Mengganti Tuhan

Bagikan/Suka/Tweet:

Sunardian Wirodono

KTP Tuhan (ilustrasi/kompas.com)

Akhirnya, kekhawatiran saya pun terjadi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengimbau agar warga Kabupaten Banyuwangi yang bernama “Tuhan” mengganti namanya. Paling tidak, menurut MUI, pria berusia 42 tahun itu perlu menambah nama di awal atau di akhir namanya agar tidak mengandung penafsiran yang salah.

Menurut Ketua MUI Jawa Timur, KH Abdusshomad Bukhori, nama Tuhan dinilai kurang baik secara etika agama. “Ditambah saja, atau lebih baik diganti. Sebagai hamba, nama itu melanggar etika,” katanya, Senin (24/8/2015). Nama ternyata bisa melanggar etika. Bukan kelakuan.
Abdusshomad bahkan meminta petugas pencatatan sipil untuk menarik kartu identitas, agar pemilik nama itu untuk sementara tidak dapat mengakses layanan apapun. “Biar sementara tidak dapat mengakses layanan pemerintah, sampai dia mengganti namanya,” terang Abdusshomad (Serambi Indonesia, 25/8).

Sampai pada kalimat itu, saya menyesalkan MUI Jawa Timur. Lantas apa peranmu sebagai ulama, jika memperlakukan umat dengan cara-cara kekuasaan seperti? Sudah hilang akal sebagai ulama, yang konon artinya ahli agama, tetapi main kuasa mewakili Allah yang Mahabijak? Padahal apakah itu salah Tuhan, si tukang kayu dari Krajan itu?

Tuhan sudah 42 tahun hidup di dunia ini, tepatnya di Banyuwangi, sudah beristeri dan punya anak, dan ber-KTP resmi sebagaimana penduduk Indonesia lainnya. Bagaimana semua ini bisa menjadi masalah? Pasti biang keladi dari semua itu adalah media-massa dan media-sosial yang telah melemparkan Tuhan dalam viral komunikasi manusia modern Indonesia dengan dalil-dalil yang belibet.

Saya sih menyarankan pada Tuhan, baiklah, terima saja jika kemudian ada yang meminta, atau memaksamu untuk mengganti nama. Itu sesuatu yang mudah. Toh MUI Jatim, atau kaum bermoral dan beragama selama ini, selama 42 tahun juga tak punya peran apa-apa dalam hidupmu. Begitu kenal dan tahu (dari media) langsung memaksakan ini-itu padamu. Bersyukurlah telah pernah 42 tahun engkau bebas dengan nama itu, karena kau tinggal di dusun sunyi Krajan, desa Kluncing, kecamatan Licin, kabupaten Banyuwangi, propinsi Jawa Timur, yang selama ini tidak dikenal orang.

Dan begitu media manusia modern menyebut namamu, sontak semua orang kebakaran jenggot, padahal tak punya jenggot. Dan siapa yang bertanggungjawab atas semua ini? Hanya karena nama, bukan karena penderitaan hidup dan kemiskinan Tuhan sebagai tukang kayu, sebagaimana presiden Jokowi dulunya juga tukang kayu.

Coba ganti nama menjadi ‘Iblis’, sebagaimana Hendrik Dikson Sirait dulu sering dipanggil, apa ada yang ribut? Pasti ada. Wong kita memang lebih suka meributkan orang lain, sampai ke hal yang remeh-temeh sekalipun, dengan cara yang sama remehnya. Dan maksa pula, untuk hal yang lebih menunjukkan bahwa orang-orang pinter itu sama goblognya dengan kita, eh, saya ding.