Oleh: Moh Shobirienur Rasyid*
Dalam sebuah diskusi daring, seorang profesor dari prodi sejarah ilmu murni berkata bahwa menurutnya guru sejarah di sekolah yang lulusan ilmu murni itu lebih baik mengajarnya dibandingkan dengan guru sejarah lulusan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Beberapa guru lulusan LPTK “protes” dan menulis di ruang chat yang disediakan panitia. Tidak kurang pula seorang dosen prodi pendidikan sejarah berkata bahwa “banyak mahasiswa saya bagus-bagus ketika mengajar dan menjadi guru”. Satu dua peserta diskusi daring itu ada yang mengajak berdialog melalui media-sosial.
Saya merenungkan perkataan profesor itu. Saya membedah pengalaman yang pernah saya lihat dan saya alami, untuk menjelaskan atau untuk membantah perkataan profesor itu. Karena bertolak dari pengalaman yang saya lihat dan saya alami, maka tulisan ini sepenuhnya sangat bersifat pribadi. Saya belum pernah melakukan penelitian terhadap hal-hal yang dikatakan profesor ilmu sejarah itu.
***
Pendidikan saya tidak tinggi. Selepas Sekolah Menengah Pertama (SMP) saya masuk ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dengan jurusan Guru Sekolah Dasar program Ilmu Pengetahuan Sosial. Masuk jenjang SPG pada awal dekade 1980-an ada dalam “derajat sosial” peringkat-4 atau peringkat-5 yang lebih rendah dari kelas sosial [a] SMA paspal (sekarang jurusan IPA), [b] SMA sosial (sekarang jurusan IPS), dan [c] SMA budaya (sekarang jurusan bahasa-budaya). Produk SPG secara umum masuk peringkat ke-4, dan kalau diklasifikasikan berdasarkan jurusan di SPG, jurusan Guru SD program IPS itu “derajat sosial”-nya berada setingkat di bawah jurusan Guru SD program IPA.
Selepas SPG saya tidak menjadi guru SD, tetapi melanjutkan kuliah pada program D III di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Input mahasiswa IKIP pada awal dekade 1980-an adalah lulusan SMA atau sekolah keguruan atau sekolah kejuruan, melalui program Proyek Perintis IV (sebelum diberlakukan program Sipenmaru yang sama untuk semua perguruan tinggi).
Proyek Perintis IV (PP-4) itu inputnya adalah sisa calon mahasiswa asal SMA yang tidak lolos dalam PP-1, PP-2, dan PP-3. Beruntung, ketika saya kuliah, program Proyek Perintis sudah dihapus, dan saya masuk kuliah dengan program Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pertama kali, yang menyamakan semua input calon mahasiswa perguruan tinggi negeri. Dapatlah dibayangkan, bahwa selama kuliah, generasi angkatan saya di LPTK tetap mewarisi “derajat sosial” yang rendah seperti yang dialami oleh generasi kakak-kakak angkatan saya.
Hingga di sini, hipotesis atas pernyataan profesor dapat saya kemukakan bahwa “derajat sosial” input LPTK boleh jadi menjadi penyebab dari “tidak lebih baiknya lulusan LPTK dibanding lulusan ilmu murni” ketika berperan sebagai guru sejarah di kelas. Tetapi, begitu saya sampai pada hipotesis ini, saya segera menolaknya, karena pengalaman saya pernah diajar oleh guru dan dosen sejarah lulusan LPTK dan saya melihat dosen sejarah lulusan non-LPTK.
Saya masuk jurusan sejarah karena saya terpesona pada cara guru sejarah saya menceritakan cerita sejarah. Kala itu, hanya mengandalkan metode ceramah semata –saya kira keunggulan sejarah adalah mampu membuat metode ceramah tidak membosankan di hadapan banyak orang– guru saya yang pasti cuma lulusan LPTK melalui PP-4 itu sudah mampu menarik perhatian siswa. Sejumlah besar dosen saya juga lulusan S1 prodi pendidikan sejarah yang bagus-bagus mengajarnya: memberi inspirasi pengajaran di kelas, memberi wawasan dan nasionalisme sebagai guru sejarah yang turut mewarnai karakter generasi masa depan.
