segudang kriteria di atas, kita harus menguji tulisan Ahmad Gaus tentang Denny JA.
Menurut Ahmad Gaus, Denny JA adalah salah satu dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Tentu saja, Ahmad Gaus sebaiknya menjawab kriteria pertama tentang karya, yaitu seberapa penting karyanya? Kenyataannya, Ahmad Gaus tidak menjawab apa-apa. Karena selain kriteria itu sulit dipenuhi, memang secara kajian puisi tidak ada apa-apa dalam puisi Denny JA itu. Biar saya kutipkan kata-kata Gaus mengenai konsep estetik puisi Denny JA:
….
Konsep keindahan yang ditawarkan “Atas Nama Cinta” tidak terletak pada rima atau persajakan, juga tidak melulu pada pilihan kata (diksi) sebagaimana pada puisi baru, namun pada keseluruhan bangunan puisi itu sendiri, termasuk struktur cerita yang ditampilkan, dan pesan-pesan moral yang disampaikan.. . . . .
(33 TSIPB hal. 658)
Jadi memang Ahmad Gaus menyadari bahwa puisi Denny JA dari sudut pandang kajian puisi tidak indah atau kurang indah. Nilai lebihnya ada pada struktur cerita, kata Gaus. Sayangnya, struktur cerita bukan bagian penting dari puisi, dan bahkan bukan bagian puisi. Tetapi Ahmad Gaus, dan tentu saja Denny JA ini memang aneh dan ngeyel, mereka ini ngotot dalam beberapa ulasan membenar-benarkan alur menjadi bagian penting dari puisi, termasuk dalam buku 33 TSIPB ini.
Jadi, alasan pertama saya menerima penolakan terhadap Denny JA sebagai tokoh sastra adalah karena puisinya jelek. Kata siapa? Kata Ahmad Gaus.
Bagaimana dengan kenyataan bahwa puisi ini menginspirasi banyak sastrawan dan bukan sastrawan untuk menggubah puisi serupa? Ahmad Gaus menampilkan data yang lumayan banyak untuk ini (silakan baca sendiri bukunya). Tetapi sekali lagi, saya ingin menyatakan keberataan. Hampir seluruh puisi esai yang terbit itu diterbitkan oleh Jurnal Sajak yang didanai oleh Denny JA, dan sebagian besar puisi yang terbit itu juga merupakan hasil sayembara yang hadiahnya besar dan juga didanai oleh Denny JA. Jadi, menurut saya Ahmad Gaus tidak berpikir jernih dalam menilai hal ini. Dia tidak mampu membedakan antara memberi inspirasi dan/atau memberi pengaruh dengan memberi hadiah dan/atau memberi motivasi.
Mungkin Denny JA masih berkukuh mengatakan bahwa dia membuat inovasi dengan puisi-esainya itu yang konon tujuannya adalah supaya lebih mudah dipahami. Dan benar saja. Untuk memperkuat hal ini, Ahmad Gaus bilang catatan kaki hadir untuk memperjelas tujuan komunikasi puisi esai. Dengan demikian, puisi menjadi lebih “familiar” dan lebih “understandable” untuk orang awam. Bingung saya. Sejak kapan orang awam senang catatan kaki? Siapa yang dimaksud awam di sini? Apa tukang becak (maaf nih, bukan berarti tukang becak awam semua) di gang tempat tinggal Denny JA dan Gaus suka catatan kaki? Atau mungkin Denny JA dan Gaus ini sedang berbicara tentang orang awam di Eropa atau Amerika sana yang gandrung catatan kaki. Entahlah.
Baiklah. Tidak semua pertanyaan itu saya akan jawab, karena hal itu dapat membuat makalah ini sepanjang kata pengantar buku 33 TSIPB. Saya hanya akan mempersoalkan satu hal lagi.
Bagaimana kiprah Denny JA dan pengaruhnya. Tentu saja, kita harus melihat tulisan Ahmad Gaus dalam hal ini. Apa hasilnya? Tidak ada. Ahmad Gaus tidak menulis apa-apa.
Mungkin kita semua tahu bahwa Denny JA mengadakan sayembara puisi dan membiayai Jurnal Sajak. Tapi apa itu cukup. Sayembara itu bahkan digunakannya untuk “memaksa” orang lain menulis puisi dengan gayanya, dan Jurnal Sajak menjadi alat sosialisasi “puisi” tersebut. Apa ini kiprah yang baik? Tentu saja, bagi Denny JA dan kawan-kawannya itu.
Bagaimana kiprah lainnya di dunia sosial? Ahmad Gaus tidak menulis apa-apa selain LSI. Selain itu, Gaus Cuma bisa nulis tanpa referensi yang jelas bahwa Denny JA waktu muda pernah bikin kelompok studi yang bernama Proklamasi. Hanya itu.
Padahal, Ada KH Musthafa Bisri yang aktif di NU hampir atau malahan seumur hidupnya. Semua kegiatan dan kiprahnya di NU dan pesantren yang diurusnya sejalan dengan apa yang dikemukakannya lewat puisi. Dan kurang berpengaruh apa Gus Mus bagi sastrawan berikutnya yang lahir dari pesantren? Tetapi itulah anehnya Gaus, menganggap LSI lebih penting daripada NU. Saya malahan mau bertanya perihal persoalan ini kepada Acep Zamzam Nur. Sebagai orang NU, apa dia juga menganggap LSI lebih penting daripada NU? Saya malahan berani bilang bahwa NU dalam bidang sastra masih lebih penting daripada Jurnal Sajak!
Jadi, kalau ada alasan lain kenapa saya menolak Denny JA adalah karena dia tidak melakukan apa-apa. Kata siapa? Kata Ahmad Gaus.
Terakhir, kenapa semua ini bisa terjadi? Karena Tim 8 melakukan kesalahan metodologi yang fatal dari awal penulisan buku. Alih-alih berangkat dari data yang sedapat mungkin harus tersedia, Tim 8 berangkat dari inventarisasi nama-nama. Setiap orang mengajukan nama untuk didiskusikan dalam tim. Heran saya. Ini tim apa ya? Mau menulis tokoh sastra paling berpengaruh kok didasarkan pengetahuan personal dan selera individual. Kenapa tidak mulai dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya data, kemudian dipelajari, kemudian diklasifikasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, baru kemudian inventarisasi nama-nama. Tentu saja hal ini berat dilakukan. Dan tim 8 tampaknya tidak mau susah. Hasilnya, mereka memilih nama dan mencari pembenaran ala kadarnya untuk nama-nama tersebut.
Jadi di atas semua itu, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pantas ditolak karena cacat metodologis.
*pembaca buku