Mencari Galih Kangkung

Guru Besar FKIP Unila, Prof. Dr. Sudjarwo
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di FKIP Unila

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata galih adalah teras kayu yang keras dan berwarna hitam karena tuanya. Berarti galih itu ada pada pohon yang memiliki batang keras seperti Pohon Asam, Pohon Jati dan lain sejenisnya. Oleh karena itu, akhir akhir ini arti kata galih itu telah bergeser yang memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga galih dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.

Urusan berikutnya biarkan para ahli Bahasa Indonesia yang menjelaskan, pertanyaan tersisa adalah, apakah kangkung memiliki galih ?. jawaban rasional Ilmu Pengetahuan secara tegas mengatakan tidak ada, karena batang kangkung itu berongga dan kosong, berisi sedikit udara dan air. Lalu mengapa justru menjadi persoalan ?. disinilah posisi filsafat hidup yang menjelaskan bahwa kangkung memiliki galih dalam kemustahilan.

Maksudnya adalah Galih itu dari kiasan kata” penggalih” dalam bahasa Jawa yang artinya perasaan. Hakekat yang dimaknai adalah inti dari hati dalam pengertian abstrak adalah perasaan. Setiap manusia kosong batang wadagnya dan berisi udara dan air itu, ada titipan Tuhan yang hakiki yaitu perasaan.
Perasaan inilah yang terkadang bisa menyesatkan manakala terbalik memaknainya dan memposisikannya. “Bisa merasa” dengan “Merasa Bisa” adalah kedua makna yang sangat jauh sekali perbedaannya dan sangat bertolak belakang. Bisa merasa adalah bentuk empaty kita terhadap pihak lain terhadap apa yang sedang dirasakan. Sementara merasa bisa adalah bentuk kesombongan diri atau kecongkaan diri terhadap suatu yang sebenarnya mustahil untuknya.

Pertanyaannya: bagaimana membangun diri yang “bisa merasa”? Caranya adalah, jadikan galihmu (hatimu) kosong seperti galih kangkung. Kosong bukan berarti mati. Jadikan galihmu (hatimu) hidup berdaya seperti galih kangkung yang dihidupi oleh air dan udara. Jawaban abstrak ini jika kita bumikan adalah menghidupkan hati dengan “Nur Ilahi” ; maka kita tidak akan terjebak dengan fatamorgana duniawi.

Kesesatan hati “merasa bisa”-lah yang selama ini membuat pekerjaan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi sibuk, Kepolisian menjadi terbebani, kejaksaan menjadi terberati; karena berhadapan dari perilaku manusia yang merasa bisa. Kemustahilan kemustahilan yang dipertontonkan membuat lembaga itu kerja keras, dan tidak jarang merekapun terkena imbas untuk juga ikut berperilaku mustahil.

Tontonan sosial yang sekarang sedang berlangsung, ada anggota Dewan terhormat yang semula sebagai Gubernur, ternyata karena merasa bisa segalanya selama ini; pada penghujung kariernya harus digiring kekamar berjeruji besi. Bahkan karena buaian merasa bisa, banyak warga masyarakat terperangah karena ternyata keberhasilan atau kesuksesan selama ini, ada sisi kelam yang disembunyikan dengan rapi, sebagai perilaku tidak terpuji sebagai pejabat negeri.

Bisa merasa dan merasa bisa inilah yang membedakan Pejabat dengan Penjahat; walaupun lompatan Pejabat menjadi Penjahat sangat mungkin terjadi, tetapi mustahil Penjahat jadi Pejabat. Karena kemustahilan inilah maka ada seorang Kepala Daerah yang bermetamorpose dari Penjahat ke Pejabat, merasa menyesal jika melihat pendapatannya, alih alih mensyukuri justru yang bersangkutan mengupat diri.

Bisa merasa ternyata dua diksi yang mudah mengucapkannya, tetapi sulit memaknai, apalagi untuk memberi arti. Karena bisa merasa itu berarti kita harus mampu menghadirkan sifat sifat ketuhanan dalam perilaku kita sehari hari. Sifat sifat dimaksud adalah sifat sifat mulia sebagai hamba yang dititahkan menjadi khalifah di muka bumi ini; oleh karena itu penampilan perilaku yang paradok, adalah bentuk pengingkaran terhadap sifat kekhalifaan yang dititahkan kepadanya. Bentuk tampilannya adalah kesesatan berfikir dengan merasa dirinya tuhan, sehingga terhadap semua apa yang menjadi keinginannya harus dapat diwujudkan sesegera mungkin, terlepas jalan yang ditempuh, atau metoda yang dipakai.

Mencari galihnya kangkung adalah kata kiasan yang meminta kita berfikir bahwa sesungguhnya manusia sering tersesat di jalan yang sesat karena disesatkan oleh pikirannya sendiri, semakin jauh kesesatan itu manakala hatinyapun turut menyeret pada kesesatan itu. Salah satu bentuk dari semua itu adalah mengingkari masa lampau sebagai proses menuju masa depan. Dengan kata lain apa yang kita temui hari ini adalah proses panjang dari apa yang pernah terjadi sebelumnya.

Kebersihan hati sebagai lambang kosongnya batang kangkung, dan sejuknya berfikir lambang air yang ada didalamnya, merupakan sanepo sempurna dari orang dahulu memagari generasi penerusnya dengan petuah yang tanpa upah. Tinggal bagaimana kita menemukenali nasehat nasehat tersembunyi itu dalam khasanah kehidupan masa lalu, untuk suluh menuju masa depan.***