Sejumput konsep tentang rima, dapat dimanfaatkan. Rima tidak melulu bergenit-genit sekedar bermain-main bunyi jadi sepadan. Rima justru dapat dimanfaatkan agar mampu menyugesti kefanaan makna.
Demikian pula diksi. Keberadaannya dapat dipicu untuk menyasar ide yang meledak-ledak dan menafsir segala makna. Bagi penyair, diksi adalah alat yang dapat diperani sejumlah muatan: eufonik, menegas gagas, dan dalam konteks lebih luas adalah wacana. Bagi penikmat sajak, diksi adalah wacana terbuka yang boleh dimaknai ketika dibacakan di pentas atau dibaca secara diam-diam.
Membaca sekumpulan sajak “Tanju” (“Tanpa Judul”) karya Dias Putri Samsoerizal adalah menatap pengalaman, menemu umpatan, meninju keadaan yang dikemas secara apik dalam larik-larik sajak. Sebuah sajak yang ditulis pada 22 Maret 2014 itu dengan renyah diucap:
jika merasa memiliki cerita indah
mengapa memilih berpisah?
jika memiliki cerita indah
mengapa makna pisah yang
kau unggah?
H U A H
hendak mengusik?
Tidak!
Tidak!
Tidak!
kalian hanya sekelumit riwayat
lalu
jadi, silakan
berlalu
riwayat kini hanya
milik kami
dan silakan kau
tetap berlalu
Kemenarikan kumpulan sajak ini semuanya tak bertajuk – tanpa menerakan judul (!). Penyair agaknya ingin memberikan hak asasi atau ruang terbuka bagi
para pengapresiasi sebagai pembaca atau penikmat sajak-sajaknya. Dua larik
sajak menarik berikut, bisa saja kita beri judul, misalnya: misteri aku takut pada malam karena pekatnya
Sebagai warga baru dalam persajakan, perjalanan kepenyairannya masih perlu diuji. Alam kelak akan menyeleksinya: apakah dia tergolong taat pada profesi yang menjadi pilihannya! ***