Oyos Saroso H.N.
Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto bertemu di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bpgor, pada Kamis malam, 27 Juli 2017. Agendanya silaturahmi. Namun, meski hanya silarurahmi, pertemuan itu menjadi mahapenting karena dilakukan dua pensiun jenderal, saat ini sedang menjadi ketua umum partai, dan sama-sama masih punya hasrat politik untuk memajukan bangsa dan negara.
SBY adalah Presiden RI dua periode, sedangkan Prabowo mantan calon presiden dua kali. SBY masih ketua umum partai dan punya jago kuat anaknya sendiri menjadi pemimpin nasional. Sedangkan Prabowo punya kans besar untuk maju pada Pilpres 2019.
Karena latar belakang itulah maka pertemuan dua tokoh nasional menjadi liputan utama media massa nasional. Harian Kompas bahkan menempatkannya sebagai berita utama di halaman muka. Kompas dan sebagian besar media nasional arus utama mewartakan pertemuan itu sebagai upaya kedua tokoh itu untuk bersepakat mengawal Presiden Jokowi dan membangkitkan gerakan moral.
Sementara sebagian media online yang berharap dari hits tinggi membidik pertemuan tersebut dengan judul yang diambil dari kata-kata kunci yang dilontarkan SBY dan Prabowo. Kata -kata kunci itu adalah “presidential threshold (PT) 20 persen lelucon politik” (ucapan Prabowo), “power must not go unchecked” (ucapan SBY), “abuse of power” (ucapan SBY”.
Lengkapnya, SBY mengatakan: “Power must not go unchecked. Artinya, kami harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan tidak melampaui batas, sehingga tidak masuk apa yang disebut abuse of power. Banyak pelajaran di negara ini, manakala penggunaan kekuasaan melampaui batasnya masuk wilayah abuse of power, maka rakyat menggunakan koreksinya sebagai bentuk koreksi kepada negara.”
Prabowo mengatakan: “Karena kita tidak mau ditertawakan sejarah. Kekuasaan silakan mau berkuasa 5,10, 50 tahun, tapi diujungnya sejarah menilai. Gerindra tidak mau ikut hal yang melawan logika. Presidential Threshold 20 persen lelucon politik yang menipu rakyat, saya tidak mau terlibat.”
Harian Republika memberitakan pertemuan dua tokoh nasional itu dengan judul sangat gagah: “Prabowo: PT 20 Persen Lelucon Politik yang Menipu Rakyat”. Puas sekali rasanya. Sayangnya, berita Republika bersumber dari LKBN Antara. Detik.com juga membuat judul serupa.
Apa makna pertemuan itu bagi rakyat yang disebut-sebut kedua tokoh itu? Jawabannya singkat: sangat penting dan inspiratif.
Seberapa penting? Nah, di sini masing-masing orang bisa berbeda pendapat.
Pertemuan menjadi penting karena silarurahmi memang dianjurkan oleh ajaran agama. Tidak ada salahnya dua orang bertemu, apalagi orang yang memiliki kelas tokoh nasional yang setiap hari memikirkan masa depan bangsa negara. Namun, bagi saya, pertemuan itu menjadi kurang bernilai justru ketika setingnya salah atau kurang tepat.
Dikatakan kurang tepat karena dua tokoh itu menguarkan pendapatnya dari momen yang sama (pascapenetapan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu) dengan basis data yang kurang kuat dan cenderang subjektif.
SBY menyebut ada kecenderungan “abuse of power” penguasa, tetapi mudah dipatahkan di mana saja letak “abuse of power” itu. Kalau persoalannya adalah penetapan UU Pemilu — terutama memuat pasal presidential threshold 20 persen — yang diwarnai walk out itu, bukankah proses politik di DPR memang sudah berdasarkan mekanisne yang disediakan?
Prabowo mengatakan “Presidential Threshold 20 persen lelucon politik yang menipu rakyat”, bukankah pada dua UU Pemilu sebelumnya “presidential threshold”-nya 20?
Saya sepakat penguasa harus selalu dikontrol agar tidak melakukan penyimpangan kekuasaan (abuse of power). Siapa pun yang menjadi penguasa, harus menjalankan kekuasannya sesuai dasar negara dan pagar hukum yang ada.
Terkait dengan pertemuan dua tokoh, saya menyarankan kedua tokoh tersebut menggelar pertemuan lanjutan dengan agenda yang lebih ciamik. Akan lebih bagus temanya tidak melulu soal politik dan kekuasaan. Akan lebih banyak mendapat dukungan rakyat jika para tokoh juga menguarkan respons isu mutakhir.
Mohon maaf, jika temanya melulu politik dan kekuasaan, saya hanya percaya pada sosok guru bangsa. Yakni, tokoh nasional yang sudah meninggalkan hasrat kekuasaan dan semata-mata menghibahkan hari tuanya untuk kebaikan bangsa negara. Contoh riilnya Bapak B.J. Habibie.
Sekuat apa pun ketokohan seseorang, jika masih berhasrat besar pada kekuasaan sekadar kata “rakyat” yang keluar dari mulutnya pun akan mudah ditafsirkan sebagai bertendens. Sayangnya, tendensi tidak melulu positif buat kemaslahatan orang banyak — sebagian besar rakyat Indonesia.
Pemilu sudah dekat. Pilpres sudah hampir di depan pintu gerbang. Silakan berkompetisi secara sehat.
Semoga Pak SBY dan Pak Prabowo senantiasa sehat wal afiat.