Mengelap Wajah dengan Konferensi Pers dan Rilis

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Oyos Saroso H.N.*

Jaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, (berinisial ANA), kini menjadi sorotan publik setelah kasus dugaan intimidasi terhadap jurnalis Suara.com (Suaralampung.id), Ahmad Amri, mencuat ke publik. Meskipun Kejati Lampung menggelar konferensi pers dan membagikan rilis berisi bantahan telah terjadi intimidasi terhadap wartawan Suara.com, kasus yang menjadi pemicu dugaan kasus intimidasi tidaklah hilang begitu saja.

Kasus dugaan intimidasi terhadap wartawan dipicu oleh dugaan kasus jual beli perkara yang sedang disidangkan di pengadilan. Kasus ini muncul ke publik setelah ada perempuan yang memberikan informasi kepada wartawan terkait dugaan jual beli perkara. Perempuan tersebut, seorang istri yang suaminya sedang berperkara di pengadilan, mengaku memberikan uang kepada ANA agar suaminya mendapatkan hukuman ringan. Ia mengungkapkan soal uang yang diberikan kepada sang jaksa karena hukuman terhadap suaminya menurutnya tetap sama dengan tuntutan sebelumnya.

Untuk menindaklanjuti informasi agar menjadi berita yang layak muat dan tidak sepihak, maka si wartawan melakukan konfirmasi. Ironisnya, upaya konfirmasi tersebut justru berujung pada (dugaan) intimidasi. Sang jaksa mengatakan kepada wartawan tersebut bahwa pesan singkat yang dikirimkannya hasil tangkapan layarnya (screenshoot) sudah bisa dipakai untuk melaporkannya ke polisi dengan jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam konferensi pers yang digelar Kejati Lampung pada Jumat (22/10/2021), Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Lampung, I Made Agus Putra, membantah dugaan penerimaan uang yang dilakukan jaksa ANA  dari keluarga berperkara tersebut. Menurut Made, pihaknya melakukan konferensi pers  karena  untuk menyelesaikan permasalahan demi pemberitaan yang berimbang.

“Dugaan penerimaan uang Itu tidak benar, dan sudah dikroscek mengenai hal itu,”kata Made.

Made mengatakan, apa yang terjadi itu adalah selisih paham antara jaksa ANA dengan jurnalis, Amri.

“Kami sangat menyayangkan, kenapa tidak ada konfirmasi ke saya terlebih dulu. Karena itulah, ini kita hadirkan keduanya yakni jaksa ANA dan jurnalis, Amri untuk bisa menyelesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan,” kata Made.

Dalam konferensi pers tersebut, jaksa ANA memberikan klarifikasi kepada awak media terkait dugaan pemberian uang yang ditujukan untuk menurunkan hukuman pidana pada salah satu perkara kasus illegal loging seperti dalam berita.

ANA juga membantah tudingan ia menerima uang dari pihak yang berperkara. Ia juga mengklaim bahwa dirinya tidak mengintimidasi jurnalis Suara.com, Ahmad Amri dan mengarahkan adanya ancaman pelanggaran UU ITE.

Menurutnya, terkait dugaan ancaman dengan UU ITE, kata jaksa ANA, karena dirinya memang mau ke Polda Lampung untuk mengurus perkara UU ITE.

“Tidak benar itu, dan saya minta maaf itu hanya miskomunikasi. Perkara yang ditanyakan Amri, saya tidak mengerti perkara apa dan saya jadi bingung. Jadi informasi yang didapat Amri dari siapa, panggil orangnya, buat rekaman, buat konferensi pers dan laporkan kalau jelas sumber informasinya,” katanya.

Terkait dugaan terima uang transfer, jaksa ANA pun membantah bahwa dirinya tidak menerima. Kalau memang informasi itu valid dan ada bukti, Ia mempersilahkan untuk melaporkan dirinya baik di internal kejaksaan maupun pihak lain.

“Kalau jelas informasi itu, silakan laporkan saya dan jangan memojokkan saya sudah ditransfer uang Rp 30 juta untuk mengurus perkara. Perkara yang mana, orangnya mana. Jangan men-justice saya. Jadi seolah-olah saya terpojok menerima transfer Rp 30 juta,”tandasnya.

