Opini  

Menggagas Angkutan Batu Bara, Menggusur KA Babaranjang dari Kota Bandarlampung

Bagikan/Suka/Tweet:

Pengantar Redaksi:Pada Jumat, 26 Februari 2016 digelar diskusi bertajuk “Menggagas Angkutan Batu Bara, Menggusur KA Babaranjang dari Kota Bandarlampung”, di  Kantor Perwakilan DPD RI – Lampung. Hadir dalam diskusi tersebut antara anggota DPD RI Andi Surya, pengamat perkotaan dan permukiman Gunawan Handoko, pengusaha Ginta Wiryasanjaya, pengacara Wahrul Fauzi Silalahi, aktivis Heri CH Burmeli, Rakhmat Husein,, dan lain-lain.  Pada akhir diskusi disepakati untuk membentuk Forum dengan nama Forum Masyarakat Anti Babaranjang (Format Bara), Gunawan Handoko ditunjuk sebagai ketua Presidium, dibantu oleh Heri CH Burmeli, LBH Bandar Lampung dan beberapa tokoh gerakan lain. Berikut ini tanggapan Gunawan Handoko terkait tema diskusi tersebut.

Pemerintah Kota Bandarlampung sampai saat ini masih mencari solusi untuk mengurai kemacetan lalulintas. Selain akan melanjutkan pembangunan jalan layang atau fly over,  Pemkot Bandarlampung juga berwacana untuk membangun jalan lingkar atau Ring Road sebagai upaya mengatasi kemacetan tersebut.

Sebagai bagian dari warga Kota Bandarlampung, saya dan tentu saja warga masyarakat yang lain memiliki tanggungjawab moral dan berperan aktif untuk memberi kontribusi pemikiran kepada Pemkot. Masalah kemacetan bukan hanya tanggungjawab Walikota/Wakil Walikota, tapi tanggungjawab bersama.

Perlu disadari bahwa pembangunan fly over merupakan program jangka pendek mengingat pembangunan fly over bukan satu-satunya alternatif untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Untuk jangka pendek kemacetan mungkin akan berkurang setelah fly over itu selesai dibangun. Tapi saya yakin dalam kurun waktu 5 tahun saja kemacetan akan kembali terjadi, karena pertumbuhan kendaraan pribadi akan meningkat pesat.

Selain itu, keberadaan fly over juga berdampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan. Dampak negatif yang paling berpengaruh untuk radius 0-25 meter adalah polusi udara, sedangkan radius 26-50 meter adalah dampak kebisingan dan getaran terhadap gangguan tidur. Dan yang paling dikhawatirkan, pada radius 51-75 meter adalah terganggunya kesehatan akibat polusi udara.

Jalan lingkar atau ring road diyakini akan mampu mengatasi kemacetan, meski untuk mewujudkannya butuh waktu yang panjang serta dana yang tidak sedikit.

Alternatif lain adalah membangun Jalan Baru di Jalur Tengah, untuk mengurai kemacetan yang terjadi di sepanjang Jalan ZA. Pagar Alam – Jalan Teuku Umar sampai kota Tanjungkarang, dengan memanfaatkan jalur kereta api dari Stasiun KA Labuhan Ratu ke Tanjungkarang. Sementara jalur kereta api Babaranjang dipindahkan ke luar kota, sehingga tidak menambah kemacetan.
Keberadaan kereta api Babaranjang punya andil besar dalam menciptakan kemacetan selama ini, sementara kontribusi untuk Pemkot Bandarlampung tidak ada.

Pertimbangannya, kalaupun pihak Pemkot Bandarlampung harus mengeluarkan biaya ganti rugi terhadap tanah, tanam tumbuh dan bangunan, nilainya relatif kecil, mengingat sebagian besar lahan yang akan terkena pembangunan jalan merupakan tanah milik negara. Rasanya sudah tidak layak lagi ada jalur kereta api yang membelah kota, sementara kendaraan truk dan bus saja dilarang masuk kota.