Oyos Saroso H.N. | Teraslampung.com
Secara hukum, warga Talang 11 di Kabupaten Lampung Barat yang berdomisili di areal hutan produksi terbatas (HPT) termasuk dalam kategori perambah dan tidak mempunyai hak atas tanah yang mereka tempati. Namun, pemerintah daerah tidak mempunyai alternatif lahan ketika hukum mengharuskan warga Talang 11 berpindah dari areal HPT. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Lampung Barat melakukan pembinaan kepada warga Talang 11 dengan harapan kerusakan hutan akibat intervensi warga Talang 11 dapat dikurangi.
Konsekuensi menghuni areal hutan adalah adanya potensi konflik antara warga Talang 11 dengan satwa. Konflik harimau dengan ternak milik warga Talang 11 dan Talang Kalianda (satu cluster pemukiman penduduk dalam radius 4 km) pertama kali terekam pada tanggal 16 Desember 2005. Konflik ini berulang pada tanggal 15 Maret 2006, 26 Januari 2007, dan 5 Oktober 2007. Total 14 kambing, dan 1 ekor anjing diketemukan mati atau hilang menjadi korban pemangsaan harimau.
Estimasi kerugian yang diderita warga mencapai Rp4 juta rupiah, nilai yang cukup besar untuk daerah miskin. Meskipun masih banyak dijumpai babi hutan, ternak menjadi target serangan harimau yang mudah karena kemampuan mempertahankan diri hewan ternak lebih rendah dibanding satwa liar. Fenomena ini diperparah dengan tidak dikandangkannya ternak dalam kandang yang mampu menahan serangan harimau. Warga Talang 11 terbiasa meliarkan kambing dan sapi di areal terbuka untuk memenuhi kebutuhan makan ternak.
“Yang dikhawatirkan, kalau ternak penduduk sudah habis, nanti harimau itu juga akan memangsa manusia,” kata Dwi Nugroho Adhiasto, koordinator Wilflife Response Unit (WRU), sebuah lembaga untuk mengatasi konflik satwa liar dengan manusia yang dibentuk Wildlife Conservation Society (WCS).
Ronda dilakukan dengan sistem bergilir, dengan menggunakan peralatan sederhana seperti kentongan, bola-bola api yang siap untuk digunakan dalam kondisi darurat, serta sirine yang tujuannya untuk menghalau harimau menjauh dari kampung mereka.
WCS telah mengembangkan desain kandang ternak antiserangan harimau (tiger proof enclosure) yang prototipe-nya telah dicoba oleh tim proyek tiger WCS-IP sejak tahun 2005 di Ngaras, Lampung Barat. Kandang dengan desain khusus ini telah diuji coba di dua tempat; yaitu di Tebat Selebang di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan dan Talang Kalianda di Kabupaten Lampung Barat.
Sampai dengan Februari 2008, sebanyak 68 kandang (17 diantaranya di Talang 11) telah dibangun WRU bersama-sama dengan masyarakat. Hasilnya sangat memuaskan, tidak ada satu kandang pun yang dirusak oleh harimau. Ternak yang dimangsa harimau pun menurun drastis hingga lebih dari 50% di tiga lokasi pemasangan kandang. Hasil camera trap yang dilakukan oleh WRU (Wildlife Response Unit) selama 1 bulan penuh (26 Maret 2008 – 26 April 2008) menunjukkan keanekaragaman satwa yang cukup tinggi di Talang 11.
Dari empat kamera yang dipasang di areal kebun sawit milik perusahaan kelapa sawit KCMU, tercatat sekurangnya 9 jenis satwa hidup bebas di Talang 11. Yang mengejutkan, di antaranya adalah satwa dilindungi yang populasinya di alam diyakini mengalami tekanan perburuan dan perambahan yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), napu (Tragulus napu), kucing hutan (Felis bengalensis), dan landak raya (Hystrix bracyura).
WCS bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, BKSDA Lampung, dan Taman Nasional juga memasang rambu-rambu larangan perburuan mangsa harimau di sekitar Talang 11 untuk memastikan bahwa harimau mempunyai ketersediaan pakan yang cukup, tanpa harus menyerang ternak warga.
“Sampai dengan 2009, harimau masih tetap bertahan di Talang 11 dan warga dapat memelihara ternak dengan aman. Artinya, harimau dan manusia bisa berdampingan dengan damai,” kata Dwi Nugroho.