Selepas lulus D III, sambil mengajar saya melanjutkan ke jenjang S1 pendidikan sejarah. Saya bertemu dengan beberapa dosen lulusan ilmu sejarah (orang ramai menyebutnya sebagai ilmu murni), yang menurut saya tidak mampu mentransfer ilmu yang dimilikinya. Mereka mungkin pintar, tetapi pintarnya hanya untuk dirinya sendiri, dan tak ideal untuk ditransfer pada mahasiswa. Lebih-lebih lagi, dosen-dosen itu hanyalah “mengcopy-paste” belaka cara guru dan dosennya ketika mengajar.
Hingga di sini, dapatlah dibayangkan, apabila lulusan ilmu murni seperti itu mengajar di sekolah menengah. Mereka masuk ke kelas tanpa pengetahuan “didaktik dan metodik”, tanpa pengetahuan “psikologi perkembangan dan psikologi pembelajaran”, tanpa pengetahuan “asesment pembelajaran”; mereka hanya masuk ke kelas seperti ketika dosennya mengajar.
***
Pengalaman saya ketika beberapa kali menjadi “penilai-guru yang membaca calon-buku-pelajaran” yang diadakan oleh Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (nama lembaga ini sering berganti ganti). “Penilai-Guru-Pembaca” ini dilakukan setelah calon-buku-pelajaran lolos seleksi materi yang dilakukan oleh “dosen LPTK dan dosen ilmu murni”. Penilai-Guru-Pembaca ini dikoordinir dan dimoderasi oleh dosen ilmu-murni.
Pada satu kali moderasi, ketika saya mencoret-coret isi materi buku sejarah kelas X dengan istilah-istilah yang sudah out-of-date, dosen ilmu murni sejarah itu berkata, “Wah itu konten arkeologi, saya tidak tahu banyak tentang itu.”
Atau pada kali yang lain –dosen ilmu murni sejarah yang lain lagi– mengatakan, “Kajian saya bukan pada sejarah klasik (periode Hinduistik/Buddhistik di Nusantara).”
Lalu pada hari ini saya jadi merenungkan pernyataan guru besar itu: bila dosen ilmu sejarahnya tidak mengajarkan materi-materi periode praaksara dan periode klasik pada mahasiswanya, bagaimana mereka yang jadi “guru sejarah di sekolah” bisa mengajarkan lebih baik dari lulusan LPTK?
***
Kepada guru besar itu saya menulis tentang kemungkinan keliru membandingkan. Lulusan LPTK yang jadi guru sejarah itu “banyak”, lebih banyak dibandingkan dengan lulusan ilmu sejarah yang jadi guru sejarah. Boleh jadi, yang dilihat profesor adalah bukan penglihatan perbandingan kuantitatif: 100 dari 1000 guru sejarah lulusan LPTK yang baik mengajarnya tidak dianggap dibandingkan dengan 1 dari 10 guru sejarah lulusan ilmu murni yang baik mengajarnya.
Perbandingan itu setara dengan: 100 dari 1000 sejarawan lulusan ilmu murni tidak dianggap dibandingkan dengan 1 dari 10 sejarawan lulusan LPTK. Seratus sejarawan lulusan universitas? Mana yang kelihatan dari seratus itu? Mengapa kita masih merujuk buku HJ de Graaf untuk belajar Sejarah Jawa? Mengapa kita masih menggunakan buku MC Ricklef ketika belajar sejarah Indonesia modern? Mengapa kita masih merujuk Peter Carey ketika menelisik Perang Jawa? Mana sejarawan Indonesia-nya?
***
Tulisan renungan ini tidak bermaksud untuk menafikan kontribusi sejarawan dalam menyumbangkan karya historiografi di Indonesia. Tulisan renungan ini tidak pula bermaksud untuk menafikan kontribusi sejarawan yang beralih menjadi guru-sejarah. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa soalnya menjadi guru yang baik itu bukanlah lulusan dari mana, tetapi persoalannya mungkin lebih kompleks lagi. Barangkali, seorang guru sejarah alumni ilmu murni yang ditemukan itu adalah orang yang menjadi guru karena “panggilan hati”, sedangkan sepuluh guru sejarah alumni LPTK yang ditemukan profesor itu menjadi guru karena “desakan ekonomi”.
Lebih jauh lagi, pernyataan profesor itu harus menjadi “Pekerjaan Rumah” bersama bagi dosen-dosen ilmu sejarah di PT non-LPTK dan dosen-dosen pendidikan sejarah di LPTK, terutama dalam meneguhkan semangat cinta-tanah-air generasi mendatang melalui guru sejarah dan kurikulum sekolah.******
*Moh Shobirienur Rasyid adalah seorang guru