Mengalir Sampai Jauh

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Pensiunan Guru Besar Pascasarjana FKIP Unila

Sudjarwo
Pensiunan Guru Besar Pascasarjana FKIP Unila

Beberapa hari lalu seorang jurnalis  mengirimkan tautan video berita dengan keterangan “Mengalir sampai jauh”. Kalimat itu  mengingatkan penulis pada lagu legendaris berjudul “Bengawan Solo” karya Gesang.  Lagu yang diciptakan Gesang pada 1940 saat ia berusia 23 tahun itu menceritakan tentang aliran Sungai Bengawan Solo. Selain terkenal di Indonesia, lagu ini merupakan lagu yang terkenal di seluruh Asia semenjak diperkenalkan oleh para tentara Jepang. Sejak saat itu, Bengawan Solo menjadi lagu favorit di Jepang yang dinyanyikan oleh banyak musisi Jepang. Selain dinyanyikan dalam bahasa Jepang, lagu Bengawan Solo juga dinyanyikan dalam bahasa lain. Antara lain Inggris, Belanda, Tionghoa, Korea, Swedia, Polandia, Rusia, Vietnam dan Khmer.

“Mengalir sampai jauh” kini tidak saja terkait dengan lagu ciptaan Gesang. Kalimat itu kini juga menjadi tafsir baru bagi  hasil kejahatan korupsi yang berangka triliunan rupiah yang diduga tidak cuma dinikmati pelaku utama yang kini jadi tersangka, tetapi jua mengalir ke sejumla pihak. Banyak yang mendua termasuk ke partai.  Bila masa lalu kejahatan korupsi dilakukan oleh individu untuk kepentingan individu dengan nilai berdigit duabelas, sekarang menjadi  kejahatan korporasi dengan angka digit tak terhingga. Bisa dibayangkan bagaimana “rakus”-nya cara itu dilakukan, karena melampaui unsur kemanusiaan yang selama ini diyakini sebagai benteng terakhir. Selama ini partai dianggap sebagai organisasi yang bermesin manusia-manusia pilihan dalam masyarakat. Kalau dugaan itu benar, maka tidak salah jika Bung Karno pernah berucap bahwa negeri ini sebenarnya mulai rusak setelah ada partai politik. Walaupun asumsi ini tidak seluruhnya benar, namun pada batas-batas tertentu tampaknya patut “diamini”.

Tampaknya kita sekarang perlu pemimpin yang memiliki kemauan politik tinggi untuk penyelamatan negeri. Jika tidak segera ditangani, maka sudah dipastikan negeri ini akan karam. Kini begitu menggilanya korupsi. Tidak ada satu alur pun kehidupan di negeri ini yang bebas dari korupsi.

Sayangnya, para koruptor justru makin nyaman karena merasa dilindungi oleh sistem yang ada. Pidana yang ditimpahkan kebanyakan sangat ringan. Apa lagi jika persidangan itu dilakukan di daerah. Seolah keputusan sudah diatur sedemikian sistimatis agar pada akhirnya tetap menguntungkan  para koruptor. Belum lagi perlakuan istimewa pada mereka yang sudah ada di penjara. Semua seolah menjadi seperi  aliran Bengawan Solo yang  makin jauh mengalirkan airnya. Sementara itu teknik mengalirkan air semakin jauh, tentu dengan teknik yang makin canggih dan bersistem; sehingga jika dilihat sekilas semua tampak baik-baik saja, walaupun sejatinya sangat sangat berbanding terbalik.

Jika kita cermati, saat ini tampak sekali yang menyatakan diri menjadi calon pemimpin negeri ini menunjukkan perilaku saling tikam antarmereka di muka rakyat sebagai pemilih. Baik itu yang dilakukan oleh pribadi atau mesin politiknya yang sudah dibayar, semua menunjukkan perilaku “sangar”. Tidak ada yang memiliki jargon menyejukkan untuk membangun negeri secara bersama. Padahal orang bijak pernah berpesan “beda pilihan itu wajar, yang tidak wajar adalah saling hina dan saling fitnah dengan pilihan orang lain”. Peringatan itu disambung oleh orang bijak lain yang mengatakan “Kita ini anak bangsa, bukan anak belis”.

Kita saling sibuk berfinah ria. Ternyata tetangga belakang rumah sibuk korupsi karena luput dari perhatian. Hebatnya lagi hasil korupsinya itu digunakan untuk memperuncing perfitnahan yang sedang kita bangun. Kalau sudah seperti ini siapa yang waras di antara kita; menjadi sulit ditemukan karena jurinya pun sudah tidak waras lagi.