Oleh: Ali Farkhan Tsani*
Pembacaan Al-Quran di Istana Negara saat peringatan Isra Mi’raj Jumat malam (15/5) menuai kontroversi. Sebab lantunan ayat-ayat suci Al-Quran Surah Al-Isra ayat 1 dan Surah An-Najm 1-15, yang dibacakan qari’ Muhammad Yasser Arafat, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta menggunakan langgam Jawa.
Video bacaan Al-Quran itu seperti beredar di https://www.youtube.com/watch?v=1kir179iS2E menjadi perbincangan di kalangan pengguna media sosial hingga perdebatan keras. Bahkan sampai ada yang menyatakan, sang qari’ telah menyalahi aturan dengan menggunakan langgam Jawa.
Menanggapi hal tersebut, mantan Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar menerangkan inti permasalahan terletak pada belum terbiasanya masyarakat mendengar langgam jawa yang digunakan untuk membaca Al-Quran.
Menurutnya larangannya tidak ada, tapi hanya masyarakat saja yang belum terbiasa. Namun karena ini disiarkan secara nasional, makanya jadi kontroversi dan khawatir mengganggu telinga masyarakat. Karena masyarakat Indonesia itu kalau soal agama sensitif.
Lebih lanjut Nasaruddin menjelaskan langgam jawa atau langgam yang lain adalah cara pelantunan dari budaya masyarakat setempat. Selama tidak merusak tajwid, intonasi, maupun makna dari Al-Quran itu sendiri, maka penggunaan langgam jawa tersebut tidak dilarang.
Rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) periode 2014, K.H. Ahsin Sakho Muhammad mengatakan, cara membaca Al-Quran menggunakan berbagai langgam, termasuk langgam Indonesia, itu sah dan diperbolehkan.
Hal itu menurutnya, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebab merupakan hasil karya seni manusia dari masyarakat tertentu yang dirangkum dalam membaca Al-Quran, ujar pimpinan Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, Jawa Barat tersebut.
Hanya saja, ia sebagai doktor ilmu Al-Qur’an lulusan universitas di Saudi Arabia menjelaskan, bacaan pada langgam budaya harus tetap mengacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya.
Dalam hal ini, dia menambahkan, tajwid dalam hukum bacaannya, panjang pendeknya dan makhrajnya.
Namun dia menambahkan, Kementerian Agama sebelumnya seharusnya mempertimbangkan terlebih dahulu mengenai penggunaan langgam Jawa ini. Sebab menurutnya, langgam ini memberikan nilai tersendiri dalam Al-Quran.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengakui bahwa tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah idenya, tujuannya adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air.
Menjurus Ashabiyah
Cara membaca Al-Quran (qira’ah) seperti yang dilakukan qari’ di Istana Negara, terdengar mengikuti gaya macapat–mijil. Tembang macapat-mijil merupakan salah satu jenis irama lagu bagi masyarakat jawa.
Tidak jauh berbeda dengan irama dangdut, pop, jazz, dst. Hanya saja, mengingat irama ini lebih terikat dengan kedaerahan, penyebarannya tidak lebih luas dibanding irama yang lain.
Ustadz Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasi Syari’ah, mengatakan terlalu jauh jika beralasan bahwa itu karena bawaan lagu daerah. Sebab, sampaipun seorang Muslim yang mahir berlanggam macapat, tetapi ketika dia membaca Al-Quran, dia akan membacanya dengan lagu yang mengikuti kaidah qira’ah tajwid, dan bukan qira’ah macapat.
Ini tentu sangat berbeda dengan orang yang membaca Al-Quran dengan langgam asli karena pengaruh lidah daerah. Tanpa ada kesan dipaksa-paksakan. Seperti orang Sunda yang membaca huruf fa dengan pa atau orang jawa mbanyumasan yang kesulitan baca ‘ain sehingga terbaca ngain, dan seterusnya, yang ini murni terjadi di luar kesengajaan.
Dan sangat jelas, si qari’ itu membaca dengan irama lagu, dibuat-buat, bukan karena bawaan asli cara dia membaca Al-Quran. Kita bisa mendengar agak miris, kesan dipanjang-panjangkan, malah dikhawatirkan merusak kaidah tajwid, hanya semata dalam rangka mengikuti irama macapat.
Padahal itu dibaca di acara resmi kenegaraan, dalam nuansa Nasional, bahkan dilihat dunia internasional, bukan acara kedaerahan. Acara secara nasional juga dihadri beberapa pejabat dan sejumlah duta besar negara Arab, serta didengar oleh banyak orang-orang yang paham qira’ah Al-Quran, oleh para hufadz Al-Quran dan oleh guru-guru besar Al-Quran baik dalam maupun nanti luar negeri. Cepat atau lambat pasti dunia akan mengetahuinya melalui jejaring sosial.