Tak Perlu Marah Dikonfirmasi

Sampai di sini sebenarnya masalahnya sudah agak terang. Namun, masih ada hal yang harus diperjelas agar semuanya benderang dan menjadi pelajaran pada masa mendatang. Soal konfirmasi yang dilakukan oleh Amri, misalnya, itu memang prosedur standar seorang wartawan ketika menulis berita. Apa lagi berita tersebut menyangkut sebuah kasus.

Mestinya, ketika seseorang berterima kasih ketika dikonfirmasi wartawan terkait berita yang menyangkut dirinya. Jawaban terhadap konfirmasi itu bukan hanya berita menjadi berimbang, tetapi pada titik tertentu menguntungkan pihak yang dikonfirmasi. Sebab, ia kan bisa membantah isi informasi tersebut.

Dalam kasus ini, sekilas terlihat bahwa jaksa ANA sudah lebih dulu marah atau setidaknya kurang berkenan dengan pertanyaan wartawan. Menyebut screenshoot bisa menjadi bahan melaporkan wartawan  ke polisi dengan jerat pasal UU ITE, tentu bukanlah main-main. Kalau itu benar disampaikan jaksa ANA, hal tersebut sudah termasuk ancaman. Setidaknya ‘ngegas’ agar wartawan surut langkah.

Konyolnya, dari konferensi pers yang digelar Kejati Lampung pada Jumat (22/10/2021) dan rilis yang dibagikan Kejati Lampung tampak sekali bahwa Kejati Lampung hendak menyatakan bahwa kasus dugaan jual beli perkara itu tidak ada, kasus intimidasi terhadap wartawan itu tidak ada, dan wartawan salah karena menulis berita yang tidak benar terkait dugaan kasus jual beli perkara yang melibatkan jaksa ANA. Padahal, Amri dan suaralampung.id belum menulis berita soal kasus jual beli perkara tersebut.

Maka, menjadi aneh ketika Kasipenkum Kejati Lampung menyatakan bahwa pihaknya melakukan konferensi pers  karena  untuk menyelesaikan permasalahan demi pemberitaan yang berimbang. Aneh pula ketika jaksa ANA mengatakan “…. jangan memojokkan saya sudah ditransfer uang Rp 30 juta untuk mengurus perkara. Perkara yang mana? Orangnya mana? Jangan men-justice saya. Jadi seolah-olah saya terpojok menerima transfer Rp 30 juta.”

Pada Sabtu (23/10/2021) dan Minggu (23/10/2021), saya sudah mencoba menelusuri berita di Suara.com (dan suaralampung.id) soal berita jual beli perkara terkait kasus illegal logging yang diduga melibatan jaksa ANA. Hasilnya: nol. Tidak ada berita di Suara.com (suaralampung.id) tentang berita tersebut.

Saya juga sudah melakukan ‘Googling’ dengan kata kunci “jual beli perkara oknum jaksa kejaksaan tinggi lampung” dan “jual beli perkara kasus ileggal logging di lampung”. Hasilnya juga zonk. Artinya, berita memang belum ditulis. Wartawan Suara.com di Lampung (suaralampung.id) justru baru akan menulis berita tersebut dan sedang berusaha melakukan konfirmasi. Namun, karena konfirmasi gagal dan justru menyebabkan kasus baru, kini publik justru menjadi tahu ada dugaan jual beli kasus yang diduga melibatkan oknum jaksa Kejati Lampung.

Sebagai lembaga pemerintah, mestinya ‘anak kasus’ seperti ini tidak perlu terjadi seandainya semua jaksa dan petinggi Kejati Lampung paham prosedur standar seorang wartawan. Mereka kapan saja bisa menggelar konferensi pers dan bertemu dengan para wartawan, tetapi ironisnya soal konfirmasi tidak dipahami dengan baik. Konfirmasi dianggap sebagai tuduhan.

Kasus ini bisa menjadi pelajaran bersama bahwa konferensi pers dan rilis seyogianya tidak sekadar menjadi alat untuk mengelap wajah agar selalu bersih tanpa cela sembari mempromosikan bahwa diri kita banyak prestasi.****

*Oyos Saroso HN, ahli pers Dewan Pers dan Pemred Teraslampung.com. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi