Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung.
Beberapa hari lalu ada sahabat yang datang ke ruangan kerja saya sambil berkeluh kesah.. Ia merasa dalam menjalani hidup ini sudah ada pada titik nadir. Semua usaha sudah dia lakukan, namun keadaan tidak semakin membaik. Jusstru sebaliknya, semua menjadi terpuruk. Ia curhat. Intinya, ia apa kesalahan dirinya sehingga harus menghadapi cerita hidup yang begitu tragis.
Saat diingatkan bahwa sebagai laki-laki tidak harus patah semangat, harus terus bangkit; ia menjawab “baiklah akan saya jalani perjalanan ini sampai mana ujungnya”. Tak lama kemudian ia pun pamit.
Dalam hidup, tidak semua hal berjalan sesuai dengan keinginan kita. Ada kalanya kenyataan tak sejalan dengan harapan, dan impian yang telah disusun rapi harus hancur begitu saja oleh keadaan yang tidak dapat kita kendalikan. Di sinilah pentingnya sikap menerima keadaan tanpa menyalahkan keadaan. Menerima bukan berarti menyerah, dan tidak menyalahkan bukan berarti menafikan penderitaan. Ini adalah bentuk kedewasaan emosional dan spiritual yang menuntut ketabahan hati, kejernihan pikiran, dan kerendahan hati untuk berdamai dengan hidup yang tidak sempurna.
Perlu dipahami bahwa menerima itu bukan berarti pasrah, tetapi itu adalah bijaksana. Banyak orang keliru memaknai “menerima” sebagai bentuk kepasrahan total yang identik dengan menyerah. Padahal, menerima keadaan lebih dekat dengan sikap bijaksana dalam menyikapi kenyataan. Ia adalah proses memahami bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan oleh manusia, dan ada bagian dari hidup yang berada di luar jangkauan kehendak. Misalnya, kehilangan orang tercinta, kegagalan dalam usaha, atau terjebak dalam situasi ekonomi yang sulit, konflik keluarga yang berkepanjangan, dan masih banyak lagi. Dalam situasi seperti ini, menyalahkan keadaan hanya akan memperparah penderitaan yang sudah ada.
Sikap menerima mengajarkan seseorang untuk tidak tenggelam dalam rasa marah dan kecewa yang berlebihan. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk menyadari bahwa setiap masalah pasti membawa pelajaran. Orang yang bisa menerima kenyataan akan lebih mudah bangkit dan menata ulang kehidupannya. Ia tidak menunggu keadaan berubah dulu baru merasa tenang, melainkan menemukan ketenangan di tengah keadaan itu sendiri.
Menyalahkan keadaan adalah sikap yang melelahkan dan tidak produktif; sebab ketika seseorang menyalahkan keadaan, secara tidak langsung ia melepaskan tanggung jawab atas hidupnya. Ia akan mencari kambing hitam di luar dirinya—keadaan ekonomi, pemerintah, orang tua, bahkan takdir. Ini mungkin terasa melegakan sesaat, tetapi dalam jangka panjang justru melemahkan daya juang. Menyalahkan keadaan membuat seseorang merasa sebagai korban yang tak berdaya, dan ini akan menghambat proses pertumbuhan dirinya.
Selain itu, menyalahkan keadaan tidak mengubah apa pun. Situasi tetap sama, hanya emosional kita yang terkuras habis. Energi yang seharusnya bisa digunakan untuk mencari solusi malah dihabiskan untuk mengeluh dan merasa tidak adil. Padahal, dalam banyak kasus, keadaan buruk pun bisa diubah atau setidaknya disikapi dengan cara yang lebih bijak.
Perjuangan hidup itu adalah hasil akhir dari bertemunya usaha dan takdir; oleh karena itu salah satu alasan penting mengapa kita harus belajar menerima tanpa menyalahkan adalah karena hidup selalu merupakan gabungan antara usaha dan takdir. Usaha berada dalam kendali manusia, tetapi hasil akhirnya tidak sepenuhnya bisa dikendalikan.
Seorang petani bisa bekerja keras mencangkul ladang, menanam benih, dan merawat tanaman dengan tekun, tetapi ia tidak bisa menjamin hasil panennya sempurna. Hujan, hama, atau bencana bisa saja datang. Menyalahkan alam atau musim tidak akan menyelesaikan apa pun. Yang bisa dilakukan adalah mengelola ulang strategi dan tetap bersyukur atas apa yang masih bisa diselamatkan.
Dalam sudut pandang spiritual, menerima keadaan tanpa menyalahkan juga merupakan bentuk keimanan. Ia adalah pengakuan bahwa ada kekuatan yang lebih besar daripada manusia, dan bahwa tidak semua yang kita anggap buruk benar-benar buruk dalam jangka panjang. Ada rencana yang lebih besar yang mungkin belum kita pahami saat ini.
Banyak tokoh besar dalam sejarah menunjukkan sikap menerima keadaan tanpa menyalahkan. Nelson Mandela, misalnya, dipenjara selama 27 tahun dalam perjuangannya melawan apartheid di Afrika Selatan. Ia tidak menyalahkan takdir atau terjebak dalam amarah. Sebaliknya, ia menggunakan masa tahanannya untuk merenung, belajar, dan menguatkan diri. Setelah dibebaskan, ia memilih jalan rekonsiliasi, bukan balas dendam. Inilah contoh kekuatan hati dalam menerima kenyataan tanpa menyalahkan. Buya HAMKA justru saat dipenjara dapat menyelesaikan tulisan besarnya tentang Alquran.
Di kehidupan sehari-hari, kita juga bisa melihat orang-orang yang meski hidupnya tidak mudah, tetap menjalani hari dengan semangat dan senyum. Mereka bukan tidak sadar akan kesulitannya, tetapi mereka memilih untuk fokus pada apa yang bisa dikendalikan. Menerima keadaan bukan hal yang datang begitu saja, akan tetapi memerlukan kesadaran diri untuk selalu berlatih.
Pada akhirnya, hidup bukan tentang menghindari badai, tetapi belajar menari di tengah hujan. Menerima keadaan tanpa menyalahkan keadaan bukanlah bentuk kelemahan, melainkan kekuatan. Ini adalah bukti bahwa seseorang telah cukup dewasa untuk hidup dengan realitas, bukan dengan ilusi.
Kita mungkin tidak bisa memilih peristiwa yang terjadi dalam hidup, tetapi kita bisa memilih cara menyikapinya. Dan dalam pilihan itulah, kebahagiaan sejati, ketenangan batin, dan makna hidup ditemukan. Sebab mereka yang bisa menerima tanpa menyalahkan adalah mereka yang mampu berdamai dengan dirinya sendiri—dan itu adalah kebebasan yang sejati.