“Menang Ora Kondang, Kalah Malah Wirang”

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

Selesai melaksanakan salat zuhur, penulis d ajak teman lama seperjuangan untuk makan siang bersama. Kami makan sambil cerita banyak hal. Doktor alumni Amerika ini sebenarnya bertipe pendiam dan kalem. Namun, bersama penulis ia banyak menyampaikan banyak hal. Sampai-sampai kami berdua tidak sadar bahwa makanan yang sudah kami santap tadi sudah dibayar tamu lain.

Di sela-sela perbincangan itu ia menyinggung bagaimana nasib seseorang yang sedang melakukan pemilihan justru melawan kotak kosong. Menggunakan aksen Cirebon yang kental beliau mengatakan,”Kuwi arane menang ora kondang nek kalah malah wirang”.

Celotehannya  itu menarik untuk di bahas. Jika diterjemahkan secara bebas “menang tidak terkenal, justru kalau kalah malah malu”. Namun sebenarnya diksi “wirang” itu tidak tepat benar jika diterjemahkan menjadi “malu”, karena wirang di sana lebih kepada harga diri; seperti halnya pada bahasa Bugis “masyiri”.; untuk orang Lampung “piil”. Jika ditelusuri secara filosofis melalui referensi yang ada; maka akan ditemukan makna sebagai berikut: Filosofi yang terkandung dalam ungkapan ini mencerminkan kehidupan yang penuh dinamika.

Berikut adalah beberapa interpretasi dari ungkapan ini: Pertama, Kesederhanaan dalam kemenangan: Ungkapan ini mengajarkan bahwa kemenangan tidak harus selalu membawa ketenaran atau pengakuan. Terkadang, seseorang bisa menang dalam suatu hal, tetapi tetap rendah hati dan tidak merasa perlu untuk dielu-elukan. Fokusnya adalah pada hasil yang diperoleh, bukan pada pengakuan publik.

Kedua, Malu dalam kekalahan: Kekalahan tidak hanya soal tidak mencapai tujuan, tetapi juga bisa menjadi pengalaman yang penuh rasa malu jika disertai dengan kesombongan atau ekspektasi berlebih. Kekalahan seringkali lebih berat diterima jika sebelumnya seseorang merasa terlalu percaya diri atau ingin meraih pengakuan.

Ketiga, Pengingat akan pentingnya integritas: Dalam kehidupan, penting untuk menjaga integritas baik saat menang maupun kalah. Menang tidak menjamin kemuliaan, dan kalah bisa menjadi pengalaman yang memalukan jika tidak dihadapi dengan sikap yang bijak.

Keempat, Fokus pada proses, bukan hasil: Makna filosofis lainnya bisa dipahami sebagai pengingat bahwa yang terpenting adalah bagaimana seseorang mencapai tujuan, bukan hanya soal menang atau kalah. Penghargaan tidak selalu datang dari hasil, tapi dari proses perjuangan itu sendiri.

Ungkapan ini seringkali digunakan sebagai pengingat untuk tidak terlalu berambisi terhadap pengakuan atas kemenangan, dan untuk siap menghadapi kekalahan dengan sikap yang baik, tanpa rasa malu yang berlebihan. Secara hakiki, ungkapan ini mengajarkan bahwa nilai sejati dari kemenangan dan kekalahan terletak pada cara seseorang memperolehnya dan bagaimana dia menerima hasilnya dengan penuh kebijaksanaan, etika, dan martabat.

Lebih dalam lagi jika kita sejajarkan antara “menang” dengan “wirang” dalam konteks budaya Jawa, ternyata dari hasil penelusuran referensi yang ada ditemukan penjelasan: Dalam budaya Jawa, “menang” dan “wirang” memiliki makna yang sangat mendalam dan terkait dengan konsep kehormatan, harga diri, dan keseimbangan spiritual.

Mari kita bahas makna dari kedua kata tersebut dari kontek budaya (Jawa): Pertama Menang: Secara harfiah, “menang” berarti kemenangan atau keberhasilan. Namun, dalam konteks budaya dan filosofi Jawa, “menang” memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar kemenangan fisik atau material. Filosofisnya, “menang” dalam budaya Jawa sering kali dianggap sebagai kemenangan batin, yaitu keberhasilan dalam mengendalikan diri, menjaga harmoni, dan mencapai keseimbangan antara jasmani dan rohani.

Menang tanpa ngasorake: Ini adalah salah satu prinsip dalam ajaran Jawa yang berarti “menang tanpa merendahkan.” Kemenangan sejati bukan hanya tentang mengalahkan orang lain, tetapi tentang mengalahkan ego dan hawa nafsu pribadi. Kemenangan tersebut dicapai tanpa membuat lawan merasa terhina atau terpuruk, sehingga menjaga keharmonisan sosial. Kemenangan dalam filosofi Jawa lebih dititikberatkan pada kebijaksanaan dan pengendalian diri, bukan sekadar prestasi fisik atau material.

Kedua Wirang: secara harfiah”Wirang” berarti malu, aib, atau kehinaan. Namun, wirang dalam filosofi Jawa lebih dari sekadar rasa malu yang biasa. Ini merujuk pada rasa malu yang dalam karena telah melanggar nilai-nilai moral, etika, dan kehormatan. Wirang dianggap sebagai bentuk kehinaan batin yang mempengaruhi harga diri seseorang secara mendalam. Dalam budaya Jawa, kehormatan dan rasa malu adalah aspek penting dari identitas sosial dan spiritual.

Filosofisnya, “wirang” adalah tanda bahwa seseorang telah menyimpang dari jalan yang benar, seperti berbohong, berkhianat, atau melakukan tindakan yang mencederai orang lain atau masyarakat. Orang yang mengalami wirang harus berusaha memperbaiki diri dan memulihkan harga dirinya dengan cara-cara yang jujur dan bermartabat.

Dalam kehidupan, seseorang bisa saja menang, tetapi jika kemenangan itu diperoleh melalui cara yang tidak jujur atau merugikan orang lain, maka dia akan dianggap wirang. Kemenangan yang diperoleh dengan melanggar norma dan etika sosial tidak dianggap sebagai kemenangan sejati, melainkan hanya akan membawa kehinaan. Sebaliknya, jika seseorang kalah dalam suatu hal, tetapi tetap menjaga kejujuran dan kehormatannya, dia tidak akan dianggap wirang.

Kesimpulannya, menang dan wirang terkait dengan keseimbangan antara prestasi lahiriah dan kebajikan batiniah. Kemenangan yang ideal adalah kemenangan yang diperoleh tanpa merusak kehormatan diri sendiri atau orang lain. Sebaliknya, meskipun secara lahiriah tampak menang, tetapi jika cara-cara yang digunakan tidak bermoral, seseorang akan jatuh dalam kehinaan atau wirang. Filosofi ini menekankan pentingnya integritas, kehormatan, dan kebijaksanaan dalam setiap aspek kehidupan.