Memanfaatkan Sastra sebagai Komunikasi Lintas Batas

Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh Yuli Nugrahani*
Seminar  Leadership for Global Callenges (Foto Ist)
Tema kemiskinan menjadi bahan diskusi dalam kelompok
kecil peserta “Seminar on Leadership for Global Challenges” yang diselenggarakan
oleh Frans Seda Foundation (Jakarta – Bogor, 9 – 13 Juni 2015) sebagai bentuk
dialog antara orang-orang muda tingkat internasional. 
Yang pertama dilihat oleh
kelompok kecil ini (ada 4 kelompok lain yang berbicara tentang tema yang lain)
adalah bagaimana situasi negara Indonesia dan Belanda menjadi titik tolak
komunikasi dan kerjasama yang sinergis di masa mendatang. Fokus mengerucut pada
ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin yang ada di banyak negara walau
tidak mudah menyamakan persepsi tentang hal itu dalam cara pandang berbagai negara.
Banyak upaya-upaya berbagai pihak untuk
membuat situasi menjadi lebih baik. Namun hal itu rupanya belum cukup.
Kemiskinan masih terjadi hingga kini di Indonesia. Lalu apa hubungannya situasi
itu dengan sastra? 
Saya beruntung mendapat kesempatan diundang sebagai salah
satu peserta yang mewakili Indonesia dalam seminar itu dan mendapat kesempatan mempresentasikan
kekuatan sastra sebagai bagian dari komunitasi lintas batas untuk memberi andil
dalam perubahan sosial. Saya menandaskan sebuah pikiran soal pengolahan tema
dalam sastra, sehingga yang bisa terlibat dalam karya sastra bukan hanya para
sastrawan, tapi semua manusia dari berbagai kalangan.
Buku antologi puisi Titik Temu menjadi
bagian yang lebih khusus lagi dalam sharing-sharing saya. Melalui penerbitan
antologi puisi bertema hak asasi manusia (HAM) Komunitas Kampoeng Jerami
mendapatkan satu bukti bahwa sastra mempunyai kekuatan yang potensial untuk
ditingkatkan. 

Buku yang diterbitkan oleh KKJ untuk hari HAM 2014 ini sudah
bergulir lewat berbagai diskusi, bedah buku dan pembacaan karya di berbagai
kota, seperti di Sumenep, Jakarta, Bandung, Bengkulu, Tangerang, Malang, dan
rencana akan berjalan di Lampung, Palembang dan kota-kota lain sampai puncaknya
pada hari HAM tahun ini.

Ada banyak situasi dimana segala bentuk aksi
seolah tidak mampu lagi membangkitkan harapan, tapi ketika masuk dalam sastra,
selalu ditemukan celah-celah kreatif yang dapat memunculkan alternatif. Sastra
dapat menjadi ruang pertemuanyang melintasi batas-batas perbedaan. Buku Titik
Temu
merupakan pengalaman konkret dalam hal ini. Sejumlah 60 penyair dari
berbagai kalangan dan berbagai kota terlibat di dalamnya. Mereka berangkat dari
berbagai macam suku, agama, sudut pandang, ideologi maupun profesi.
Bersama-sama mengumpulkan karya yang beragam membentuk kepedulian pada HAM.
KKJ sebagai penerbit buku ini layak
dipandang sebagai contoh gerakan sastra yang tidak hanya berfokus pada hasil
akhir karya tulis, tapi juga visi yang dibangun dengan sadar untuk terlibat
dalam situasi-situasi sosial yang tengah terjadi. Seperti terpampang dalam
tujuan KKJ yaitu memberikan kontribusi gagasan dan pemikiran alternatif pembangunan
yang berorientasi pada terciptanya masyarakat sejahtera melalui pemberdayaan
sosial, seni dan budaya.
Selain mempunyai komunitas nyata di
Madura dengan taman bacaan dan aktifitasnya, KKJ juga menggunakan facebook
sebagai cara komunikasi, diisi oleh banyak penulis muda dari berbagai tempat di
Indonesia maupun luar Indonesia. Para penulis dengan berbagai latar belakang
suku, agama, cara pandang dan profesi terlibat aktif dalam KKJ. Misalnya buruh
migran Indonesia yang ada di  Malaysia,
Singapura, Taiwan dan Korea, ibu rumah tangga, guru, dokter, pelajar,
mahasiswa, orang-orang seni yang memang hidup dari seni, bahkan orang-orang
yang menyebut diri sebagai ateis atau LGBT. Karena media sosial inilah, KKJ
melintasi ruang dan waktu nyaris tanpa sekat dalam jaringan yang saling
mengembangkan.
Dalam ruang lintas negara, misalnya Indonesia
dan Belanda, ada budaya yang saling mempengaruhi keduanya karena relasi antara
dua negara ini selama ratusan tahun silam. Sekarang, bahasa dan budaya sebagai
bentuk komunikasi harus diperkuat. Sastra adalah bahasa yang mampu meleburkan
perbedaan-perbedaan itu. KKJ sudah mencoba melakukannya lewat Titik Temu
Jika
ini dilanjutkan dengan pemenuhan asumsi-asumsi seperti tersedianya fasilitas,
pelatihan untuk meningkatkan kapasitas, pemahaman yang terus-menerus
dikembangkan dalam kemerdekaan dan keindahan, penyebaran buku dalam berbagai
bahasa, dan sebagainya, maka intensitas gerakan perubahan akan lebih progresif
dan efektif. Tidak hanya dalam aksi secara fisik, tidak hanya basa-basi, tapi
sungguh keluar dari hati.
Sastra bisa menjadi sarana untuk
komunikasi lintas batas. Di dalamnya termaktub pula hal-hal yang harus
diperhatikan seperti ekonomi, pendidikan dan politik. Yang paling penting dalam
sastra adalah manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, yang terus menerus
bergerak dalam kehidupan sosial yang saling terkait satu sama lain. Kehidupan
dalam komunitas seperti yang terbangun seperti dalam KKJ dapat membantu
manusia-manusia yang terlibat di dalamnya untuk saling menguatkan dan
mengembangkan dalam ekonomi, pendidikan maupun politis.
Jika sekarang ini saya hadir dalam
seminar internasional seperti ini, saya bisa melambungkan harapan bahwa bahasa
dan budaya dapat semakin dikembangkan sesuai hakikatnya. Sungguh-sungguh
dipakai untuk membangun hati yang semakin lembut, berbelas kasih dan berbela
rasa. Sastra dapat dipakai untuk melenyapkan diskriminasi karena hati yang
semakin peka sebagai manusia sejati, pribadi maupun sosial, serentak juga
menaruh penghormatan pada martabat setiap manusia tanpa kecuali.
Pada satu kesempatan dalam seminar, saya
didorong oleh beberapa orang peserta untuk membaca salah satu puisi. Saya
mengambil puisi saya dalam Titik Temu yang berjudul “Gagal Panen” yang berkisah
tentang anak jalanan. Puisi ini bisa merangkum seluruh situasi sosial yang ada
di Indonesia termasuk politik, ekonomi, dan pendidikan. Ini menjadi salah satu
pembuktian bahwa puisi ini bukan hanya ranah diskusi para sastrawan semata,
tapi ruang bagi semua orang dalam kehidupan sosial.***

* Penyair, tinggal di Bandarlampung