Opini  

Mengatasi Masalah Banjir di Kota Bandarlampung

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Gunawan Handoko *

JANGAN salahkan hujan yang turun. Air sesungguhnya merupakan rahmat Tuhan, tapi karena tidak dikelola dengan baik, nikmat Tuhan itu justru sering menimbulkan masalah seperti bencana banjir, tanah longsor, erosi dan bencana lainnya. Ada pesan arif dari para pemerhati lingkungan sejak ratusan tahun lalu, jauh sebelum lingkungan benar-benar mengalami kehancuran: “Manakala sawah dan rawa tidak lagi berfungsi sebagai pengendali air, gunung dan bukit tidak lagi ditumbuhi pepohonan, dan tanah daratan berubah dengan rumah serta bangunan beton dan kaca, maka sesungguhnya kita sedang menuju pada kehancuran lingkungan”.

Yang kita saksikan selama ini? Saat musim hujan selalu terjadi banjir dan saat kemarau menderita kekurangan air. Semua ini terjadi karena manusia tidak mampu untuk mengelola air dengan baik. Hampir seluruh wilayah perkotaan tidak mampu untuk keluar dari bencana ini, tidak terkecuali Jakarta sebagai kota metropolitan. Bahkan Jakarta telah mendapat julukan sebagai kota pelanggan banjir.

Pemerintah DKI Jakarta seolah tidak berdaya dalam mengatasi bencana yang satu ini, meski setiap menjelang pemilihan Gubernur para kandidat selalu obral janji untuk mengatasi banjir di Ibukota. Masalah banjir serahkan pada ahlinya, begitu bunyi puluhan ribu spanduk untuk meyakinkan masyarakat, meski tidak pernah terbukti.

Kita semua sadar bahwa bencana banjir yang terjadi di wilayah perkotaan sungguh sangat merugikan. Selain bisa melumpuhkan roda perekonomian, kerugian materi yang diderita masyarakat kota pun sangat tinggi di banding kerugian yang dialami masyarakat di perdesaan. Bencana banjir benar-benar menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat kota. Kita tidak perlu lagi memperdebatkan tentang tinjauan teologi, apakah bencana tersebut sebuah ujian, cobaan, peringatan, azab atau apapun namanya. Tinjauan tentang teologi tersebut berpulang kepada diri kita masing-masing.

Bagaimana dengan bencana banjir di kota Bandarlampung? Kita tidak menutup mata bahwa selama ini Pemerintah Kota Bandarlampung telah berupaya untuk mengatasi persoalan banjir dengan melakukan pengerukan sedimen pada drainase kota yang dibarengi dengan penataan trotoar di berbagai tempat terus dilakukan.

Namun demikian, belum mampu mengusir banjir dari kota Bandar Lampung. Pasalnya, banyak di antara bangunan drainase kota yang sudah tertutup dengan plat beton sehingga sulit untuk dilakukan pemeliharaan maupun rehabilitasi. Ditambah lagi pihak Pemerintah telah kehilangan jejak mengenai bangunan drainase yang ada, baik yang pernah dibangun oleh Pemerintah maupun masyarakat atau pengusaha. Maka, menjadi sulit untuk mendeteksi apakah drainase tersebut masih dapat berfungsi untuk menerima limpahan air atau justru sebaliknya, menghambat arus air. Langkah darurat yang dilakukan selama ini adalah hanya membuat sodetan-sodetan ditempat yang sedang terjadi banjir. Langkah darurat ini hanya mampu untuk mengurangi genangan air yang biasa terjadi di jalan-jalan protokol, sementara banjir yang ada ditengah-tengah wilayah permukiman tidak berkurang.

Ini sesungguhnya yang harus dicarikan solusinya sekarang. Jika kota ini ingin terbebas banjir, maka perlu adanya grand desain terhadap sistem drainase kota. Jika Pemkot Bandar Lampung tidak berani melakukannya dengan alasan biaya, maka selamanya kota ini akan selalu dilanda banjir. Lupakan dulu rencana untuk membangun infrastruktur lain seperti fly over, underpass dan lainnya sebelum sistem drainasenya berfungsi baik. Nyatanya, meski fly over telah selesai dibangun, toh kemacetan lalulintas masih terjadi akibat lokasi sekitar terjadi banjir. Langkah lain adalah dengan membangun sumur resapan di wilayah pemukiman. Selain bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam meresap air hujan, sekaligus untuk menghindari bencana kekeringan di musim kemarau.

Dengan adanya sumur resapan, air hujan akan ditampung dan diresapkan ke dalam tanah sehingga dapat mengurangi aliran permukaan atau run off dan memperbaiki permukaan tanah sekaligus untuk menekan laju erosi. Dengan demikian diharapkan drainase yang ada tidak sekedar untuk membebaskan suatu wilayah dari serangan banjir, namun juga berfungsi untuk mengatasi pencemaran air tanah. Inilah yang dinamakan sistem drainase berwawasan lingkungan untuk pengendalian air, baik dalam mengatasi banjir maupun kekeringan di musim kemarau.

Diakui memang, sumur resapan tidak akan berarti bila hanya beberapa penduduk saja yang menerapkannya. Perlu adanya program gerakan massal pelestarian air dengan sumur resapan melalui pendekatan sosial kemasyarakatan dan budaya masyarakat setempat. Meski kesannya tidak modern, namun sesungguhnya pembangunan sumur resapan ini akan mampu menjawab persoalan besar yang selama ini belum terselesaikan.

Belajar dari pengalaman yang selama ini dilaksanakan dengan berbagai keberhasilan dan kekurangan yang ada, dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah banjir di Bandarlampung tidak cukup hanya mengandalkan upaya yang bersifat fisik atau struktur saja sebagaimana yang selama ini dilakukan, namun harus menggabungkan antara upaya struktur dengan nonstruktur. Keangkuhan terhadap alam dengan unjuk gelar merubah wajah kota menjadi hutan beton dan kaca hanya akan membuahkan malapetaka yang pada akhirnya harus dibayar mahal, bahkan sangat mahal.

Semoga bencana banjir yang selalu hadir di kota Bandar Lampung ini akan menyadarkan kita semua yang telah lalai didalam bersahabat dengan alam semesta. Masyarakat sebagai pemilik sah kota ini harus ikut mengawal agar pembangunan yang berlangsung tetap berwawasan lingkungan.

* Gunawan Handoko, Tenaga Penyuluh Masyarakat (TPM) Bidang Permukiman Tingkat Nasional II, tinggal di Bandar Lampung