Oleh Syarief Makhya*
Pertanyaan judul di atas layak untuk dijawab secara akademis karena perguruan tinggi (PT) dalam masyarakat sering diberi label sebagai tempat mengajarkan nilai moral atau etik, menghasilkan lulusan sarjana yang notabene dicap sebagai masyarakat terdidik, calon pemimpin bangsa, agen perubahan, dan label-label lain yang melekat nilai-nilai moral, namun dalam realitasnya jebol juga; PT tak jauh beda dengan departemen kementrian, Pemda, anggota dewan dan institusi negara lainnya yang dicitrakan korup dan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Idealnya lembaga seperti PT, Kementrian Agama, Kementrian Kehakiman, dan Kementrian lain bisa memberi contoh moral sebagai institusi atau kementrian yang bebas dari penyalahgunaan wewenang dan korup. Perguruan tinggi semestinya menjadi institusi yang turut serta dalam pemberantasan korupsi karena Kemendikbud Ristek sedang mendorong perguruan tinggi menjadi zona berintegritas, bebas dari korupsi; perannya diharapkan punya integritas, tapi justru jadi pelaku korupsi itu sendiri.
Dalam catatan ICW korupsi di perguruan tinggi tercatat sedikitnya ada 37 kasus korupsi yang terkait dengan perguruan tinggi. Tren korupsi di perguruan tinggi cenderung semakin meningkat, bukannya menurun.
Beberapa bentuk korupsi dalam catatan ICW di PT antara lain korupsi pengadaan barang dan jasa, korupsi dana penelitian dan dana beasiswa mahasiswa, korupsi pemotongan besaran beasiswa atau pengambilalihan seluruh atau sebagian dana beasiswa, praktek suap atau “jual beli” nilai. Selain itu, suap dalam pemilihan pejabat di internal perguruan tinggi, korupsi penjualan aset milik perguruan tinggi, dan korupsi dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa, suap terkait akreditasi dan akhir-akhir ini suap dalam penerimaan mahasiswa baru di program studi favorit antara lain di PS kedokteran.
Khusus kasus suap yang terjadi dalam penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran Unila melalui jalur mandiri menjadi isu nasional karena rektornya kena OTT. Kejadian ini memberi citra buruk dan mencoreng nama baik Unila yang selama ini berhasil menjadi 10 PT terbaik di Indonesia.
Lalu, penghapusan penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri dijadikan opsi agar tidak terjadi lagi suap, namun usulan ini kandas karena beberapa rektor di PT ingin tetap ingin mempertahankan jalur mandiri; kasus OTT Rektor Unila tidak bisa digeneralisasikan, karena di setiap kampus masalahnya berbeda-beda.
Oleh karena itu, harus dicari penyebab timbulnya korupsi di PT khususnya dalam kasus penerimaan mahasiswa baru di PS kedokteran atau PS favorit lainnya. Bagaimana jalur mandiri bisa terhindar dari persoalan suap, objektif dan memperoleh kepercayaan lagi dari masyarakat ? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dari perspektif relasi kekuasaan di lingkungan PT.
Penumpukan Kewweenangan dan Hilangnya Kebebasan
Situasi kampus saat ini berbeda dengan era 15 tahun kebelakang yaitu relasi kekuasaan antara dosen dan mahasiswa dengan pejabat struktural PT di era sekarang cenderung tidak bisa dikontrol. Kewenangan terpusat ada di tangan rektor dan anggota senat juga tidak lagi bisa mengontrol karena hanya berfungsi sebagai senat akademik.
Pemusatan kewenangan di tangan rektor, adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan adanya intervensi mentri dalam pilrek sebesar 35% atau riilnya sejumlah 53% suara mentri. Konsekuensinya kekuasaan rektor menjadi sangat kuat karena selalau berlindung dibalik kekuasaan menteri. Dampaknya, sang rektor akan ambai terhadap kontrol baik yang dilakukan dosen dan mahasiswa. Sejumlah aksi ujuk rasa yang dilakukan mahasiswa tidak akan merubah subtansi kebijakan yang dikeluarkan rektor. Belakangan ini dosen dan mahasiswa cenderung bersikap diam, bungkam, bahkan dihantui rasa takut untuk mengkritik, menyampaikan pendapat atau berbeda pandangan dengan kebijakan rektor.
Kebijakan dan progran rektor cenderung dipersepsikan oleh kepentingan rektor sendiri. Dalam rapim tidak muncul perdebatan untuk memutuskan kebijakan-kebijakan strategis, semua diputusakan melalui dominasi kewenangan yang melekat di tangan rektor.
Dalam kasus suap penerimaan mahasiswa baru di FK Unila, adalah cerminan relasi kekuasaan yang timpang antara rektor dengan civitas akademika. Persoalan terjadinya OTT Rektor Unila, bukan semata-mata karena merosotnya moralitas personalnya, tetapi siapapun yang menjadi rektor, ketika kewenangan yang dimilikinya tidak bisa dikontrol maka potensi penyelahgunaan kewenangan akan selalu terbuka.
Bangkit ?
Kemorosotan moral di PT bukan persoalan personal semata, tetapi ada sistem kekuasaan di PT yang mengkondisikan hilangnya sikap kritis dan lenyapnya sistem pengawasan yang efektif. Ke depan dalan waktu mungkin cukup lama, sistem kekuasaan di PT akan tetap bertahan seperti sekarang ini, korup, tidak bisa diawasi, dan menguntungkan segilintir orang.
Jadi, saatnya dengan segala keterbatasan, mahasiswa dan dosen tidak boleh diam, tidak boleh takut dalam menghadapi sistem yang korup, dan manfaatkan media sosial untuk menginformasikan kebobrokan kampus. Bentuk kelompok-kelompok kritis di lingkungan dosen dan mahasiswa, diskusikan masalah-masalah internal dan eksternal kampus dan perjuangkan bersama melalui kolaborasi dengan kekuatan masyarakat sipil yang peduli dengan masa depan kampus yang bebas dari persoalan korupsi. ***
*Dr. Syarief Makhya adalah dosen FISIP Universitas Lampung