Hukum Melagukan Al-Quran
Dr. Ibrahim bin Sa’d ad-Dausiri, Ketua Lembaga Studi Ilmu Al-Quran di Universitas King Saud menjelaskan, bahwa hukum membaca Al-Quran dengan irama (lahn) yang mengikuti tabiat asli manusia, tanpa dibuat-buat, tanpa dilatih, seperti cara baca umumnya masyarakat, pada dasarnya adalah diperbolehkan. Bahkan termasuk dianjurkan ketika seseorang membaca al-Quran untuk melagukannya.
Hal ini seperti dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Artinya: “Baguskanlah suara bacaan Al-Qur’an kalian.” (H.R. Abu Daud dan An Nasai).
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
Artinya: “Bukan termasuk golonganku, orang yang tidak melagukan Al-Quran. (H.R. Bukhari).
Makna bukan termasuk golonganku di sini tentu bukan berarti lantas orang yang membaca Al-Quran secara datar, atau bahkan terbata-bata karena baru belajar, bukan termasuk umat Nabi. Akan tetapi lebih bersifat anjuran untuk menambah kenikmatan dan kekhusyu’an membaca Al-Quran.
Sebab membaca Al-Quran dengan terbata-bata pun masih mendapatkan pahala ibadah. Sebagaimana sabdanya:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
Artinya: “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an bersama malaikat yang mulia lagi thaat. Adapun orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan berat atasnya, maka baginya dua pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Namun yang perlu menjad perhatian adalah bahwa tujuan utama melagukan Al-Quran, seperti dilakukan para imam ketika mengimami shalat berjama’ah adalah atas dorongan ingin mentadabburi Al-Quran lebih khusyu’.
Ahli tafsir terkemuka, Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Fadhail Al-Quran, menyatakan bahwa yang diajarkan oleh syariat adalah memperindah bacaan Al-Quran karena dorongan ingin mentadabburi Al-Quran, memahaminya, berusaha khusyu’, tunduk, karena ingin mentha’ati Allah.
Adapun bacaan Al-Quran dengan lagu yang tidak pernah dikenal, mengikuti irama, tempo, cengkok lagu, dan nada musik, maka tidak tepat karena seharusnya Al-Quran itu diagungkan, dan dimuliakan dari cara membaca semacam ini.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya Zadul Ma’ad memfatwakan, semua orang yang mengetahui keadaan ulama salaf, dia akan sangat yakin bahwa mereka berlepas diri dari cara membaca Al-Quran dengan mengikuti irama musik yang dipaksa-paksakan. Menyesuaikan dengan cengkok, genre, dan tempo nada lagu. Mereka para ulama sangat takut kepada Allah untuk membaca Al-Quran dengan gaya semacam ini.
Sensasi yang Tidak Perlu
Hal yang perlu lebih mendapatkan perhatian adalah memang satu sisi atas alasan budidaya khazanah langgam macapat yang hampir terlupakan perlu dilakukan. Namun, masyarakat jawa sendiri sudah banyak atau bahkan tidak ada, minimal menurut Penulis sendiri, tidak pernah mendengar qira’ah Al-Quran di masjid, pada acara-acara hari-hari besar Islam, di tempat pernikahan, wusuda, dan lainnya, membaca Al-Quran dengan langgam kedaerah itu.
Karena itu, wajar ketika ada orang yang membaca Al-Quran dengan langgam yang aneh seperti sinden tersebut, spontan memicu banyak reaksi dari kaum Muslimin. Jika itu satu hal yang lumrah bagi mereka, tentu tidak akan mereka permasalahkan.
Menciptakan ‘sensasi’ secara ‘liberal’, yang dapat memancing emosi dan perbedaan pendapat kaum Muslimin, tentu itu dampak yang wajib diperhatikan sebelumnya. Sebab, niat baik saja tidak cukup, apalagi kalau sekedar alasan pelestarian budaya dengan menggunakan Al-Quran sebagai sarananya, dikhawatirkan sangat dekat dalam kategori istihza’ (mempermainkan) terhadap Al-Quran.
Ustadz Ahmad Annuri, pakar pengajaran Al-Quran dari Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII), malah menuduh pemerintah melakukan liberalisasi agama Islam.
karena itu, menurut Ustadz Ahmad, cara membaca Al-Quran seperti di Istana Negara itu tidak boleh terjadi lagi dan harus dihentikan. Sebab, hal itu termasuk kategori kakalluf atau memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim dalam qira’ah Al-Quran, dan yang paling fatal adalah ketika ada kesalahan niat dan tujuan. Yaitu merasa perlu menonjolkan citra rasa lagu ke-Nusantara-an atau keindonesiaan dalam membaca Al-Quran.
