Menebar Harapan, Menuai Impian

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan

Mendekati waktu duhur tiba, tidak ada angin, tak ada gempa, tiba-tiba jam dinding  terjatuh dari tempatnya. Menurut ilmu klenik itu penanda dari Yang Maha Kuasa,  akan ada sesuatu yang tidak mengenakkan. Kita diminta waspada. Tentu saja sangat tidak rasional untuk dipercayai antara hubungan jatuhnya jam dinding dengan perjalanan nasib manusia. Namun, kepercayaan seperti itu masih hidup di tengah masyarakat kita, walaupun sudah berubah bentuk menjadi sesuatu yang bersifat mendekati seolah-olah nyata.

Sebagai contoh apa pun program yang kita susun selalu memiliki opsi harapan, dengan cara berpikir silogisme “jika, maka”. Oleh karena itu, banyak kita jumpai program yang tidak membumi, yang ada adalah menebar harapan, sehingga istilah harapan palsu, harapan hampa, sering menjadi buah bibir manakala semua harapan itu hanya mimpi. Ternyata cara berpikir klenik yang dimodernkan itu saat ini menjadi jalan logika nyeleneh yang terbangun d itengah masyarakat kita.

Sebentar lagi pemilu dan pilkada akan digelar. Banyak harapan ditebar ke semua penjuru, sehingga harapan itu menjadi mimpi semua orang akan sesuatu yang lebih baik di masa depan. Terlepas apakah itu rasional atau irasional, bukan menjadi titik tumpu perhelatan.

Apakah ada pelanggaran akan penebaran harapan untuk dituai dalam mimpi, ternyata tidak ada karena yang ada sesuatu itu dianggap pelanggaran jika menebar berita bohong. Walaupun kebohongan jika dikemas sedemikian rupa bisa menjadi harapan, dan harapan yang terusmenerus disiarharapkan, maka dia akan menjadi mimpi; bahkan mimpi itu bisa menjadi mimpi kolektif.

Persoalannya menjadi rumit manakala janji palsu yang dibungkus menjadi harapan palsu itu diberikan kepada mereka yang tidak paham, bahkan mungkin gagal paham, akan persoalan esensialnya. Akibatnya, tentu ini menjadi kekecewaan yang amat mendalam bagi yang terkena. Sebagai misal dapat kita simak pada waktu pemilihan pemimpin tertinggi di negeri ini beberapa tahun lalu: betapa orang sudah sangat siap dengan harapan dan mimpinya. Namun demi satu kata “keutuhan negeri”, maka semua selesai di dalam kereta api. Mimpi luka itu sampai sekarang di kalangan bawah masih membekas. Makanya mereka sekarang memiliki jurus baru yaitu jurus ”Jangan-jangan”.  Jangan-jangan seperti dulu lagi, jangan-jangan kita ditipu, jangan-jangan….

Bahasa generasi milenial peristiwa ini disebut sebagai PHP (pemberi harapan palsu).  PHP saat ini sedang banyak diolah oleh produsennya guna memenangkan calonnya. Kita sebagai pemilih harusnya lebih cerdas dalam menyikapi ini. Bagi orang awam, harapan-pun sudah cukup. Itu lebih baik daripada  tidak ada harapan sama sekali. Di sini akar masalah transaksional mulai merembes masuk ke relung hati yang pada waktunya akan berkata: ”dibayar berapa?”

Perusakan  sistem demokrasi yang kita bangun itu sebenarnya pada posisi ini sudah menunjukkan kerapuhan. Sayangnya, banyak para pengambil kebijakkan sering tidak menyadari akan kelemahan sistem yang dibangun, dengan kondisi yang sangat pluralis seperti ini. Akibatnya, setiap pemilihan apa pun itu namanya jumlah mereka yang apatis akan semakin tinggi, terutama masyarakat terdidik/ kelas menengah ke atas. Sebab, mereka paham betul akan mana janji konkret dan mana janji mimpi. Harapan tinggal ada pada mayarakat lampisan bawah yang jumlahnya memang cukup besar. Hanya saja,  mereka jadi rusak manakala janji pragmatisme menyeruak kepermukaan dan ditangkap mereka.

Melalui tulisan ini penulis hanya mampu mengimbau: mari jangan terlalu sering menebar harapan palsu.  Karena mimpi yang paling indah sekalipun manakala kita terbangun yang ada adalah kecewa.***