Menurutnya, boleh saja dikatakan sah-sah saja selama meperhatikan tajwid, panjang pendek, dan makhrajnya. Akan tetapi langkah itu membangun sikap hubbul wathoniyyah (cinta nasionalisme) yang salah, seolah bahwa lagu Nusantara untuk membaca Quran adalah sesuatu yang layak dan sah-sah saja. Cara membaca Al-Quran seperti itu, jelas akan merusak kelaziman yang sudah digunakan sejak jaman Nabi, Sahabat ulama tabi’it, tabi’it tabi’in dan seterusnya dalam qira’ah Al-Quran. Hal itu hanya akan lebih besar mudharatnya daripada manfaatnya bagi umat Islam.
Keberatan Ulama
Menurut Ustadz Toha Husain Al Hafidz, murid Imam Masjidil Haram Syaikh Su’ud Ash-Shuraim, ada paling sedikit empat kesalahan dalam membaca Al-Qur’an dengan langgam jawa lagu Dandanggulo yang dibawakan Muhammad Yaser Arafat pada acara Isra Mi’raj di Istana Negara tersebut.
Pertama, kesalahan tajwid, yaitu terdengar dari bacaan maad (panjang) yang dipaksakan untuk mengikuti kebutuhan irama lagu.
Kedua, kesalahan logat. Al-Quran sesuai tuntunan Nabi, harus diucapkan dengan logat fushah aslinya, yaitu bahasa Arab, yaitu dengan qira’ah sab’ah atau qira’ah asyrah yang memang sudah diakui selama ini.
Ketiga, kesalahan takalluf, atau pemaksaan untuk meniru lagu yang tak lazim dalam qira’ah Al-Qur’an.
Keempat, dan ini kesalahan yang paling fatal adalah kesalahan niat atau tujuan, yaitu merasa perlu menonjolkan keindonesiaan, kebangsaan, kejawaan, atau kedaerahan, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Ini dapat dimasukkan ke dalam kategori membangun sikap ashabiyyah (kesukuan) dalam ber-Islam.
Jangan sampai kemudian tertimpa oleh apa yang disabdakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
اِقْرَؤُا الْقُرْآنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا وَ إِيَّاكُمْ وَلُحُوْنِ أَهْلِ الْكِتَابِ وَأَهْلَ الْفِسْقِ فَإِنَّهُ سَيَجِيْءُ أَقْوَامُ يَرْجِعُوْنَ بِالْقُرْآنِ تًرْجِيْعُ الْغِنَاءُ وَالرَّهْبَانِيَةُ لَا يُجَاوُزُ حَنَاجِرَكُمْ مَفْتُوْنَةٍ قُلُوْبُهُمء وَقُلُوْبُ مََنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ
Artinya: “Bacalah Al-Qur’an itu dengan lagu bacaan Arab dan suaranya, dan jangan sampai kalian menggunakan gaya ahli kitab, dan orang fasiq. Sebab, akan datang kaum yang melagukan Al-Qur’an dengan lagu-lagu seperti kidung para pendeta yang tidak melewati kerongkongan kalian, hati mereka terfitnah, juga hati yang kagum dengan penampilan mereka. (H.R. Thabrani dan Baihaqi).
Qari’ internasional, Syaikh Abdullah bin Ali Bashfar ikut berkomentar dengan menyebut bahwa qira’ah langgam daerah pada peringatan Isra Mi’raj tersebut mengandung kesalahan tajwid. dimana panjang mad-nya dipaksakan mengikuti irama lagu. Juga kesalahan lahjah (logat), berseberangan dengan perintah Nabi, “Iqra’ul qur’aana biluhuunil ‘Arobi wa ashwaatiha” (Bacalah Al-Qur’an itu dengan lagu bacaan Arab dan suaranya).
“Yang berbahaya adalah jika ada kesalahan niat, yaitu merasa perlu menonjolkan ashabiyyah kedaerahan dalam berinteraksi dengan al Qur’an. Dan yang paling fatal jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang,” ujarnya..
Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk-Nya dalam menjaga dan mendakwahkan Al-Qur’an sesuai tuntunan Sunnah Rasulullah Shallallhu ‘Alaihi Wasallam. (T/P4/R11).
* Ali Farkhan Tsani adalah Redaktur Tausiyah Mi’raj Islamic News Agency (MINA), alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Negeri Jakarta (sekarang UNJ) dan Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly Shana’a Yaman. Sehari-hari sebagai da’i di Pondok Pesantren Terpadu Al-Fatah Cileungsi, Bogor.
Opini ini juga dimuat di Mirajnews.com. Dimuat ulang di media ini dengan tujuan untuk pencerahan publik.
Tulisan terkait: Wakil Sekretaris MUI: Membaca Quran dengan Langgam Jawa akan Dilaknat
Tulisan terkait: Wakil Sekretaris MUI: Membaca Quran dengan Langgam Jawa akan Dilaknat